Ramadhan di Tengah Beragam Larangan

Oleh: Illa Kartila – Redaktur Senior MINA

Denyut kehidupan seakan mulai terhenti ketika wabah virus Corona yang mematikan – yang kemudian disebut – mulai merebak dengan ganas sejak awal Maret 2020. Bermula dengan ditemukannya dua warga Kota Depok, Jawa Barat yang positip terpapar , virus tersebut menyebar pesat bahkan kemudian menelan ratusan korban jiwa.

Hingga Kamis 23 April 2020 menurut Juru Bicara Penaganan Covid19, Ahmad Yurianto, tercatat 195.948 orang dalam pengawasan (ODP) dan 18.283 pesien dalam pengawasan (PDP). Data dari 34 propinsi di Indonesia itu juga menunjukkan 7.775 orang positip Covid19, sembuh 960 orang dan meninggal 647 orang.

Untuk menghentikan rantai penularan, pemerintah sejak pertengahan Maret memberlakukan beberapa protokol kesehatan, komunikasi, pengawasan perbatasan, area pendidikan, area publik dan transportasi. Kementerian Kesehatan mematok suhu 38oC sebagai titik demam disertai batuk dan flu maka disarankan untuk merujuk ke rumah sakit terdekat.

Pemerintah mengintruksikan seluruh masyarakat untuk selalu hidup bersih dan menjaga kesehatan tubuh. Mencuci tangan setiap habis menyentuh benda yang banyak dipegang orang, menjaga jarak dengan orang lain, mengenakan masker, mandi dan mengganti baju setiap habis bepergian ke luar rumah.

Adanya kecenderungan peyebaran Covid19 yang terus berlanjut, mengakibatkan protokol kesehatan diperluas dengan program Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di mana warga diarahkan untuk “diam di rumah saja” – sekolah, kantor, pabrik, perusahaan, fasilitas umum dan lainnya ditutup dan trasportasi dibatasi, kecuali untuk fasilitas yang terkait dengan penanganan virus tersebut.

Meskipun PSBB pastinya bertujuan baik tetapi juga menimbulkan dampak buruk bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Larangan ke luar rumah dengan menutup sekolah, kantor, perusahaan, pabrik membatasi kegiatan trasportasi, perdagangan (di pasar, kaki lima dan tempat-tempat umum lainnya) membuat jutaan buruh pabrik/perusahaan di-PHK atau dirumahkan tanpa digaji.

Baca Juga:  Ustadz Adi Hidayat, Pakar Al-Qur’an yang Langka

Golongan menengah ke bawah terutama yang bergerak di sektor non formal, usaha kecil juga sangat terdampak oleh kebijakan PSBB, karena tiba-tiba resto/warung nasinya atau salon atau tempat penyewaan alat-alat pestanya, usaha jasa pencucian motor/mobil atau bengkel atau tempat las terpaksa ditutup. Ribuan karyawan di sektor pariwisata dirumahkan.

Gelombang penggangguran tak terhindarkan. Meski ada jaring sosial dari pemerintah untuk membantu kelompok-kelompok masyarakat yang terdampak wabah Covid19, selain terkesan lamban karena birokrasi juga tidak sigapnya para pemangku kewenangan di tingkat bawah/lapangan dalam hal distribusi, padahal kebutuhan akan bahan-bahan pokok sangat mendesak.

Ambil hikmahnya

Di tengah beragam larangan yang berlaku terkait dengan kebijakan PSBB – dilarang ke luar rumah, ke sekolah, ke kantor, ke masjid/mushola, mudik, berkumpul lebih dari lima orang termasuk shalat berjamaah serta kesulitan hidup yang melilit warga – bulan tiba. Bulan penuh ampunan yang biasanya disambut dengan sukacita, kali ini suasananya sangat berbeda.

Bisa dimaklumi pada puasa Ramadhan tahun ini larangan ke luar rumah tetap berlaku, sarana ibadah masih ditutup dan pemerintah serta PBNU menganjurkan masyarakat untuk sholat tarawih yang biasa dilaksanakan secara berjamaah di masjid atau mushala, kini dilakukan di rumah masing-masing. Padahal diantara banyak amalan, yang paling digandrungi umat muslim adalah tarawih dan tadarus Al-Quran.

Baca Juga:  Dukung Mahasiswa AS, Aksi Solidaritas Palestina Menggelora di Berbagai Kampus Indonesia

Seorang pensiunan ASN, Bachrawi mengatakan “umur saya sekarang 69 tahun, seumur hidup baru pernah mengalami musibah serupa ini. Kehidupan tiba-tiba menjadi sulit, lebih banyak warga yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok mereka karena tak punya penghasilan, tempat-tempat ibadah, sekolah, kantor dan sarana-sarana pelayanan umum ditutup. Sudah sudah empat kali tidak shalat Jumat.”

Suasana menyambut bulan Ramadhan kali ini juga berbeda. Menurut Zaini (71 tahun) nuansa ke-Islamannya kurang terasa. “Pada Ramadhan yang lalu-lalu jamaah biasanya memasuki bulan puasa dengan beragam kegiatan, seperti mengaji, ceramah/dakwah dan kegiatan religi lainnya di masjid-masjid. Ibu-ibu menyiapkan makanan kecil untuk buka puasa di masjid. Pemandangan itu tak tampak pada Ramadhan ini.”

Tetapi meskipun sekarang tadarus dan tarawih serta kegiatan-kegiatan yang biasanya dilakukan di masjid dipindahkan ke rumah masing-masing menurut pensiunan ASN itu, tidak mempengaruhi kwalitas ibadah. “Biasa saja, karena kita maklum negara sedang menghadapi bencana Covid19. Bedanya jika ngaji dan tarawih di masjid, suasananya hangat dan tali silaturahim dengan sesama jamaah makin terjalin.”

Seorang karyawati sebuah BUMN, Ambarwati yang harus bekerja dari rumah (WFH) bertanya, “ibu pernahkah sepanjang hidup mengalami kantor, sekolah dan sarana ibadah ditutup seperti sekarang ini ? Anak-anak yang biasanya belajar mengaji di mushola depan rumah kami sepulang dari sekolah, juga terpaksa libur panjang.”

Tetapi seperti kata para bijak, di balik musibah pasti ada berkah. Hal-hal yang membuat kualitas atau pahala puasa berkurang biasanya terjadi lantaran dipengaruhi aktifitas di luar rumah, seperti berkumpul dengan teman, seringkali terlontar perkataan buruk secara spontan serta pembicaraan yang tidak penting atau kegiatan hura-hura yang tak beguna atau “diam-diam” buka puasa.

Baca Juga:  Dukung Mahasiswa AS, Aksi Solidaritas Palestina Menggelora di Berbagai Kampus Indonesia

Juga aktivitas di luar rumah membuat masyarakat bebas bertemu dan melihat siapapun, tak terkecuali lawan jenis. Dengan berkurangnya aktifitas di luar rumah maka hal-hal yang dapat mengurangi kualitas puasa bisa dihindari. Dengan demikian hikmah Ramadhan yang bisa diambil di saat pandemi corona ini, adalah fokus menjalankan ibadah puasa diirngi dengan amalan-amalan baik.

Dari sisi masjid sendiri menurut Kaprodi Manajemen Zakat dan Wakaf FAI UMJ, Dr. Nurhidayat, dengan ditiadakannya shalat tarawih di masjid, jamaah memang tidak lagi bisa mendengarkan kultum yang menjadi rangkaian shalat tersebut padahal hal itu sangat penting bagi mereka dalam meningkatkan ilmu, iman dan takwa.

Untuk memenuhi kebutuhan ini menurut dia, Pengurus Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) bisa berinovasi dengan menyediakan kultum tarawih melalui media online atau media zoom meeting dan berbagai media sosial lainya. Dengan inovasi ini, kebutuhan jamaah masih bisa dipenuhi. Masjid juga telah berhasil melakukan upaya pencegahan penularan Covid-19.

“Seandainya Shalat Idul Fitri ditiadakan, tentu jamaah kehilangan momentum untuk merayakan kemenangan. Takbir dan Tahmid yang dikumandangkan oleh umat di masjid tidak lagi bisa dilakukan. Silaturahim bermaafan setelah sholat Idul Fitri tidak lagi dirasakan. Dalam situasi itu, masjid bisa berinovasi dengan takbir bersama melalui berbagai media online, sehingga jamaah bisa saling mengucapkan hari raya,” katanya.

Dengan inovasi-inovasi tersebut, masjid telah berhasil menciptakan dua hal penting – momentum kenangan dan melakukan upaya preventif penyebaran Covid-19. Marhaban yaa Ramadhan. (A/RS1/P1)

Wartawan: illa

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.