Perkebunan Stroberi Milik Qaadan Dibuldozer Israel Saat Ia dan Putranya Sedang Memanen (Oleh Yasmin Abusayma, penulis Gaza)

Petani di Gaza menanam biji kacang polong. (Gambar Ashraf Amra/APA)

Raed Qaadan adalah petani stroberi di Jalur Gaza, Palestina. Pria berusia 47 tahun itu tinggal di Beit Lahia yang berbatasan dengan pembatas yang memisahkan Gaza dan Israel.

Pada tanggal 23 Desember 2021 di pagi hari, Qaadan mengajak putra sulungnya yang bernama Sameeh, usia 22 tahun untuk memanen buah stroberinya.

Namun, sekitar pukul sepuluh pagi, di saat ayah anak itu sedang memanen, tiba-tiba mereka melihat tentara Israel datang dengan tiga buldoser menuju tanah mereka.

Ketiga buldoser itu memasuki tanah pertanian Qaadan dan mulai merusak lahan.

Qaadan cepat mengambil bendera putih dan mengibar-ngibarkannya kepada para tentara operator buldoser. Namun, para tentara Yahudi itu tidak berhenti, mereka tetap mengeruk tanah, meratakan dan menghancurkan tanaman stroberi yang hendak dipanen.

“Kami terkejut ketika mereka mendekat dan mulai membuldoser tanah. Kami mencoba menghentikan mereka dengan mengibarkan bendera putih, tetapi mereka tidak melakukannya,” kata Qaadan kepada The Electronic Intifada. “Mereka mulai jam 10 pagi dan selesai jam 5 sore.”

Tentara Israel dan tiga buldoser itu menggunakan tujuh jam untuk meratakan lahan pertanian stroberi yang seluas 5.000 meter persegi.

Hampir seluruh tanaman stroberi itu dihancurkan.

Stroberi adalah salah satu dari segelintir barang pertanian yang dapat dijual Gaza di luar perbatasannya, di bawah pembatasan Israel yang menyebabkan ekspor turun menjadi hanya 17 persen hari itu dari sebelum tahun 2007.

Menurut sebuah laporan awal tahun 2021 dari Al Mezan, sebuah kelompok hak asasi manusia, berjudul “Bertani di Zona Penyangga”, total luas lahan pertanian yang terkena dampak operasi perataan militer Israel selama dua tahun antara 2018 hingga 2020 adalah lebih dari satu juta meter persegi.

Dan setiap meter itu menyakitkan.

“Saya tidak bisa menggambarkan rasa sakit karena harus bangun setiap pagi dan melihat semua yang kami bangun dan mata pencaharian kami hancur,” kata Qaadan.

Qaadan sekarang harus mengganti apa yang hancur seperti pipa irigasi dan kabel yang digunakan untuk mengencangkan plastik di atas tanaman, termasuk semua biaya tak terduga yang hampir tidak dapat dia bayar.

Qaadan harus menghabiskan waktu ekstra hanya untuk mengembalikan tanah ke tempatnya semula, karena tank dan buldoser sengaja memindahkan tanah dari satu tempat ke tempat lain selama proses pembuldoseran, yang menciptakan lubang besar sehingga membutuhkan usaha dan waktu untuk meratakannya kembali.

Dia yakin bahwa militer Israel sengaja menargetkan mata pencaharian petani, merampas waktunya, di tengah musim stroberi yang penting.

Stroberi dikenal secara lokal sebagai “emas merah”, menjadi tanaman penting bagi para . Musimnya panjang, dimulai pada bulan September dengan penanaman bibit dan berakhir pada bulan April tahun berikutnya.

Ini bukan serangan pertama bagi lahan pertanian Qaadan. Lahan itu pernah diserang juga pada lima tahun yang lalu yang menimbulkan kerugian lebih dari US$5.000 pada saat itu.

Menurut data Al Mezan, pasukan Israel melakukan 206 serangan di lima distrik Jalur Gaza antara 2018 hingga 2020 atau sedikit lebih dari satu serangan per pekan.

Perkiraan total biaya kerusakan tanah Qaadan saat ini adalah sekitar US$ 16.000.

Para petani mencari kompensasi dari otoritas Gaza dan melalui kelompok-kelompok hak asasi manusia dari Israel.

Ilustrasi: Petani Palestina memanen stroberi di di Gaza pada 1 Desember 2018. [Mustafa Hassona/Anadolu Agency)
Tidak mau mempertaruhkan nyawa

Yusri Arafat yang berusia 22 tahun adalah seorang petani dan ayah dari dua anak yang masih kecil. Dia mulai bertani ketika dia berusia 10 tahun dengan cara membantu ayahnya.

Pada 25 Desember 2021, dua hari setelah buldoser Zionis datang ke tanah milik Qaadan, Yusri pergi ke ladang zaitunnya di dekat pagar perbatasan di Johr al-Deek di Jalur Gaza tengah.

Saat memetik zaitun, tentara tiba-tiba menembaki tempat dia dan petani lain bekerja.

Kekacauan pun terjadi. Yusri mendengar teriakan dari sesama pemetik zaitun.

Insiden masa lalu pada tahun 2014, ketika seorang temannya terbunuh dalam keadaan yang sama saat memanen, terlintas di benaknya, katanya kepada The Electronic Intifada.

Dia melompat tiarap ke tanah. Topinya lepas terkena tembakan dan mendarat beberapa meter jauhnya. Meski keberuntungan bagi Yusri, tapi tembakan dua kali yang mengenai topinya membuatnya terguncang.

Yusri dan kawan-kawan petani akhirnya berhasil pulang dan memilih tinggal di rumah selama berhari-hari.

“Saya benar-benar panik. Saya diam di tempat tidur selama empat hari berturut-turut,” katanya.

Ayahnya yang bernama Jalal (49) mengatakan, Yusri sangat ketakutan.

“Dia pulang ke rumah lebih awal dan dia tidak berbicara. Dia trauma dengan kejadian itu,” kata Jalal.

Jalal sendiri juga pernah bekerja di dekat perbatasan dan mendapat pengalaman pahit dengan militer Israel.

Dia mengatakan, dia memiliki tanah di dekat perbatasan yang hancur total pada tahun 2009 dan dihancurkan lagi pada 2012.

Kehancuran pada tahun 2009 sangat mahal. Keluarga itu kehilangan hampir US$25.000 karena sistem irigasi, sumur irigasi, herbisida, motor dan peralatan pertanian mereka hancur.

 

Yusri memiliki gelar dalam bahasa Arab dari Universitas Islam Gaza. Dia memiliki pilihan meskipun pasar kerja Gaza tidak banyak lowongan. Terlepas dari gelarnya, ia memutuskan untuk bekerja di bidang pertanian.

Namun, dia tidak berniat mempertaruhkan nyawanya demi menghidupi keluarganya. Ayahnya mendukungnya dalam keputusan ini.

“Saya tidak akan pernah mengorbankan nyawa anak saya,” kata Jalal kepada The Electronic Intifada.

Yusri kini bekerja di ladang yang jauh dari pagar perbatasan dengan upah minimum untuk menghidupi dirinya.

Baik dia dan ayahnya sadar akan fakta bahwa mereka telah kehilangan jauh lebih banyak daripada sistem irigasi atau tanaman. Mereka telah kehilangan hak untuk bertani di tanah mereka sendiri.

“Ini adalah cara lain bagi Israel untuk mencuri tanah kami,” kata Jalal. “Mereka menyabotase tanah dan pertanian kami. Pertanian tidak pernah menjadi ancaman bagi Israel.”

 

Menargetkan tanah

Mihyar al-Najjar yang berusia 34 tahun adalah seorang petani dan penggembala yang menanam gandum di tanahnya di Khuzaa, tenggara Gaza. Selama serangan militer Israel di Gaza pada Mei 2021, pengeboman begitu intensif sehingga panen gandumnya terbakar.

Dia kehilangan banyak dari hasil panennya. Peternakan adalah satu-satunya sumber pendapatan bagi keluarganya. Tanahnya di dekat perbatasan menderita, baik dari serangan gas air mata, agresi Israel Mei 2021 lalu, serta penyemprotan herbisida udara oleh militer Israel. Tanah perlahan-lahan diracuni.

Seperti yang didokumentasikan Al Mezan dalam laporannya, penggunaan herbisida udara secara berkala oleh militer Israel pada tanaman petani Palestina, berarti tanah di zona perbatasan menjadi rusak secara permanen dan tidak layak untuk pertanian.

Dalam tiga bulan terakhir, tetangga al-Najjar, Jaber Abu Sammour (46) telah mencoba menanam gandum di tanahnya, tetapi tidak berhasil. Para petani mengatakan, ini karena herbisida beracun dan mereka juga mengatakan Israel menggunakan bom fosfor selama perang terakhir di Gaza pada bulan Mei, yang jika benar juga akan mencemari tanah.

Kementerian menawarkan bantuan kepada petani yang perlu merehabilitasi tanah mereka. Namun, dalam menghadapi kebutuhan yang meluas, ada terlalu banyak yang harus dilakukan oleh Kementerian.

“Kementerian menawarkan layanan kepada semua petani,” kata al-Najjar kepada The Electronic Intifada, “tetapi kami memiliki banyak masalah dan tidak dapat memperbaiki semuanya sekaligus.”

Petani membutuhkan pupuk yang terlalu mahal akibat pembatasan Israel. Israel menganggap pupuk sebagai apa yang disebut produk penggunaan ganda dan karena itu sangat membatasi masuknya mereka ke Gaza.

Baik perubahan iklim maupun perang tidak baik untuk pertanian, katanya.

Untuk saat ini, al-Najjar menjual produknya dengan harga rendah demi mendapatkan keuntungan secepat mungkin, tapi dia tidak mencari bantuan apa pun.

“Kami tidak membutuhkan bantuan uang tunai,” kata al-Najjar. “Kami membutuhkan militer Israel agar menghentikan apa yang dilakukannya dan membiarkan kami hidup.”

Sementara itu, petani harus beradaptasi. Tanaman seperti tomat mahal dan petani tidak lagi mau menanamnya di dekat perbatasan.

Menurut Gisha, sebuah organisasi hak asasi manusia Israel, biaya menanam 1.000 meter persegi tomat adalah sekitar US$1.500. Dari sini, petani hanya dapat berharap keuntungan sedikit di atas US$600.

Menanam bayam di area dengan ukuran yang sama hanya berharga sekitar US$280 tetapi juga menghasilkan keuntungan yang lebih kecil.

Selain itu, petani hanya mencoba menanam tanaman pendek seperti peterseli, lobak, dan kentang. Tanaman tinggi dapat menimbulkan kemarahan militer Israel dan kemungkinan akan diratakan dengan buldoser.

“Semua yang terjadi pada lahan pertanian kami hanya mengarah pada satu kesimpulan,” kata al-Najjar. “Mereka tidak ingin kami menanami tanah atau menafkahi keluarga kami.”

Dia dan petani lain tetap menantang.

“Kami telah menanami tanah kami dan kami akan terus menanami tanah kami karena inilah yang kami lakukan. Inilah yang dilakukan nenek moyang kita. Dan inilah yang akan terus dilakukan oleh keturunan kita.”

 

Sumber: The Electronic Intifada

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Rudi Hendrik

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.