Pelajaran Terakhir Dari Rentang Masa 53 Tahun Kekhilafahan

Uray-Helwan

Oleh: Uray Helwan Rusli, Penulis Buku Khilafah vs Yahudi

يُخْرِبُونَ بُيُوتَهُمْ بِأَيْدِيهِمْ وَأَيْدِي الْمُؤْمِنِينَ فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الْأَبْصَارِ

“…Ambillah pelajaran wahai orang yang mempunyai pandangan” (QS. Al Hasyr: 2).

Potongan ayat Al Quran di atas  mengawali kajian ini. Untuk mengantar cara pandang kita  terhadap sebuah rentang sejarah.  Terbentang di masa awal tumbuhnya Islam, kurang lebih 53 tahun. Selama 23 tahun di masa An Nubuwwah dan 30 tahun pada periode Khilafah ‘Ala Min Hajin Nubuwwah.

Rentang masa itu menjadi pusaran penting yang menghimpun seluruh dinamika syariat Islam, dengan lima tokoh sentral, Rasululullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan empat orang sahabat utama beliau yang bergelar khulafaurrasyidin almahdiyyin. Seluruh kaum Muslimin diperintahkan untuk memegang erat sunnah kelima manusia penghuni Syurga tersebut. Sebuah hadits mengenai hal ini:

Dari Abu Najih Al-’Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, berkata: “ shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam tengah menasehati kami dengan sebuah nasehat yang membuat gemetar hati-hati kami dan meneteskan air mata kami, maka kami katakan: “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam seakan-akan ini sebuah nasehat perpisahan, maka nasehatilah kami. Beliau shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam berkata:

اُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَاِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَاِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَى بَعْدِي اخْتِلَافًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ وَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَ مُحْدَثَاتِ الْأُمُورَ فَاِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَاِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

Aku wasiatkan agar kalian bertaqwa kepada Allah, dan mendengar dan taat  sekalipun yang memimpinmu adalah seorang budak Habsyi, karena orang yang hidup diantara kamu di kemudian hari setelahku  akan melihat perselisihan yang banyak . Oleh karena itu, hendaklah kamu berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah Khulafaurrasyidin almahdiyyin (para kholifah yang benar dan mendapat petunjuk). Hendaklah kamu pegang teguh dengannya dan gigitlah dengan gigi gerahammu. Jauhilah perkara-perkara yang baru yang diada-adakan, karena sesungguhnya semua perkara yang diada-adakan itu bid’ah dan semua bid’ah itu sesat.(HR. Ahmad, Abu Dawud dan At Tarmizi).

Lima puluh tiga tahun sebenarnya masa yang singkat untuk sebuah rentang sejarah. Namun berbagai peristiwa yang terjadi di dalamnya, sudah cukup untuk dijadikan pelajaran tentang segala hal yang diperlukan untuk menghadapi lautan kondisi di masa yang akan datang. Allah menurunkan Al Quran secara bertahap sehingga sempurna, terjadi pada masa itu. Assunnah pun telah utuh, tidak ada yang tertinggal dari keteladanan yang beliau peragakan. Dan ditutup dengan sunnah para khalifah pelanjut kepemimpinan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, yang sedikit pun tidak bergeser dari manhaj kenabian. Jadi lengkap sudah tatanan itu, mulai dari wahyu Ilahi, Nabi yang diutus hingga khulafaurrasyidin almahdiyyin. Itulah pelajaran 53 tahun.

Di akhir masa itu terjadilah rentetan peristiwa dahsyat, sebagian ahli tarikh mencukupkan hanya dengan menyebutnya sebagai masa fitnah. Karena melibatkan tokoh-tokoh sahabat yang berhadapan satu sama lain dalam kancah peperangan dengan korban jiwa puluhan ribu kaum Muslimin di kedua belah pihak. Sebagian ahli sejarah lainnya lebih memilih untuk tidak secara vulgar mengulasnya karena terlalu kelam untuk dikenang.

Peristiwa itu terjadi pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, rentetan fitnah yang  menggumpal kemudian meletus menjadi perang Jamal dan Shiffin, berakhir dengan wafatnya beliau rodhiyallahu’anhu.

Namun fitnah itu sebenarnya telah terjadi pada masa khalifah Utsman bin ‘Affan radhiyallahuanhu yang berujung syahidnya beliau di tangan para pemberontak. Kaum Muslimin kemudian membai’at Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah. Pembaiatan kepada beliau setelah kaum Muslimin 5 hari mengalami kekosongan kekhilafahan. Hal ini karena kaum Muslimin di Madinah merasakan kesedihan yang sangat mendalam serta kebingungan terhadap fitnah yang menimpa Madinah.[1]

Pembaiatan terhadap Ali bin Abi Thalib berangkat dari kesadaran para shabat Badar  yang merasa khawatir dengan kondisi kaum Muslimin pasca tragedi memilukan syahidnya Utsman tersebut terutama mengenai kekosongan kepemimpinan umat Islam.

Baiat terhadap Ali bin Abi Thalib kemudian dilakukan di Masjid Nabawi pada tanggal 21 Dzulhijjah 35 H (bertepatan 20 Juni 656), dan orang pertama yang membaiat adalah Thalhah bin Ubaidillah. Sumber lain menyebutkan pemuka pemberontaklah yang memulai baiat terhadap beliau kemudian diikuti kaum Muslimin lainnya di Madinah.[2]

Di masa Usman bisa dikatakan sebagai transisi fitnah (12 tahun beliau menjadi khalifah, fitnah terjadi pada dua tahun terakhir). Lain halnya ketika Ali menjadi khalifah keempat, sejak awal beliau sudah dihadapkan pada kondisi fitnah yang meluas sebagai lanjutan dari tragedi pembunuhan Usman bin Affan. Kaum Muslimin menuntut untuk melaksanakan had terhadap para pembunuh khalifah Usman, hal ini tidak mudah bagi beliau karena belum diketahui pasti siapa saja orang yang terlibat langsung dalam pembunuhan tersebut serta masih bercokolnya para pemberontak di Madinah yang bercampur baur dengan pendatang-pendatang baru, termasuk kaum Sabai’yyah (para pengikut Abdullah bin Saba), orang-orang Arab pedalaman dan orang-orang asing.

Akan tetapi sebenarnya masalah utamanya bukan terletak pada sulit tidaknya  penegakan had terhadap pembunuh khalifah Usman tersebut, namun karena ada urusan lain yang lebih diprioritaskan untuk diselesaikan, yakni perihal kekhilafahan. Ada wilayah yang mengancam eksistensi khilafah, daerah Syam yang dipimpin Muawiyah bin Abi Sofyan menolak bai’at terhadap Ali bahkan menyatakan dirinya sebagai khalifah tandingan[3]. Meskipun khalifah Ali telah mengirimkan utusan untuk itu dan berulangkali mengirimkan surat, namun hasilnya tetap sama penolakan dari  Muawiyah bin Abi Sufyan.

Joesoef Sou’yb dalam bukunya Daulat Khulafaurrasyidin  menyebutkan: Sejarah mencatat Muawiyah bin Abi Sufyan telah memamerkan jubah almarhum Khalifah Utsman yang berlumuran darah serta potongan jari isteri beliau pada mimbar mesjid di Damaskus, mereka menuntut penegakan had terhadap para pembunuh khalifah Utsman. Menurut mereka khalifah Ali tidak memiliki kemampuan untuk menegakkan hukum syariat Islam oleh karenanya kemudian Muawiyah bin Abi Sufyan menyusun pasukan besar dan bergerak untuk menyerang Ali dengan dalih menuntut darah Utsman. Akan tetapi menurut ahli-ahli sejarah tertua, sebenarnya tujuan mereka adalah untuk merebut kekhilafahan Ali bin Abi Thalib.[4]

Sementara itu masalah lain muncul. Gelombang ketidakpuasan terhadap khalifah yang baru dibai’at ini merebak dikalangan para tokoh-tokoh Madinah tak terkecuali para sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam yang tadinya memberikan bai’at kepada beliau. Mereka juga menuntut had mesti ditegakkan kepada pembunuh Utsman. Akhirnya masalah semakin meruncing, perang pun tidak bisa dihindari. Pasukan besar bergerak dari Makkah yang dipimpin langsung Ummul Mukminin Aisyah ra menuju Bashrah. Ketika itu musim haji, sehingga banyak  kaum muslimin yang ikut dalam pasukan ini, termasuk diantaranya Talhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam. Kejadian ini terjadi pada tahun 36 H.[5]

Pasukan Ali yang tadinya diarahkan untuk menghadang gerakan Muawiyah bin Abi Sufyan dari wilayah Syam, akhirnya dikerahkan terlebih dahulu untuk menghadapi pasukan ini. Pertempuran pun tidak bisa dielakkan. Ini kali pertama perang saudara terjadi dalam sejarah Islam. Hal ini pulalah yang sebenarnya dihindari oleh kholifah Utsman meskipun untuk itu darah beliaulah yang tertumpah. Indahnya persaudaraan sesama yang dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabat di masa beliau, kali ini teruji dengan pertempuran antar sesama muslim. Di kedua pihak terdapat tokoh-tokoh ashabi. Bergerak dan berpihak dengan alasan masing-masing.

Akhirnya peristiwa berdarah yang dalam literatur sejarah dikenal dengan perang Jamal ini berakhir dengan menyisakan korban 13 ribu orang dari kedua belah pihak, termasuk dua orang sahabat mulia Talhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam.

Mengenai terbunuhnya Zubair dikisahkan, bahwa sebelum perang meletus, Ali menemui beliau. Ibn al Atsir[6] menuturkan, Ali memanggil Zubair, kemudian ia menghadap Ali seorang diri (kisah lain mengatakan bahwa ia bersama Thalhah bin Ubaidillah). Ali berkata kepadanya: “Masih ingatkah kau ketika kita bersama Rasulullah? Beliau melihat kepadaku, beliau tertawa, dan engkau pun tertawa. Saat itu kau berkata: ‘Ibnu Abi Thalib tidak meninggalkan candaannya.’ Rasulullah lalu bersabda, ‘Bukan gurauan, kelak kau akan memeranginya dan kau bertindak aniaya terhadapnya.” Zubair pun ingat peristiwa itu sehingga ia keluar dari peperangan, dan berhenti di lembah al Shiba lalu mendirikan shalat. Ketika itu datanglah Ibn Jurmuz yang kemudian membunuhnya.

Sedangkan tentang terbunuhnya Thalhah bin Ubaidillah, ketika perang memang sudah tidak bisa terelakkan, pasukan Ali berhasil mengepung beliau dan hampir berhasil membunuhnya, Ali kemudian berteriak sekuat-kuatnya: “Jangan bunuh orang yang mengenakan burnus (sejenis mantel bersambung dengan tutup kepala, pen.) itu”.[7] Thalhah akhirnya tersadar kekeliruannya, akhirnya ia mengundurkan diri dari peperangan, namun ia terbunuh dengan anak panah yang tiba-tiba menancap di tubuhnya.

Sejarah mencatat kemuliaan khalifah Ali yang tetap terpelihara meski dalam pertempuran. Disebutkan bahwa ketika pasukan Ummul Mukminin telah porak poranda beliau mengatakan kepada pasukannya: “Jangan kejar mana yang lari, jangan usik mana yang luka dan jangan melakukan rebut-rampas!”[8]

Pasukan Ali kemudian menguasai keadaan, beliau menghormati seluruh jenazah kaum Muslimin dan dikebumikan dengan cara yang layak. Sementara Ummul Mukminin Aisyah ra dikembalikan ke Madinah juga dengan penghormatan sebagaimana mestinya dan jaminan pengawalan dari beliau.

Belum kering darah kaum Muslimin di perang Jamal, pertempuran kembali meletus. Pasukan  dari Syam di bawah pimpinan Muawiyah yang tadinya masih tertahan, kali ini bergerak untuk menyerang Ali dan bertemulah dua pasukan besar itu di Shiffin.

Sama sebagaimana perang Jamal, kali ini pun para sahabat Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam terpecah. Ada yang berpihak kepada Muawiyah, sebagian lagi mendukung Ali bahkan ada pula yang meluputkan diri, berdiam diri dari gejolak fitnah tanpa menunjukkan keberpihakan kepada kelompok manapun, semua dengan alasan masing-masing.

Pendek kata dalam situasi fitnah kebenaran menjadi kabur, benarkan demikian? Apakah tidak ada petunjuk Rasulullah untuk menghadapi situasi seperti ini?

Jauh sebelum ini terjadi ketika Rasulullah dan para sahabat sedang membangun mesjid Quba, beliau bersabda kepada Amar bin Yasir ra, yang artinya:”Wahai Ammar, engkau akan dibunuh oleh al-fiatul baghiyah (kelompok durhaka).”[9] Hadits mutawatir ini diriwayatkan Imam Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasai dan Abu Dawud. Ucapan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam tersebut begitu melekat di benak para sahabat, sehingga ketika pertempuran terjadi antara Ali dan Muawiyah dalam perang Shiffin tersebut, keberpihakan Amar menjadi penunjuk pasti mana kelompok yang  haq dan mana yang durhaka (bughat).

Ternyata Amar berperang bersama Ali dan beliau syahid pada pertempuran tersebut dibunuh oleh pengikut Muawiyah. Dalam sebuah riwayat disebutkan:

Thawus menuturkan dari Abu Bakr ibn Muhammad ibn Amr ibn Hazm dari ayahnya berkata, “Ketika Amar bin Yasar terbunuh, Amr bin Hazm menemui Amr ibn Al Ash dan berkata, ‘Amar bin Yasar telah terbunuh sementara Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mengatakan bahwa ia terbunuh oleh kelompok yang berdosa’. Amar bin Al Ash tersentak kaget dan mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi rojiun, kemudian keduanya menemui Muawiyah. Setelah berhadapan, Muawiyah bertanya, ‘Apa yang hendak kau sampaikan?’. Amr bin Al Ash berkata: ‘Amar bin Yasar telah terbunuh’. ‘Ya Amar telah terbunuh lalu ada apa dengan itu?’. Amr berkata: ‘Aku mendengar Rasulullah Shallallahu A’alihi Wasallam bersabda bahwa ia akan terbunuh oleh kelompok pendosa.’ Muawiyah berkata, ‘Celaka kau, apakah kita yang membunuhnya? Sungguh orang yang membunuhnya adalah Ali dan para pengikutnya karena mereka datang bersama Amar dan menempatkannya dihadapan tombak kita-atau ia berkata, ‘diantara pedang-pedang kita.” Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Sa’d.[10]

Dengan syahidnya sahabat Amar bin Yasar menjadi jelaslah semua, kaum Muslimin yang tadinya berpihak kepada Muawiyah demi menuntut darah Utsman bin Affan, akhirnya sadar bahwa ternyata Ali lah yang mestinya mereka dukung, karena Ali lah yang benar. Bahkan seorang tokoh sahabat  yang tidak ikut pada pertempuran tersebut karena menganggap  peristiwa itu sebagai kejadian fitnah, menyesali mengapa tidak berperang membela Ali. Beliau adalah Abdullah bin Umar, yang di akhir hayatnya berkata: “Belum pernah aku merasakan penyesalan berkaitan dengan urusan dunia selain ketika aku tidak dapat ikut berperang bersama Ali melawan kelompok yang zalim”.[11]

Berbagai peristiwa fitnah yang dihadapi Ali sebenarnya sudah tersirat melalui hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Berikut ini beberapa diantaranya[12]:

Imam Ahmad dan Al Hakim dengan sanad yang sahih meriwayatkan dari Abu Sa’id Al Khudri bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda kepada Ali (yang artinya):

اِنَّ مِنْكُمْ مَنْ يُقَا تِلُ عَلَى تَأْ وٍيْلِ هَذَا اْلقُرْآنِ كَـمَا قَا تَلْتُ عَلَى تَنْزِيْلِهِ

“Sesungguhnya engkau (akan) berperang demi sebuah penafsiran Al Quran laksana aku berperang saat dia diturunkan.”

Al Bazzar, Abu Ya’la  dan Al Hakim meriwayatkan dari Ali dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memanggil saya lalu berkata, ‘Wahai Ali sesungguhnya dalam dirimu ada sesuatu yang menyerupai Isa, dia dibenci orang Yahudi hingga mereka melecehkan ibunya, dan dicintai oleh orang-orang Nashrani hingga mereka mendudukannya pada posisi yang tidak benar (yakni anggapan bahwa Isa adalah anak Allah, pent). Ketahuilah, sesungguhnya ada dua golongan yang akan hancur karena perlakuan mereka terhadapmu: Golongan yang berlebih-lebihan dalam mencintaimu hingga mereka mendudukkanmu pada posisi yang tidak benar (yakni Syiah, pen.), dan golongan yang membencimu dengan keterlaluan hingga mereka melecehkan kamu (yakni Khawarij, pent).”

Imam Ahmad dan Al Hakim dengan sanad yang sahih meriwayatkan dari Amar bin Yasir bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda kepada Ali yang artinya: “Manusia yang paling celaka adalah dua orang: Pembunuh unta Nabi Sholeh dari kaum Tsamud dan orang yang memukul kepalamu hingga jenggotmu berlumuran darah karenanya”.

Klimaks dari fitnah yang terjadi ini akhirnya mengarah kepada pribadi beliau. Dan puncaknya beliau pun terbunuh, syahid di tangan Abdurahman bin Muljam al Himyari al Muradi, seorang Khawarij[13]. Serangan terhadap beliau yang menyebabkan syahidnya itu terjadi di Kufah, ketika akan melaksanakan sholat shubuh, pada tanggal 17 Ramadhan. Akibat luka yang parah itu beliau pun syahid dua hari satu malam kemudian, tanggal 20 Ramadhan.

Wafatnya khalifah Ali bin Abi Thalib mengakhiri masa khilafah ‘ala minhaajin nubuwwah jilid pertama yang dalam hadits lain disebut oleh beliau Shallallahu Alaihi Wasallam sebagai  khulafaurrasyidin al mahdiyyin, para khalifah yang benar dan diberi petunjuk. Masa ini berlangsung selama 30 tahun.

Dari Said bin Jumhan dari Safinah berkata: “Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam telah bersabda:

الْخِلاَفَةُ فِي أُمَّتِي ثَلاَثُونَ سَنَةً ثُمَّ مُلْكٌ بَعْدَ ذَلِكَ ثُمَّ قَالَ لِي سَفِينَةُ أَمْسِكْ خِلاَفَةَ أَبِي بَكْرٍ ثُمَّ قَالَ وَخِلاَفَةَ عُمَرَ وَخِلاَفَةَ عُثْمَانَ ثُمَّ قَالَ لِي أَمْسِكْ خِلاَفَةَ عَلِيٍّ قَالَ فَوَجَدْنَاهَا ثَلاَثِينَ سَنَةً قَالَ سَعِيدٌ فَقُلْتُ لَهُ إِنَّ بَنِي أُمَيَّةَ يَزْعُمُونَ أَنَّ الْخِلاَفَةَ فِيهِمْ قَالَ كَذَبُوا بَنُو الزَّرْقَاءِ بَلْ هُمْ مُلُوكٌ مِنْ شَرِّ الْمُلُوكِ

“Masa khilafah pada ummatku itu tiga puluh tahun kemudian setelah itu masa kerajaan.  Kemudian Safinah berkata kepadaku: peganglah kekhalifahan Abu Bakar, kekhalifahan Umar, kekhalifahan Utsman dan kekhalifahan Ali. Maka aku dapatinya masa kekhalifahan itu tiga puluh tahun, Said berkata: “Saya bertanya kepadanya, sesungguhnya Bani Umayyah mengaku bahwa masa kekhalifahan itu ada pada mereka.” Ia berkata: “Banu Zurqo telah berdusta bahkan mereka itu para raja dari seburuk-buruk raja.” (HR.At Tirmidzi, dan Abu Dawud).[14]

Meskipun hanya berlangsung selama 30 tahun (ini sebenarnya fase yang singkat untuk ukuran rentang sejarah), namun masa kepemimpinan mereka penuh dengan dinamika dan kecemerlangan sejarah, sehingga menjadi tolok ukur untuk periode-periode berikutnya. Setelah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam hanya merekalah yang mendapat legitimasi untuk diambil sunnahnya dijadikan panutan, bahkan beliau memerintahkan agar berpegang teguh terhadapnya, sebagaimana hadits yang telah disampaikan sebelumnya.

Berbagai peristiwa fitnah yang terjadi pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib itu menorehkan pelajaran yang sangat berharga, bahwa dalam situasi fitnah, kebenaran ada pada khilafah yang sah.

Sebelumnya telah diceritakan rentetan fitnah yang bergulir sejak masa kekhilafahan Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ’anhu mencapai titik klimaks pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib. Situasi menjadi kacau karena perselisihan yang terjadi berlanjut menjadi perpecahan yang menimbulkan korban yang tidak sedikit. Pada situasi seperti ini tokoh-tokoh sahabat setidak-tidaknya terbagi menjadi empat golongan.

Pertama, kelompok Ali bin Abi Thalib (bukan Syi’atu ‘Aly, ini awal sebutan Syi’ah) yang mempertahankan amanah kekhilafahan, karena beliau dibai’at lebih awal dan dilakukan oleh sahabat-sahabat terkemuka (sahabat Badar). Kelompok ini terpusat di Kufah.

Kedua, kelompok Aisyah Ummul Mu’minin radhiyallahu ‘anha yang bergerak dari Makkah (selepas menunaikan ibadah haji) yang menuntut agar khalifah Ali memfokuskan perhatian pada penegakan had terhadap para pembunuh khalifah Utsman. Kelompok ini kemudian terkonsentrasi di Bashrah.

Ketiga, kelompok Muawiyah bin Abi Sufyan yang juga menuntut keadilan terhadap pembunuhan khalifah Utsman dengan melakukan pembai’atan terhadap dirinya oleh kaum Muslimin di Syam.

Serta yang terakhir, Keempat, para sahabat yang menganggap semua peristiwa ini adalah fitnah dan lebih memilih untuk tidak terlibat ke pihak manapun. Salah seorang diantaranya adalah Abdullah bin Umar yang berada di Madinah.

Jika tidak hati-hati memahami peristiwa ini, maka bisa menarik kesimpulan yang dangkal sehingga berakibat pada pendiskreditan terhadap para sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Bagaimana mungkin para sahabat yang telah dijamin kualitas imannya, bahkan sudah mendapat janji syurga, saling berhadap-hadapan menghunus senjata dalam peperangan yang tidak dapat dihindari? Tentu saja kesimpulan seperti ini tidak dapat dibenarkan karena tergolong mencela sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Hal ini mendapat ancaman dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam:

لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ

Dari Abu Said Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Jangan kalian cela para sahabatku, seandainya salah seorang kalian menginfakkan emas sebesar Uhud itu tidak akan bisa menyamai satu mud-nya mereka, bahkan setengahnya.” (HR. Bukhari No. 3470. Muslim No. 2540. At Tirmidzi No. 3952).[15]

Pertikaian itu memang tidak terhindari. Allah telah menghendakinya terjadi namun pesan pentingnya bukanlah untuk memperlihatkan merebaknya fitnah di kalangan Muslimin. Karena toh seluruh sahabat yang terlibat dalam peristiwa tersebut Allah selamatkan dengan cara yang indah. Sehingga meskipun mereka pada awalnya berkonfrontasi dalam kancah peperangan akan tetapi di akhir hayatnya, mereka menghadap Allah tetap sebagai sahabat mulia, di pihak manapun mereka berada.

Kita bisa menghayati kembali penggalan kisah sebelumnya bagaimana Zubair bin Awwam dan Tholhah bin Ubaidillah  yang menjadi tokoh dalam perang Jamal menghadapi pasukan Aly namun keduanya kemudian syahid. Begitupula ‘Aisyah, jaminan syurga bagi beliau sebagai istri dan kekasih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam baik di dunia maupun di akhirat, diakhir hayatnya Allah wafatkan tetap dalam keadaan mulia.

Seluruh sahabat yang lain juga demikian, semua Allah wafatkan dalam keadaan mulia. Pendek kata, apa pun yang telah mereka lakukan, meskipun berseberangan satu sama lain bahkan dalam kancah peperangan sekalipun, Allah punya cara tersendiri untuk menyelamatkannya terhindar dari su’ul khotimah. Mereka tetap mulia hingga menghadap Allah sebagai ummat terbaik pendamping Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.

Kalau tokoh-tokoh utama yang terlibat dalam peristiwa fitnah tersebut Allah selamatkan, lantas untuk apa semua peristiwa itu Allah  takdirkan terjadi?

Sebelumnya juga telah diceritakan bahwa dari empat kelompok di atas yang pada awalnya kabur mana yang mesti diikuti, ternyata kebenaran ada pada Ali bin Abi Thalib dengan petunjuk yang sangat jelas (karena diwiyatakan secara mutawatir dan diketahui sebagian besar kaum muslimin kala itu) yakni berhimpunnya Ammar bin Yasir dan terbunuhnya beliau oleh alfiatul baghiyah.

Kebenaran pada pihak Ali bin Abi Thalib bukanlah sekedar lantaran beliau seorang tokoh sahabat, namun karena beliau membawa manhaj pelanjut kepemimpinan Rasulullah, yakni khilafah yang sah. Dengan demikian dalam situasi fitnah, kebenaran ada pada kekhilafahan. Meskipun ada opsi lain yang terlihat benar, seperti penegakan had, meluputkan diri dari fitnah atau persoalan fikih namun itu semua harus merujuk kepada khalifah. Karena hanya khalifah yang berwewenang untuk menentukan mana yang lebih prioritas untuk dilakukan.

Pelajaran ini sangat relevan dengan kondisi sekarang. Ada banyak persoalan yang tengah dihadapi kaum Muslimin. Dari urusan fondasi sampai selevel furu’, dari masalah kehormatan hingga persoalan nyawa, semuanya menyatu menuntut untuk segera diselesaikan. Jika dilihat satu persatu sepertinya semuanya prioritas. Urusan mesjid al-Aqsho yang dikuasai Zionis menyesakkan dada kaum Muslimin seluruh dunia, namun urusan penindasan terhadap umat Islam di banyak negara (Myanmar contohnya) pun tidak kalah hebatnya. Semua permasalahan itu menggumpal membentuk benang kusut. Lantas bagaimana mengurainya, dan mulai dari apa?

Mulailah dari apa yang dilakukan oleh khalifah Ali bin Abi Thalib. Mulai dari pengamalan kekhilafahan yakni dengan membai’at khalifah, wujudkan kehidupan berjama’ah. Insya Allah inilah yang dimaksud dengan petuah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:

أَنَا أّمُرُكْم بِخَمْسٍ أَللهُ أَمَرَنِى بِهِنَّ : بِاْلجَمَاعَةِ وَالسَّمْعِ وَ الطَّاعَةِ وَ الْهِجْرَةِ وَ اْلجِهَادِ فِى سَبِيْلِ اللهِ ، فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ اْلجَمَاعَةِ قِيْدَ شِبْرٍ فَقَدْ خَلَعَ رِبْقَةَ اْلإِسْلاَمِ مِنْ عُنُقِهِ إِلَى اَنْ يَرْجِعَ وَمَنْ دَعَا بِدَعْوَى اْلجَاهِلِيَّةِ فَهُوَ مِنْ جُثَاءِ جَهَنَّمَ، قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ وَ اِنْ صَامَ وَصَلَّى ، قَالَ وَاِنْ صَامَ وَصَلَّى وَزَعَمَ أَنَّهُ مُسْلِمٌ فَادْعُوا اْلمُسْلِمِيْنَ بِمَا سَمَّاهُمُ اْلمُسْلِمِيْنَ اْلمُؤْمِنِيْنَ عِبَادَ اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ

“Aku perintahkan  kepada kamu sekalian (Muslimin) lima perkara; sebagaimana Allah telah memerintahkanku dengan lima perkara itu; berjama’ah, mendengar, thaat, hijrah dan jihad fie sabilillah. Barangsiapa yang keluar dari Al Jama’ah sekedar sejengkal, maka sungguh terlepas ikatan Islam dari lehernya sampai ia kembali bertaubat. Dan barangsiapa yang menyeru dengan seruan Jahiliyyah, maka ia termasuk golongan orang yang bertekuk lutut dalam Jahannam.”  Para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, jika ia shaum dan shalat?” Rasul bersabda: “Sekalipun ia shaum dan shalat dan mengaku dirinya seorang muslim, maka panggillah oleh orang-orang Muslim itu dengan nama yang Allah telah berikan kepada mereka; “Al-Muslimin, Al Mukminin, hamba-hamba Allah ‘Azza wa jalla.” (HR.Ahmad bin Hambal dari Haris Al-Asy’ari. Juga diriwayatkan At-Tirmidzi).

Inilah pelajaran penting itu, yang sekaligus menutup sebuah rentang sejarah, meskipun diakhirnya terdapat suatu peristiwa fitnah namun petunjuk untuk berpegang pada kebenaran, tidak pernah kabur, yakni agar perpegang pada kekhilafahan yang sah, Khilafah ‘ala minhaajinnubuwwah. Wallahu a’lam.(P004/P2)

Uray Helwan Rusli, dari buku Khilafah Vs Yahudi, Tsaqofah Pres 2014

Referensi dan Sumber:

[1] Ali bin Abi Thalib sampai Kepada Hasan dan Husain,  Ali Audah, Lintera AntarNusa, Surabaya, 2010. Hal. 187

[2] Idem, hal. 190.

[3] Di Suriah (Syam) Muawiyah berkata: “Seperti kalian tahu, saya adalah  pengganti Amirulmukminin Umar bin Khaththab dan pengganti Khalifah Utsman bin Affan yang terbunuh secara tidak adil  dan saya adalah sepupunya, anak pamannya dan ahli warisnya. Di dalam Al Quran (Al Isra:33) Allah berfirman (artinya) ‘Dan barangsiapa dibunuh dengan melanggar keadilan, kepada ahli warisnya Kami beri hak (menuntut kisas atau maaf)’, ”Saya ingin tahu pendapat kalian tentang terbunuhnya Usman itu.” Mereka ragu, apa yang harus diperbuat…tapi Muawiyah berhasil membujuk sebagian mereka yang kemudian membaiatnya. Dikutip dari buku  Ali bin Abi Thalib sampai Kepada Hasan dan Husain,  Ali Audah, Lintera AntarNusa, Surabaya, 2010. Hal. 253.

Penulis katakan, namun bagaimanapun juga Ali bin Abi Thalib lah yang sah dibaiat sebagai khalifah, beliau yang pertama dibai’at oleh kaum Muslimin di Madinah sebelum pembaiatan terhadap Muawiyah di Syam. Terlebih lagi yang membaiat Ali dari kalangan tokoh-tokoh sahabat baik Anshar maupun Muhajirin dan tabi’in. Mengenai tandingan pembaiatan kekhilafahan  terdapat sebuah hadits dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam:

إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الْآخَرَ مِنْهُمَا

“Apabila dibai’at dua khalifah (dalam satu masa), maka bunuhlah yang lain dari keduanya”. (yaitu yang terakhir).”  (HR. Muslim dari Abi Sa’id Al Khudri, Shahih Muslim dalam Kitabul Imaroh: II/137)

[4] Daulat Khulafaurrasyidin, Joesoef Sou’yb, 1979, Penerbit Bulan Bintang, Hal. 470.

[5] Imam As Suyuthi, Tarikh Khulafa’ Sejarah Para Penguasa Islam, Penerjemah Samson Rahman, tahun 2001, Pustaka Al Kautsar. Hal 202.

[6] Ensiklopedia Biografi Sahabat Nabi oleh Muhammad Raji Hasan Kinas, 2012, Penterjemah: Nurhasan Humaedi, dkk, Penerbit Zaman, Hal. 936.

[7] Ali bin Abi Thalib sampai Kepada Hasan dan Husain,  Ali Audah, Lintera AntarNusa, Surabaya, 2010. Hal. 236

[8] Daulat Khulafaurrasyidin, Joesoef Sou’yb, 1979, Penerbit Bulan Bintang, Hal. 478.

[9] Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah Telah menceritakan kepada kami Ismail bin Ibrahim dari Ibnu Aun dari Al Hasan  dari Ibunya dari Ummu Salamah berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

تَقْتُلُ عَـمَرًا اْلفِئَةُ  اْلبَا غِيَةُ

Artinya: “Ammar akan dibunuh oleh kelompok pendurhaka/pembelot”.  HR. Mutawatir diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, At tirmidzi, Nasa’i, dan Abu Dawud. Lafazh dari Muslim. (Sofware Kitab Hadits Online Terjemah, http://id.lidwa.com/app/, sitasi 11 September 2013).

[10] Ensiklopedia Biografi Sahabat Nabi oleh Muhammad Raji Hasan Kinas, 2012, Penterjemah: Nurhasan Humaedi, dkk, Penerbit Zaman, Hal. 250.

[11] Idem, hal.102.

[12] Imam As Suyuthi, Tarikh Khulafa’ Sejarah Para Penguasa Islam, Penerjemah Samson Rahman, tahun 2001, Pustaka Al Kautsar. Hal 200.

[13] Khawarij adalah sebuah kelompok yang memisahkan diri dari pasukan Ali ketika perang Shiffin telah berakhir. Jumlahnya sebanyak 12.000 orang dipimpin oleh Panglima Hurkus Ibnu Zuhair Al Tamimi. Mereka menyalahkan Ali  mengapa menerima keputusan tahkim yang menghentikan pertempuran, mereka menginginkan agar pertempuran diteruskan melawan pihak Muawiyah bin Abi Sufyan. Kelompok ini beraliran keras yang dengan mudah mentakfirkan dan membid’ahkan  orang yang tidak sepaham dengan mereka bahkan tidak segan untuk membunuhnya. Karena kelompok ini banyak menimbulkan kekacauan di kalangan muslimin bahkan dengan keji membunuh Sahabat Abdullah bin Khabbab bin al Arats bersama istri beliau, pasukan Ali kemudian menyerang mereka dalam pertempuran Nahrawan. Hanya sebagian kecil  yang selamat, kemudian meluputkan diri dan tersebar ke berbagai daerah. Kelompok khawarij mengorganisir kembali, tiga orang tokohnya yakni: Abdurrahman bin Muljam al Muradi, Amru  ibnu Bakr al Tamimi dan Hujaj ibn Abdillah al Shuraimi,  mereka menyimpulkan bahwa penyebab perpecahan  ummat Islam ini tiga orang yang wajib untuk di bunuh yakni: Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi Sufyan dan Amru b in Ash. Akhirnya mereka bergerak untuk membunuh ketiga orang tersebut, namun  hanya Ali yang berhasil dibunuh oleh Ibnu Muljam. (Daulat Khulafaurrasyidin, Joesoef Sou’yb, 1979, Penerbit Bulan Bintang).

[14] Wali Al Fattah, 2011, Khilafah ‘Ala Minhaajinnubuwwah Khilafah yang Mengikuti Jejak Kenabian, Pustaka Amanah, Bogor, Hal. 11.

[15] Sumber: http://dakwatuna.com/2013/11/14/42167/kemuliaan-para-sahabat-nabi-dan-hukum-mencela-mereka-bagian-ke-2/#ixzz2uWBsoJWM, sitasi 27 Pebruari 2014.

(P04/P2)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Wartawan: Admin

Editor: Rana Setiawan

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.