Penjarahan di Jalan-Jalan Menuju Lokasi Bencana Palu dan Donggala

Oleh Widi Kusnadi, Catatan perjalanan wartawan MINA meliput musibah di Palu dan

Tepat pukul 13.00 waktu setempat, Selasa (2/10), tim dokter dan perawat dari lembaga kemanusiaan kegawatdaruratan Medical Emergency Rescue Committee (MER-C) tiba di Bandara Tampa Padang, Mamuju, Sulawesi Tengah.

Bandara itu menjadi ramai oleh para relawan dan wartawan, baik dari media nasional maupun luar negeri. Mereka terpaksa memilih mendarat di bandara Mamuju mengingat bandara Palu belum sepenuhnya pulih akibat musibah gempa yang melanda wilayah itu, Jumat (28/9) silam.

Jarak tempuh dari Mamuju ke kota Palu sekira 8-9 jam perjalanan darat dan masih memungkinkan dijadikan tempat pemberangkatan  oleh relawan dibanding dengan kota dan kabupaten lainnya di sekitar Palu.

Di kota kecil itu, para relawan bisa mempersiapkan “amunisi”nya sebelum menembus jantung kota Palu untuk melakukan evakuasi, menyalurkan bantuan makanan dan keperluan lainya, serta obat-obatan yang tidak kalah penting dibutuhkan masyarakat, terutama para korban gempa.

Mengapa Terjadi Penjarahan

Berapa penduduk yang kami temui di Mamuju berpesan agar dalam membawa logistik ke kota Palu didampingi oleh pihak kepolisian atau TNI dan itupun dilakukan pada siang hari.

Hal itu mutlak diperlukan mengingat kondisi keamanan di sepanjang jalan menuju Palu sangat tidak kondusif. Kondisi beberapa jalan yang rusak akibat gempa berkekuatan 7,7 SR. Di samping itu, masyarakat sekitar korban gempa akan mencegat bantuan yang lewat di tempat mereka.

Siang itu terik matahari begitu menyengat membakar kulit. Salah seorang pengantar kami mengatakan, dalam beberapa pekan terakhir ini wilayah Mamuju dan beberapa kabupaten lainnya di Sulawesi Tengah sudah lama tidak merasakan guyuran rahmat dan berkah Allah berupa air hujan. Sepertinya dengan terik matahari itu, tidak hanya kulit yang terbakar, namun hati dan emosi mungkin juga akan menjadi mudah terbakar.

Kami berpikir, dalam suasana panas terik seperti ini, ditambah dengan suasana hati yang sedih, gelisah dan merana karena anggota keluarga mereka yang menjadi korban belum juga ditemukan, ditambah lagi terbatasnya bahan makanan, obat-obatan dan keperluan pokok lainnya yang saat itu sangat dibutuhkan oleh para pengungsi, maka tidak heran jika di sana sini terjadi penjarahan, pencurian dan pencegatan bahan bantuan oleh masyarakat di sana.

Memang, berdasarkan pengamatan penulis selama beberapa tahun tinggal di Pulau Ambon, karakteristik masyarakat yang tinggal di tepi pantai memang berbeda dengan masyarakat yang bermukim di Pegunungan.

Masyarakat tepi pantai cenderung bersuara keras karena mereka harus mengimbangi suara ombak air laut. Itulah sebabnya hal itu juga terbawa pada karakter mereka yang cenderung keras, ditambah dengan makanan mereka yang mengandung banyak protein hewani sehingga sangat memberi rangsangan kepada saraf motoric untuk bergerak cepat dan enerjik. Itulah salah satu yang membuat otot mereka kuat.

Namun, sejak Selasa (2/10) ini, tim gabungan TNI dan Polri sudah siap mengamankan pasokan bantuan logistik agar dapat merata ke berbagai wilayah Sulawesi Tengah.

Kepala Satuan Intel Korem Mamuju, Makmur mengatakan, pihaknya (TNI) bersama jajaran kepolisian siap mengamankan pasokan logistik dari Mamuju ke Palu, Donggala dan wilayah sekitarnya.

Makmur membenarkan terjadinya pencegatan yang dilakukan oleh oknum masyarakat yang memang mereka kehabisan bahan makanan, sementara di jalan-jalan ada bantuan logistik, namun tidak berhenti di tempat mereka.

Akan tetapi, melihat beberapa kasus yang terjadi, ternyata tidak hanya bahan makanan saja yang di jarah, tetapi juga BBM, elektronik, alat-alat medis, bahkan baju dokter pun ikut di jarah juga. Ada apa ini? Kalau pun mereka lapar, pastinya hanya bahan makanan saja yang diambil. Tapi nampaknya ada motif lain selain lapar.

Meskipun belum sepenuhnya benar, penulis mencoba menghubungkan kejadian itu dengan kaburnya ribuan nara pidana di beberapa lembaga pemasyarakatan (lapas) Sulawesi Tengah.  Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Pol Setyo Wasisto menyampaikan daftar jumlah narapidana yang kabur di beberapa lapas dan tahanan usai gempa bumi.

Tercatat ada ratusan napi yang kabur dari penjara. Namun, dari jumlah tersebut ada napi yang memang sengaja diizinkan melarikan diri oleh pihak Kalapas untuk menghindari jatuhnya korban yang lebih banyak.

Setyo mengungkapkan, jumlah napi yang kabur dari Lapas Donggala sebanyak 342 orang. Sementara, yang kembali ke Lapas baru 260 orang.

“Yang belum kembali 82 orang. Tahanan Polres Donggala lengkap 35 orang,” katanya saat menghadiri sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (2/10).

Sementara itu, di Lapas Kota Palu, sebanyak 465 napi melarikan diri. Mereka memang sengaja dilepas Kalapas saat gempa mengguncang. Kini sebanyak 28 napi telah kembali, sedangkan 437 orang masih berada di luar.

Di Lapas Petobo, lanjut Setyo, jumlah napi yang keluar sebanyak 674 orang, 82 napi telah kembali, dan sisanya masih berada di luar.

“Ini juga sengaja dilepas. Menghindari korban yang lebih banyak,” ujarnya.

Lain halnya dengan para tahanan di Rutan Sulteng. Meski gempa menggoyang Palu, tak ada satu pun warga binaan yang melarikan diri. Total ada 117 orang yang ditahan.

Disinyalir, para penjarah itu adalah para napi yang kabur dan memanfaatkan kesempatan untuk dapat berbuat kejahatan yang menguntungkan diri pribadi tanpa melihat dampak yang ditimbulkan selanjutnya. (A/P2/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)