Puasa Ramadhan Mampu Membangun dan Menjaga Persatuan Umat

Oleh: Ansaf Muarif Gunawan/ Wartawan Kantor Berita MINA Islam

Allah Subhanahu Wa Taala mewajibkan orang-orang yang beriman, baik laki maupun perempuan kalau sudah baligh wajib untuk melaksanakan ibadah selama satu bulan penuh.

Untuk kaum laki-laki balighnya ditandai ketika “bermimpi basah”. Sementara untuk kaum perempuan balighnya ketika pertama kali haid.

Maka bagi kaum laki-laki dan perempuan bagi yang sudah baligh wajib untuk melaksanakan puasa. Sebagaimana Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an Q.S. Baqarah [2]: 183.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menjelaskan, puasa adalah menahan diri dari makan dan minum serta berhubungan intim dengan suami ataupun istri dengan niat yang ikhlas karena Allah Subhanhu wa Ta’ala.

Allah menyerukan kepada orang-orang yang beriman dari umat ini dan memerintahkan mereka untuk berpuasa. Puasa berarti menahan diri dari makan, minum, dan bersetubuh, dengan niat yang tulus karena Allah karena puasa mengandung penyucian, pembersihan, dan penjernihan diri dari kebiasaan-kebiasaan yang jelek dan akhlak tercela.

Salah satu hakikat ibadah puasa adalah pengendalian diri. Karena musuh utama manusia sebenarnya adalah datang dari diri sendiri, yaitu nafsunya yang cenderung pada keburukan. Tidak sedikit manusia yang celaka karena tidak mampu mengendalikan nafsunya.

Jika manusia bisa mengendalikan diri, maka mereka itulah yang dan selama bulan Ramadhan dan juga diluar bulan Ramadhan. Persatuan sesungguhnya dibangun atas dasar saling menghargai, saling menghormati, tidak saling menyakiti dan memperolok-olok orang lain. Karena bisajadi orang yang kita olok-olokan lebih baik dari kita.

Sebagaimana Allah Subhanahu Wa Ta’ala Berfirman (QS. Al-Hujurat [49]: 11)

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّنْ قَوْمٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُوْنُوْا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاۤءٌ مِّنْ نِّسَاۤءٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّۚ

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok).”

Dalam ayat ini, Allah mengingatkan kaum Mukminin supaya jangan ada suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain karena boleh jadi, mereka yang diolok-olokkan itu pada sisi Allah jauh lebih mulia dan terhormat dari mereka yang mengolok-olokkan. Demikian pula di kalangan wanita, jangan ada segolongan wanita yang mengolok-olokkan wanita yang lain karena boleh jadi, mereka yang diolok-olokkan itu pada sisi Allah lebih baik dan lebih terhormat dari wanita-wanita yang mengolok-olokkan.

Dalam Islam Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang kaum mukminin mencela kaum mereka sendiri karena kaum Mukminin semuanya harus dipandang satu tubuh yang diikat dengan kesatuan dan persatuan.

Dalam sebuah hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim dari an-Nu’man bin Basyir: Perumpamaan orang-orang mukmin dalam kasih mengasihi dan sayang-menyayangi antara mereka seperti tubuh yang satu; bila salah satu anggota badannya sakit demam, maka badan yang lain merasa demam dan terganggu pula.

Sebagaimana Rasulullah bersabda:

مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ، مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى

“Perumpamaan kaum mukminin dalam saling mencintai, saling mengasihi dan saling menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh anggota tubuhnya yang lain ikut merasakan sakit juga dengan tidak bisa tidur dan merasa demam.” (HR Muslim).

Maka dengan pengendalian diri yang ditempa saat Ramadhan, umat Islam akan mampu merawat persatuan dan kesatuan umat Manusia, serta memelihara semangat persaudaraan, antar sesama kaum Muslimin, juga antar sesama manusia sebagai makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Perlu keikhlasan karena Allah SWT, sebab dengan puasa itulah seorang Muslim punya kesempatan untuk membersihkan jiwanya, dari segala hawa nafsu dan akhlak yang tercela.

Hakikat puasa itu adalah untuk meraih ketakwaan sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. Al-Baqarah 183. Ketakwaan itu adalah wujud dari pada kehidupan untuk berjamaah, sebagaimana dijelaskan pada potongan ayat yang terakhir “La’allakum tattaqun.

Ayat lain sebagaimana Allah Subahanahu wa Ta’ala berfiman dalam Q.S. Ali Imran [3]: 102.

يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِۦ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسۡلِمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.”

Nabi Muhammad SAW sangat menganjurkan umatnya untuk menjalin persatuan dan kesatuan dalam wujud berjamaah. Oleh karena itu dalam bulan suci Ramadhan ini, marilah kita hidup berjamaah. Hidup berjamaah adalah perintah Allah subhanahu wa ta’ala kepada orang beriman. Sebagaimana dijelaskan pada ayat selanjutnya Q.S. Ali Imran [3]: 103.

وَٱعۡتَصِمُواْ بِحَبۡلِ ٱللَّهِ جَمِيعً۬ا وَلَا تَفَرَّقُواْ‌

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali [agama] Allah, dan janganlah kamu bercerai berai seraya berjamaah.”

Ayat di atas memerintahkan orang-orang beriman agar berpegang pada Al-Quran dan As-Sunah seraya berjamaah. Ayat ini juga melarang orang-orang Mukmin melakukan hal-hal yang dapat menjerumuskan diri mereka ke dalam perselisihan, perpecahan, pertikaian dan permusuhan.

Selanjutnya, agar kita berpegang teguh kepada tali Allah, yaitu agama Islam dan kitab-Nya dengan cara hidup berjamaah, dalam satu kesatuan, terpimpin oleh seorang imaam yang ditaati dan tidak saling bercerai berai.

Semua itu haruslah dikerjakan dengan istiqamah terus-menerus, dan konsisten atas hal itu hingga mereka meninggal dunia, tetap dalam memegang tali Islam, yaitu Al-Quran dan As-sunnah.

Jadi, untuk dapat mewujudkan taqwa yang sebenarnya sebagaimana rangkaian firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas adalah mewujudkan kehidupan berjamaah. Dan kita dilarang untuk bercerai berai karena syetan bersama orang yang sendirian.

Sebagaimana dalam Hadits, Rasulullah saw bersabda: “Hendaklah kalian berjamaah dan jangan bercerai-berai, karena syetan bersama yang sendiri daripada dengan dua orang lebih. Barangsiapa ingin masuk kedalam surga maka hendaklah komitmen dalam jama’ah” (HR At-Tirmidzi).

Fakta sejarah menunjukkan bahwa Rasulullah beserta para sahabat yang mengikuti ajaran Islam hidup dengan hidup berjamaah di tengah lingkungan masyarakat/negeri musyrikin.  Puasa Ramadhan juga mengajarkan umat Islam untuk dapat hidup bersama sebagai makhluk sosial. Dalam melaksanakan puasa, umat Islam dari berbagai belahan dunia melaksanakan aturan syariat yang sama, pedomannya sama dan tujuannya pun sama, yaitu menggapai ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Maka, dengan amaliah yang sama, pedoman dan tujuan yang sama, diharapkan mampu menumbuhkan semangat persatuan di antara sesama umat Islam. Maka di bulan Ramadhan ini adalah peluang kita untuk menjalin persaudaraan dan persatuan dengan menerapkan  kehidupan berjamaah yang dipimpin oleh seorang imam.

Semoga dengan memahami hakikat dan makna yang terkandung dalam ibadah puasa, kita semua mampu lebih maksimal dalam beribadah dan menjadikan momen Ramadhan sebagai bulan untuk menyatukan umat. Aamiin Ya Rabbal Alamiin. (A/R8/P2)

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.