Qurban dan Keteladanan Nabi Ibrahim

Oleh : , Redaktur Senior Kantor Berita MINA (Mi’raj News Agency) 

Berqurban pada Hari Raya Idul Adha merupakan salah satu syariat Allah sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Berqurban merupakan pelaksanaan perintah Allah:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Artinya: “Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berqurbanlah.” (QS Al-Kautsar: 2).

Pada ayat ini, berqurban disandingkan dengan shalat (shalat Idul Adha), yang menunjukkan dua amal ibadah yang sangat penting pada bulan Dzulhijjah. Amalan lainnya adalah ibadah haji di tanah suci Makkah Al-Mukarramah.

Tentang berqurban, bagi mereka yang ada kelapangan rezki, bisa dilaksanakan pada tanggal 10 Dzulhijjah, dan selama hari-hari tasyrik tiga hari berikutnya, tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah.

Tentang pahala berqurban terdapat kebaikan dari setiap helai rambut atau bulu hewan tersebut.

Ini seperti disebutkan dalam hadits dari Zaid ibn Arqam, ia berkata: “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, apakah qurban itu?” Rasulullah menjawab: “Qurban adalah sunnahnya Bapak kalian, ‘Alaihis Salam.” Mereka bertanya, “Apa keutamaan yang kami akan peroleh dengan qurban itu?” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab: “Setiap satu helai rambutnya adalah satu kebaikan.”Mereka menjawab: “Kalau bulu-bulunya?”Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab: “Setiap satu helai bulunya juga satu kebaikan.” (HR Ahmad dan Ibnu Majah).

Dampak berikutnya adalah, ibadah qurban mengajarkan agar kita dapat mengorbankan apa yang Allah karuniakan kepada kita, baik harta, ilmu, fasilitas, keluarga, hingga jiwa, untuk meraih ridha Allah.

Adapun tentang shalat Idul Adha, dan seluruh shalat fardhu secara umum, yang disandingkan dengan qurban, karena memang shalat merupakan ibadah paling utama keseharian setiap Muslim, pembeda antara keimanan dan kekufuran, serta amal yang pertama kali dihitung di Hari Pembalasan akhirat kelak.

Tentang pentingnya shalat ini, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :

اَلصَّلاَةُ عِمَادُ الدّيْنِ فَمَنْ اَقَامَهَا فَقَدْ اَقَامَ الدّيْنِ وَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ هَدَمَ الدّيْنِ

Artinya : “Shalat adalah tiang agama. Barangsiapa yang menegakkan shalat,maka berarti ia menegakkan agama, dan barang siapa yang meninggalkan shalat berarti ia merobohkan agama”. (HR Bukhari Muslim).

Syaikh Sayyid Quthub menguraikan, memelihara shalat menjadi begitu penting mengingat shalat merupakan jalan pertemuan seorang hamba yang dha’if dengan Allah Yang Maha Besar. Dengan shalat, seorang hamba akan merasakan kedekatan dengan Allah, hati menjadi tenang, dan jiwa terbasuh kesejukan.

Shalat ibarat sumber mata air sejuk yang tak pernah kering oleh terik panas perjalanan dunia. Karenanya, orang yang berakal sehat pasti  gembira mencelupkan dirinya ke dalam mata air shalat lima waktu sehari semalam.

Shalat juga merupakan penghubung antara makhluk dengan Sang Khalik. Shalat merupakan sebesar-besar tanda keimanan seseorang dan seagung-agung syi’ar keislaman seseorang. Shalat merupakan tanda syukur atas nikmat yang telah dikaruniakan Allah kepada hamba-Nya. Shalat merupakan salah satu rukun Islam yang lima dan merupakan tiang agama Islam.

Pada hadits lain dikatakan:

رَأْسُ الْأَمْرِ الْإِسْلاَمُ، وَعَمُوْدُهُ الصَّلاَةُ، وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ فِيْ سَبِيْلِ الله

Artinya : “Pokok persoalan adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah berjuang di jalan Allah.” (HR At-Tirmidzi).

Keteladanan Nabi Ibrahim

Pelaksanaan ibadah qurban, tidak lepas dari keteladanan Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam beserta keluarganya.

Gambaran sebuah keluarga yang taat lagi berbakti kepada Allah. Sebuah keluarga yang saling menguatkan dan saling melengkapi dalam beribadah kepada-Nya. Keluarga yang saling mengingatkan, saling menasihati, saling memberi dan saling menjaga agar senantiasa menjadi hamba-hamba-Nya.

Sebuah keluarga yang sabar, tabah, dan kuat dalam menghadapi berbagai ujian kehidupan. Sekaligus keluarga yang mampu menghadapi godaan syaitan dengan penuh tawakkal kepada Allah.

Lihatlah bagaimana ketika Siti Hajar, isteri Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam, dan puteranya Ismail ‘Alaihis Salam yang masih bayi, saat ditinggalkan tanpa siapa-siapa dan tanpa apa-apa di padang pasir di dekat Baitullah kala itu. Hanya dengan meninggalkan tempat makanan berisi sedikit kurma dan tempat minum berisi air.

Begitu Nabi Ibrahim hendak berangkat kembali ke wilayah Masjidil Aqsha, Ibrahim meninggalkan keduanya. Siti Hajar mengikutinya dan bertanya, “Hendak ke manakah engkau wahai Nabiyullah Ibrahim? Engkau meninggalkan kami di lembah yang tiada siapapun atau apa pun?” Hajar mengulang pertanyaannya beberapa kali.

Saat dilihatnya Nabi Ibrahim hanya diam dan tetap terdiam tanpa jawaban. Padahal betapa Nabi Ibrahim yang berhati lembut, penyantun lagi penuh kasih kepada keluarganya, isterinya dan anaknya Ismail yang masih bayi. Betapa ia tak kuasa menjawab pertanyaan itu dan tak tega melihat kedua manusia yang dicintainya itu, untuk memenuhi amanah, perintah Allah untuk berangkat dari Baitullah di Makkah menuju Al-Quds di Palestina.

Lalu, dengan penuh keimanan pula, Siti Hajar pun akhirnya menyampaikan, “Apakah Allah yang menyuruh engkau berbuat demikian?” tanyanya. “Benar,” jawab Nabi Ibrahim. Hajar pun berkata, “Jika demikian, maka Allah tentu tidak akan menelantarkan kami.”

Inilah gambaran ketawakkalan penuh ketika hendak memenuhi seruan Allah, maka cukuplah Allah sebagai pelindung dan penolong.

حَسْبُنَا ٱللَّهُ وَنِعْمَ ٱلْوَكِيلُ – نِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِير

Artinya: “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung”. (QS Ali Imran/3: 173). – “Dia adalah Sebaik-baik pelindung dan Sebaik-baik penolong.” (QS Al-Anfal/8: 40).

Inilah dzikir “Hasbunallah wani’mal wakil, ni’mal maula wani’man nashir” yang menegaskan semangat tauhid pada diri orang-orang beriman. Yaitu bahwa hanya kepada Allah sajalah tempat untuk berserah diri dan bertawakkal.

Inilah sebuah kalimat agung yang mengandung makna besar, kandungan yang luar biasa, dan pengaruh yang kuat. Isinya menyebutkan, semua kekuasaan dan kekuatan hanyalah milik Allah.

Ini pulalah dzikir orang beriman memohon perlindungan Allah dari semua kejahatan, ketakutan, ketidakadilam atau kezaliman yang ada.

Belum selesai sampai di situ, beberapa hari Siti Hajar menyusui Ismail kecil dan minum dari tempat perbekalannya. Dan, setelah air itu habis, ia pun kehausan. Demikian pula anaknya. Siti Hajar memperhatikan anaknya kehausan. Ia tak tega. Dengan penuh cinta, ia beranjak pergi mendaki ke Bukit Shafa. Ia berharap ada orang yang akan menolongnya atau menemukan lokasi air. Ketika tak menemukan apa yang dicarinya, ia menaiki satu bukit lainnya, Bukit Marwah. Terus-menerus seperti itu sebanyak tujuh kali, sampai datanglah pertolongan Allah. Tiba-tiba air keluar dari bawah kaki Ismail kecil yang menangis karena kehausan, yang kemudian disebut dengan “air zam-zam”.

Kemudian setelah itu, jama’ah umrah maupun jamaah haji, dan entah sudah berapa miliar kaum Muslimin yang pergi ke Baitullah. Menapaktilasi sa’i antara Shafa dan Marwah dalam tujuh kali jalan kaki, sepanjang sekitar 450 meter kali 7 yaitu 3,15 km bolak-balik. Sebuah penghormatan luar biasa dari Allah kepada Siti Hajar, sekaligus pembelajaran dan ibrah bagi kaum Muslimin.

Begitulah sosok Siti Hajar yahng patut diteladani, bukan hanya karena usahanya mencari air zam-zamnya. Namun karena kesabaran jiwanya, ketabahan hatinya, keteguhan imannya, kethaatan amalnya, ketawakkalan upayanya, dan segala kebaikannya untuk kita teladani.

Puncak keteladanan Nabi Ibrahim ‘Alahis Salam adalah ketika turun perintah untuk menyembelih, mengorbankan putera kesayanganya, Nabi Ismail ‘Alaihis Salam, yang diabadikan di dalam ayat :

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ ٱلسَّعۡىَ قَالَ يَـٰبُنَىَّ إِنِّىٓ أَرَىٰ فِى ٱلۡمَنَامِ أَنِّىٓ أَذۡبَحُكَ

Artinya: “Maka tatkala anak itu (Isma’il) sampai pada umur sanggup berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Wahai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi (wahyu) bahwa aku menyembelihmu…..”. (QS Ashshaffat [37]: 102).

Sang anakpun, dengan kemantapan dan kesabarannya menerima permintaan ayahnya sendiri, sebagai bakti anak yang shalih. Ayat melanjutkan :

قَالَ يَـٰٓأَبَتِ ٱفۡعَلۡ مَا تُؤۡمَرُ‌ۖ سَتَجِدُنِىٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّـٰبِرِينَ

Artinya: Ia menjawab: “Wahai Bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS Ashshaffat [37]: 102).

Inilah gambaran keteladanan keluarga sakinah, mawaddah warahmah, yang dicontohkan oleh Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam sebagai kepala keluarga yang taat kepada Allah, Siti hajar sebagai isteri shalihat yang patuh kepada suami, dan Isma’il ‘Alaihis Salam sebagai anak shalih yang berbakti kepada kedua orang tuanya.

Demikianlah, semoga kita dapat mengambail pelajaran dan meneladani Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam. Aamiin. (A/RS2/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

 

Wartawan: Ali Farkhan Tsani

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.