Proyeksi Geopolitik Global Pasca Covid-19

Oleh: Adhe Nuansa Wibisono, Mahasiswa Ph.d Studi Keamanan Internasional, Turkish National Police Academy

Krisis Ekonomi Global

Dampak dari wabah virus corona () telah memberikan efek multidimensinya secara global. Tercatat Covid-19 telah menginfeksi 2,32 juta orang dan membunuh sebanyak 160,448 orang di seluruh dunia (Worldometer, 18 April 2020).

Jika dibandingkan dengan Wabah SARS pada tahun 2003 yang menginfeksi sekitar 8,000 orang dan membunuh 774 orang (World Economic Forum, 2020) tentu Covid-19 dapat dilihat sebagai “raksasa” yang mengancam dengan jumlah kasus dan angka kematian yang terus bertambah setiap harinya.

Dilihat dari skala kerugian ekonomi Wabah SARS diperkirakan mengakibatkan kerugian ekonomi global sebesar US $ 50 Miliar. Bandingkan dengan kerugian ekonomi global akibat Covid-19 yang ditaksir mencapai US $ 2 Trilyun hingga US $ 4 Trilyun atau sekitar 2,3% hingga 4,8% dari produk domestik bruto global (Bank Pembangunan Asia, 2020).

Tentu saja ini sebuah angka kerugian yang masif yang menandakan bahwa dunia saat ini sedang menghadapi krisis ekonomi yang serius. Para pengamat ekonomi bahkan memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia turun menjadi -3 persen yang menjadikan Great Lockdown akibat Covid-19 menjadi resesi terburuk sejak Great Depression dan jauh lebih buruk dari Krisis Keuangan Global 2008 (International Monetary Fund Blog, 2020).

Selain itu dampak dari Covid-19 juga menyebabkan munculnya gelombang pengangguran baru akibat kebijakan lockdown yang diterapkan oleh banyak negara. Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) memperkirakan sekitar 25 juta orang terancam menganggur karena Covid-19. Padahal sebelum wabah meluas tingkat pengangguran global sudah mencapai 190 juta orang (United Nations News, 8 April 2020).

Hilangnya pekerjaan tentu saja berdampak langsung kepada meningkatnya kemiskinan, dan jika negara-negara tidak mampu mengelola dengan baik masalah ini maka akan berdampak pada stabilitas politik dan kondisi keamanan domestiknya. Kita akan menyaksikan rentannya krisis sosial terjadi di banyak negara menyusul badai krisis ekonomi akibat pandemi ini.

Apa yang diutarakan oleh Shisvankar Menon, mantan Penasehat Keamanan Nasional India, dapat menggambarkan wajah dunia pasca Covid-19, yaitu “dunia yang terpecah belah dengan nasionalisme yang menguat, pendekatan zero-sum game dan hubungan Amerika Serikat- yang bermusuhan”. Menon menyebutnya dengan skeptis yaitu masa depan dunia yang “lebih miskin, lebih kejam dan lebih kecil”.

America First dan Melemahnya Pengaruh Global ?

Tentunya kita bertanya apakah pandemi ini juga berdampak kepada negara superpower seperti Amerika Serikat (AS)? Apakah AS memiliki “imunitas” terhadap Covid-19? Selain itu apakah AS akan memainkan peranan global yang dominan pasca pandemi? Saat ini dapat dikatakan AS menjadi negara terparah di dunia yang terkena dampak pandemi dengan kasus penderita positiv Covid-19 sebanyak 719,686 orang dan jumlah kematian sebesar 38,200 orang (Worldometer, 18 April 2020).

Dengan sistem kesehatan yang dianggap paling modern di dunia, AS ternyata telah gagal untuk menahan laju pandemi. Terbukti jumlah kasus positif dan angka kematian yang begitu tinggi menimbulkan pertanyaan tentang kesiapan pemerintahan AS menghadapi Covid-19.

Sementara itu di sisi ekonomi AS juga terdampak cukup parah, di mana hampir 10 juta orang pekerja AS telah kehilangan pekerjaan pada Maret 2020. Departemen Tenaga Kerja AS menyebutkan klaim tunjangan pengangguran mencapai rekor 9,96 juta orang pada 28 Maret (The Jakarta Post, 3 April 2020).

Klaim gabungan itu setara dengan total klaim tunjangan dalam 6,5 bulan pertama pada resesi ekonomi 2008. Wabah Covid-19 telah memaksa dunia usaha AS untuk berhenti karena dampak lockdown dan menyebabkan pemutusan hubungan kerja dalam skala yang massal. Goldman Sachs juga memperkirakan AS akan mengalami lonjakan tingkat pengangguran yang akan mencapai rekor tertinggi 15% (The Economic Times, 4 April 2020).

Di samping pekerjaan rumah yang mendera perhatian AS dalam isu Covid-19 ini, pemerintahanTrump juga mengadopsi kebijakan America First dalam politik luar negerinya. Kebijakan ini menjadikan kepentingan nasional Amerika sebagai prioritas dibanding menanamkan pengaruh AS secara global.

Pendekatan ini adalah konsekuensi akibat kemuakan rakyat Amerika atas beban biaya mahal perang yang disponspori AS di berbagai belahan dunia dan membebani keuangannya. Kebijakan America First ini menyebabkan melemahnya pengaruh AS secara global karena banyak negara merasa AS tidak lagi menjadi mitra yang dapat dipercaya dan diandalkan.

Ashok Sharma, pakar keamanan Australian University memperkirakan dunia pasca Covid-19 dengan menguatnya pertarungan geopolitik antara AS-Tiongkok. Sejak awal kepresidenannya, Presiden Trump telah mengangkat masalah tarif yang mengakibatkan perang dagang. Pada Januari 2020, AS dan Tiongkok telah mengadakan perjanjian dagang untuk meredam konflik tersebut, tetapi Covid-19 telah menghidupkan kembali persaingan kedua negara.

Ketegangan politik itu ditandai dengan istilah “Virus Tiongkok” yang dilancarkan Presiden Trump ketika menyebut Covid-19. Tiongkok membalas tindakan AS dengan menyebarkan teori bahwa Covid-19 merupakan rekayasa genetika yang disponsori oleh pemerintah AS. Perang opini ini menandakan rivalitas konflik antara dua negara superpower dunia yang menggambarkan proyeksi geopolitik global pasca Covid-19.

Memasuki Era Sino-sentris?

Pada awal menyebarnya Covid-19, rezim Xi Jinping dikritik karena respon penanganan yang lambat dan adanya indikasi untuk menutupi wabah tersebut yang memungkinkan virus korona menyebar cepat ke seluruh dunia. Sekarang dengan pengendalian pemerintah terhadap penyebaran virus dan mulai bergeliatnya kembali pabrik-pabrik, Tiongkok kembali mengekspor pasokan vital dan peralatan medis ke negara-negara lain.

Tiongkok berupaya mengubah wajah Covid-19 ini dari bencana wabah menjadi simbol kepemimpinan globalnya. Upaya tersebut diperkuat dengan propaganda yang berfokus pada respon pemerintah Tiongkok terhadap wabah menjadi bagian kampanye global yang disebut para pengamat sebagai Covid Diplomacy.

The Economist menyebutkan bahwa krisis yang terjadi ini bukan melemahkan alih-alih akan memperkuat pengaruh Tiongkok di berbagai kawasan dunia seperti Afrika, Eropa Timur, Amerika Latin dan Asia Tenggara.

Melalui Covid Diplomacy, Tiongkok akan berupaya keras memperbaiki reputasinya di mata dunia sebagai aktor global yang signifikan dengan mengirimkan bantuan dan ahli medis kepada negara-negara yang terkena dampak pandemi. Bayangkan, jika Tiongkok meluncurkan kampanye Medical Belt Road and Initiative di berbagai kawasan negara berkembang tersebut, maka itu akan meningkatkan reputasinya di panggung global sembari melindungi kepentingan investasinya di sana (The Economist, 2020).

Dengan menghilangnya pengaruh AS dalam panggung kepemimpinan global, maka kevakuman ini menciptakan peluang bagi Tiongkok untuk mengambil alih dominasi tersebut. Beberapa analis keamanan berpendapat bahwa krisis Covid-19 ini akan mempercepat transisi kekuasaan dari Barat ke Asia.

Era pasca Covid-19 diprediksi akan menjadi awal tatanan dunia baru dan globalisasi ala Tiongkok yang bisa disebut sebagai era Sino-sentris. Tetapi pendapat lainnya juga menyebutkan bahwa AS akan melakukan rebalancing terhadap Tiongkok. AS akan mengurangi keterlibatannya di negara lainnya dan menggunakan sumber dayanya  lebih efektif untuk menyeimbangkan pengaruh Tiongkok.

Kemungkinan lainnya adalah Tiongkok melakukan normalisasi ekonomi secara cepat dengan cara pemulihan manufaktur dan perdagangan. Tiongkok akan mengambil pendekatan yang lebih bersahabat dengan AS, karena pasar Amerika dan Barat sangat penting untuk ekspor Tiongkok. Alternatif itu dapat memberikan keunggulan kompetitif yang sangat besar bagi Tiongkok dan dapat digunakan untuk membantu pemulihan negara-negara lainnya.

Jika Tiongkok aktif mengambil peran bantuan ekonomi untuk pemulihan pasca Covid-19 maka pola ini bisa dilihat seperti Marshall Plan ala Beijing yang dapat memperkuat dominasi global Tiongkok.(AK/R1/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Rana Setiawan

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.