Putin dan Rouhani Bahas Kerja Sama dan Kesepakatan Nuklir Iran

Moskow, MINA – Presiden Vladimir Putin dan mitranya Presiden Hassan Rouhani membahas kerja sama kedua negara dalam melawan COVID-19 dan program nuklir Iran.

“Kedua presiden sepakat untuk melanjutkan kerja sama termasuk di antara kementerian kesehatan kedua negara,” kata Pusat Pemerintah Rusia di Kremlin, Moskow dalam pernyataan resmi yang diunggah di laman situs webnya seperti dikutip MEMO, Jumat (17/7).

Putin dan Rouhani juga membahas Iran yang ditandatangani di Wina, pada 14 Juli 2015, antara Iran dan anggota tetap Dewan Keamanan PBB, bersama Jerman dan Uni Eropa.

Putin mengatakan bahwa kesepakatan itu, yang secara resmi dikenal sebagai Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA), “penting untuk pemeliharaan stabilitas dan keamanan global”, menurut pernyataan Kremlin.

Selain itu, beberapa hari sebelumnya juga dalam percakapan telepon dengan Kanselir Jerman Angela Merkel, Putin mendesak pelestarian kesepakatan nuklir Iran 2015 (JCPOA), yang pihak Rusia anggap sebagai alat utama untuk menyelesaikan masalah penelitian nuklir Iran.

“Presiden Rusia menekankan keputusasaan atas sanksi dan tekanan Amerika Serikat  pada Teheran dalam hal ini dan pentingnya melestarikan Rencana Aksi Bersama Komprehensif pada program nuklir Iran, yang disetujui oleh Resolusi 2231 Dewan Keamanan PBB,” kata pernyataan Kremlin.

Pada 30 Juni, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mendesak Dewan Keamanan PBB untuk memperpanjang embargo senjata terhadap Iran dan memperingatkan bahwa mengakhirinya akan membahayakan stabilitas di Timur Tengah.

Sementara Rouhani menegaskan komitmen negaranya untuk JCPOA dan kesiapannya untuk kerja sama yang setara dan konstruktif baik dengan semua penandatangannya dan denga Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA).

Dia menyatakan terima kasih kepada Moskow atas dukungannya untuk mepertahankan dan mengimplementasikan kesepakatan nuklir Iran. Kesepakatan itu membatasi kegiatan nuklir Iran sebagai imbalan atas pencabutan sanksi yang telah lama diberlakukan terhadap negara itu. Namun AS menarik diri dari kesepakatan itu pada tahun 2018 lalu. (T/R6/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)