Ramadhan Di Kancah Peperangan

Oleh: Illa Kartila – Redaktur Senior Miraj Islamic News Agency/MINA

Lebih dari satu miliar umat Muslim di seluruh dunia  mengawali hari Senin (6/7). Mereka memulai bulan suci itu dengan melakukan beragam tradisi guna menyambut datangnya bulan penuh berkah ini. Namun, di wilayah-wilayah yang tengah dilanda perang  seperti Suriah, Irak dan Palestina, warga hanya mampu berjuang dengan cara mempertahankan kewajiban ini.

Indonesia dan Arab Saudi mengumumkan awal bulan puasa setelah melihat hilal/bulan sabit. Sejak saat itu setiap muslim diharuskan untuk menahan makan, minum, hawa nafsu dari fajar hingga senja. Mereka akan berbuka pada saat matahari terbenam dan sahur sebelum matahari terbit. Bulan Ramadhan akan diakhiri dengan Hari Raya Idul Fitri.

Mayoritas muslim di seluruh dunia akan menjalani bulan puasa dengan penuh suka cita, sandang pangan yang melimpah serta kemenangan atas peperangan melawan diri sendiri. Tetapi umat muslim di Suriah, Irak dan Palestina sudah terbiasa hidup dengan serba keterbatasan bahkan darurat sejak pecahnya perang yang telah berlangsung selama lima tahun.

Bagi warga Suriah misalnya, Ramadhan tahun ini akan terasa lebih sulit lagi setelah pertempuran memutus jalur Castello – rute terakhir pasokan pangan dan obat-obatan ke daerah mereka. Seorang ayah dari tiga anak di distrik Salhin mengeluh dalam laman Bdlive, “kami tidak bisa berkumpul bersama di bulan suci ini seperti yang biasa dilakukan sebelum perang.”

Harga pangan lantas meroket sehingga sulit untuk mendapatkan sedikit saja makanan. Harapan untuk bulan Ramadhan tahun ini hanyalah ada di kota yang tidak dibom di malam hari seperti pada bulan puasa 2015 lalu.

Di kota Suriah Madaya, sekira 40 ribu orang telah hidup selama berbulan-bulan di bawah serangan perang. Mumina misalnya, menyiapkan makanan untuk berbuka puasa dengan suaminya, menggunakan sedikit bantuan pangan dari PBB yang berhasil didatangkan. “Paket makanan yang kami terima sangat hambar berupa kacang-kacangan dan lima kaleng tuna per orang.”

Tidak ada pasta apalagi daging dan susu. Seorang ibu rumah tangga sudah mencoba menanam sayuran, tetapi tanah di sana tidak cocok lagi untuk bertanam. Di pasar nyaris tak ada lagi makanan. Kalaupun ada harganya sangat mahal, sehingga ibu-ibu tidak sanggup membelinya.

Pasukan Irak telah memperketat pengepungan di sekitar Kota Fallujah untuk menekan kemajuan besar guna merebut kembali Negara Islam dari kelompok Jihad. “Kami harus bangun pk.05.00 pagi dan berdiri dalam antrean panjang hanya untuk mendapatkan satu kilogram tomat dengan harga 5.000 dinar (Rp42 ribu – red), kata Dulaimi.

Tentara AS Harus Ikut ‘Puasa’

Sementara itu pemerintah Amerika Serikat (AS) meminta tentara yang ditempatkan di negara-negara muslim selama Ramadhan ini, untuk tidak makan dan minum, layaknya orang yang berpuasa.

Instruksi itu datang langsung dari Pentagon. Tentara yang melanggar akan dikenai denda hingga hukuman penjara, demikian dikatakan Bagian Urusan Publik Komando Pusat Angkatan Udara AS, Brigjen John Quintas.

Pria yang juga menjabat komandan 380th Air Expeditionary Wing di wilayah Asia Barat Daya itu menegaskan, pemerintah AS berkomitmen untuk mematuhi konsep toleransi, kebebasan, dan perbedaan. Tentara harus mengapresiasi tradisi dan sejarah dari wilayah tempat mereka ditugaskan.

’’Ingat. Kita adalah tamu dan negara tuan rumah adalah saudara perempuan dan laki-laki yang saling membantu dan merisikokan nyawa mereka untuk tujuan yang sama, yaitu memerangi terorisme,’’ ujarnya.

Layaknya orang berpuasa, para tentara yang berada di wilayah mayoritas muslim dilarang makan, minum, dan merokok sejak subuh hingga tenggelamnya sinar matahari. Jika melanggar, mereka akan didenda hingga USD 685 (Rp 9,1 juta) atau dua bulan penjara.

Mereka boleh makan dan minum di wilayah kekuasaan AS dan di dalam pangkalan. Untuk yang bertugas di luar wilayah kekuasaan pemerintah AS, yang mendapat keringanan adalah prajurit dengan pekerjaan berat. Namun, tidak dijelaskan secara spesifik pekerjaan berat apa yang dimaksud.

Kebijakan itu memicu pro dan kontra. Sebab, sebagian besar tentara AS yang berperang di Timur Tengah tidak memiliki pangkalan. Misalnya, di Irak. Penduduk yang kontra tersebut menilai, para tentara sudah menyabung nyawa terhadap pelaku bom bunuh diri, penembak jitu, dan teroris. Kini mereka juga harus berpikir untuk menahan lapar di tengah perang.

Tentara dalam Perang Yaman boleh tak puasa

Ulama kontroversial Arab Saudi mengizinkan tentara yang bertugas dalam perang Yaman untuk tidak berpuasa Ramadhan. Menurut dia, para tentara itu sedang berjihad menghadapi “musuh”.

Abdul-Aziz bin Abdullah Al ash-Sheikh, yang juga menjabat sebagai mufti, menyatakan bahwa perang Yaman adalah jihad fi sabiilillah. Ia sepertinya menutup mata pada fakta bahwa Yaman adalah negeri yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Menurut laporan dari berbagai pihak, mayoritas korban jiwa adalah warga sipil, termasuk di antaranya anak-anak dan wanita.

“Semoga Anda sukses di bulan Ramadhan yang penuh berkah ini karena Anda ditempatkan di medan perang,” katanya di depan para tentara seperti dikutip media Lebanon, Al-Manar.

Ulama Saudi ini memang terkenal sangat kontroversial dan sudah beberapa kali membuat keputusan aneh. Tahun 2007, ia sempat membuat dekrit untuk membongkar makam Nabi Muhammad SAW dan surat perintah penghancuran seluruh gereja yang ada di Timur Tengah.

Tetapi puasa Ramadhan adalah kewajiban bagi umat muslim yang harus dijalankan sesuai dengan aturan Agama Islam. (R01/P4)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Wartawan: illa

Editor: Ali Farkhan Tsani

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.