PERLINDUNGAN NYAWA WARGA SIPIL DALAM PERANG

Oleh: Ali Farkhan Tsani,S.Pd.I.* 

Ketika akan memberangkatkan pasukan para sahabatnya, Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyampaikan pesan, “Pergilah atas nama Allah, percaya pada Allah dan tetaplah pada agama Rasul-Nya. Jangan membunuh orang-orang jompo, atau bayi, atau anak-anak, atau wanita, janganlah curang dalam harta rampasan, berlakulah dengan benar dan adil, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.” (HR Abu Dawud dari Anas bin Malik).

a ilustrasi korban sipil dan bangunan umum. (yemenpress)Perlindungan Sipil

Meskipun Islam dalam situasi tertentu mengizinkan bahkan mewajibkan berperang, Namun Islam agama yang penuh kasih sayang tidak membiarkan peperangan yang dilegalkan itu tanpa batasan dan etika atau akhlak.

Bahkan Islam jauh lebih mulia dan menghargai nyawa warga sipil tak berdosa, yang tak terlibat perang, yang lemah dan justru perlu perlindungan, jadi ketentuan ini malahan mendahului hukum perang positif yang dikenal dengan Hukum Humaniter Internasional (HHI) seperti dalam Konvensi Jenewa 1864 dan Jenewa 1949.

Islam sangat melarang perbuatan melampaui batas dalam peperangan, seperti Allah sebut di dalam ayat,

 وَقَـٰتِلُواْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ ٱلَّذِينَ يُقَـٰتِلُونَكُمۡ وَلَا تَعۡتَدُوٓاْ‌ۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُعۡتَدِينَ

Artinya: “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”. (QS Al-Baqarah [2]: 190).

Dalam kaitan ini, Umar bin Abdul Aziz menyatakan, “Perangilah orang yang dalam keadaan sedang memerangimu, dan jangan melampaui batas, sehingga terbunuhnya perempuan, anak-anak, tokoh agama dan semisalnya.”

Khalifah pemimpin umat Islam, Abu Bakar Ash-Shiddiq pun dalam amanat pemberangkatan pasukannya ke medan perang memberikan komando,”Kami nasihatkan kalian dengan sepuluh hal, (1) Jangan membunuh para wanita (2) Jangan membunuh anak-anak (3) Jangan membunuh orang tua yang lemah. (4) Jangan menebang pohon yang menghasilkan buah, (5) Jangan membantai kambing, (6) Jangan membantai unta, kecuali untuk makanan. (7) Jangan membakar rumah, (8) Jangan memporak-porandakan bangunan. (9) Jangan mencuri barang rampasan perang, dan (10) Jangan bersikap pengecut’.” (HR Malik).

Atas dasar inilah, segala bentuk pertempuran hanya terjadi di kalangan pasukan tempur, dan dibatasi untuk tentara yang memang bertugas untuk berperang.

Maka, demi menjaga nyawa sipil yang tidak terlibat dalam peperangan, Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memilih keluar dari Madinah ke daerah Badar dan Uhud menyambut pasukan kafir Quraisy dari Madinah.

Prinsip inilah yang kemudian diimplementasikan oleh Nabi yang melarang membunuh warga sipil yang tidak ikut dalam suatu peperangan.

Tuntunan Nabi tersebut mengajarkan akhlak bagaimana perlindungan terhadap warga sipil dan nontentara, yang memang harus dilindungi dari segala bentuk ekses operasi militer, serangan membabi buta, dan pembalasan dendam, serta tidak dijadikan sebagai objek serangan atau dijadikan sebagai perisai dari serangan militer.

Sehingga ketika suatu saat, sahabatnya Abdullah bin Umar melaporkan kepada Nabi, bahwa telah ditemukan seorang wanita yang terbunuh, maka Nabi marah dan menyatakan, tidak menyetujui pembunuhan wanita dan anak-anak.

Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaily, pakar perundangan Islam alumni Universitas Damaskus, Suriah, mengatakan bahwa tidak diperbolehkan membunuh orang-orang yang tidak terlibat dalam peperangan dari kalangan sipil, para wanita, bayi, orang gila, orang tua yang lemah, orang yang terbaring sakit, lumpuh, buta, orang yang tangan dan kakinya putus bersilang, terpotong tangan kanannya, kurang akal, rahib-rahib di tempat peribadatan mereka, kaum terintimidasi yang berada di suatu rumah atau gereja, orang-orang yang tidak mampu berperang, dan para petani di ladang-ladang mereka. Kecuali jika mereka ikut berperang.

Prof. Az-Zuhaily menambahkan, diperbolehkan juga membunuh wanita jika ia merupakan komandan perang musuh, karena dengan membunuhnya akan mencerai-beraikan kekuatan mereka. Begitu pula jika raja mereka adalah seorang anak kecil dan mereka mendatangkannya dalam peperangan, maka tidak mengapa membunuhnya jika itu bertujuan untuk mencerai-beraikan kekuatan mereka.

Demikian pula jika pihak musuh tertawan, tidak lagi memegang senjata, ia sudah menjadi sipil tidak lagi tentara di medan perang, maka perlakuannya pun sama dengan warga sipil lainnya.

Beberapa tawanan Perang Badar oleh Nabi boleh bebas dengan syarat tebusan. Bahkan ada beberapa tawanan dari kalangan orang-orang kafir diminta membayar tebusan itu dengan mengajari anak-anak Muslim, sebagai kompensasi pembebasan mereka, dan kemanfaatan umat.

Bahkan Nabi bersikap sangat kasih sayang dan penuh keluhuran budi kepada pihak musuh yang telah ditaklukkan. Walaupun sebelumnya Nabi pernah disakiti dan beberapa sahabat beliau dianiaya dan dibunuh mereka.

Seperti pada peristiwa pembebasan Fath Makkah, Nabi memberikan statemen kepada orang-orang kafir Quraisy yang telah ditaklukkannya, “Pergilah, kalian semua dibebaskan.”

Kemudian saat memasuki kota Mekkah, Nabi menyebutkan lagi, “Siapa saja yang bersedia mengakui tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, maka dia akan selamat. Siapa saja yang berlindung di kompleks Ka’bah serta meletakkan senjatanya, dia juga selamat. Siapa saja yang masuk dan berlindung di rumah Abu Sufyan, dia selamat…”.

Padahal Abu Sufyan saat itu adalah tokoh kadfir Quraisy yang selama puluhan tahun memusuhi dan memerangi Nabi dan para sahabatnya. Akhirnya, justru dengan kasih sayang, kebaikan dan kebijakan Nabi, ia masuk Islam, dan kemudian menjadi sahabat yang mengembangkan Islam kepada keluarga, kerabat dan lingkungannya. Karena ia mengakui keagungan, kewibawaan dan rahmatnya ajaran Islam.

Demikian nilai-nilai luhur ajaran Islam mengenai batasan-batasan dalam sasaran perang berdasarkan asas perbedaan antara sipil dan tentara.

Memelihara Nyawa

Islam sebagai pedoman manusia di permukaan bumi ini memiliki tugas pokok ajarannya (maqoshid syari’ah) adalah menjaga dan memelihara  hak-hak manusia  yang paling mendasar, khususnya hak hidup, hak beragama, hak memelihara akal, hak keluarga dan hak kepemilikan.

Maka Islam sangat mengecam segala bentuk tindak , , kedzaliman apalagi terorisme yang dilakukan kepada orang atau kelompok lain. Hingga Al-Quran menganggap kedzaliman yang dilakukan berupa pembunuhan warga sipil tak berdosa, yang tidak terkait dengan tentara perang, itu sama saja dengan membunuh manusia secara keseluruhan.

Sebab orang yang terbunuh dari kalangan sipil itu, baik anak-anak, kaum wanita dan orang-orang tua masih memiliki hak hidup, hak melanjutkan keturunannya dan hak untuk menyembah Tuhannya. Apalagi kalau mereka yang terbunuh itu adalah seorang Muslim, ya walau hanya seorang, walau hanya satu nyawa! Karena ia adalah makhluk Allah, yang Allah ciptakan untuk menyembah-Nya. Apalagi kalau ia adalah penduduk Muslim, yang terbunuh akibat serangan, sehingga tidak ada kesempatan lagi untuk menyembah-Nya, untuk bermunajat kepada-Nya dan untuk membaca ayat-ayat-Nya.

Kalaupun ia kafir atau non-Muslim dari kalangan sipil, yang juga terbunuh, ia juga masih makhluk-Nya, yang masih diberi kesempatan bertaubat dan kembali ke ajaran Allah. Seperti Abu Sufyan dan kalangannya yang kemudian masuk Islam setelah Fath Mekkah.

Itulah, mengapa membunuh makhuk Allah di kalangan sipil, apalagi anak-anak dan kaum hawa, maka sama dengan membunuh seluruh manusia. Dosanya pun sama dengan membunuh sleuruh manusia.

Al-Quran dengan sangat keras menyebutkan,

 …مَن قَتَلَ نَفۡسَۢا بِغَيۡرِ نَفۡسٍ أَوۡ فَسَادٍ۬ فِى ٱلۡأَرۡضِ فَڪَأَنَّمَا قَتَلَ ٱلنَّاسَ جَمِيعً۬ا…

Artinya: “…Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya…”. (QS Al-Maidah [5]: 32).

Pada ayat lain dikatakan,

 …فَمَنِ ٱعۡتَدَىٰ عَلَيۡكُمۡ فَٱعۡتَدُواْ عَلَيۡهِ بِمِثۡلِ مَا ٱعۡتَدَىٰ عَلَيۡكُمۡ‌ۚ…

Artinya: “Oleh sebab itu, barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu”. (QS Al-Baqarah [2]: 194).

 وَإِنۡ عَاقَبۡتُمۡ فَعَاقِبُواْ بِمِثۡلِ مَا عُوقِبۡتُم بِهِۦ‌ۖ وَلَٮِٕن صَبَرۡتُمۡ لَهُوَ خَيۡرٌ۬ لِّلصَّـٰبِرِينَ

Artinya: “Dan jika kamu memberikan balasan maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar”. (QS An-Nahl [16]: 126).

Prinsip keadilan, penghargaan terhadap sesama manusia lainnya, diteladankan oleh sahabat Nabi, Abdullah bin Rawahah saat diutus oleh Nabi menemui kaum Yahudi Khaibar setelah mereka takluk kepada Islam.

Rasulullah menetapkan hasil kebun-kebun kurma di Khaibar harus dibagi antara kaum Yahudi dengan kaum Muslim melalui Nabi. Abdullah bin Rawahah diutus untuk menaksir hasil panen yang akan diperoleh.

Setelah selesai menaksir, Abdullah bin Rawahah menyatakan di hadapan kaum Yahudi Khaibar, “Wahai kaum Yahudi!  Kalian  adalah makhluk yang paling aku benci. Kalian telah membunuh para Nabi dan mendustakan Allah. Akan tetapi, kebencianku kepada kalian tidaklah membuatku berbuat curang atas kalian. Sungguh aku telah menaksir, ternyata jumlahnya 20.000 wasaq kurma. Kalau kalian setuju silahkan, jika tidak maka kembali kepadaku”.

Kaum Yahudi pun menanggapinya,”Dengan keadilan semacam inilah, langit dan bumi menjadi tegak.”

Begitulah, begitu pentingnya keadilan sehingga semua dapat merasakan kebaikan dan keindahan ajaran Islam. Jangan sampai hanya karena kebencian kepada seseorang atau sekelompok, kemudian membombardir semuanya, warga sipil tak berdosa, yang tidak terlibat langsung, kemudian menjadi korban.

Ini karena Islam sangat menghargai nyawa seseorang. Membunuh satu orang tanpa alasan yang dibernarkan, itu sama dengan membunuh semua manusia. Sebaliknya, menjaga nyawa satu orang manusia, sama dengan menjaga seluruh nyawa manusia.

Allah mengingatkan di dalam firman-Nya:

يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُونُواْ قَوَّٲمِينَ لِلَّهِ شُہَدَآءَ بِٱلۡقِسۡطِ‌ۖ وَلَا يَجۡرِمَنَّڪُمۡ شَنَـَٔانُ قَوۡمٍ عَلَىٰٓ أَلَّا تَعۡدِلُواْ‌ۚ ٱعۡدِلُواْ هُوَ أَقۡرَبُ لِلتَّقۡوَىٰ‌ۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ‌ۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا تَعۡمَلُونَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran ) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesunbgguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS Al-Maidah [5]: 8).

Karenanya, membunuh warga sipil yang tidak berdosa adalah termasuk suatu tindakan yang tidak direstui dalam Islam. Oleh karena itu pula, maka Prof. Yusuf al-Qaradhawi dan beberapa fatwa lembaga Islam internasional sepakat memberikan fatwa, mengutuk dan mengecam berbagai tindakan teror yang menjadikan warga sipil sebagai sasaran penyerangan, seperti pembajakan pesawat sipil, pengeboman objek-objek wisata dan gedung sipil, dan aksi-aksi teror serupa. (T/P4/P2).

Ali Farkhan Tsani

Ali Farkhan Tsani,S.Pd.I., Penulis Wartawan Mi’raj Islamic News Agency (MINA), Alumni Mu’assasah Al-Quds Ad-Dauly Shana’a, Yaman, Da’i Pondok Pesantren Al-Fatah Bogor, Indonesia.

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.

Comments: 0