Oleh: Ali Farkhan Tsani,
Wartawan Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Suasana di medan konflik perang selalu memunculkan wartawan-wartawan andal yang berani mempertaruhkan nyawanya demi untuk peliputan pemberitaan dan dokumentasi kejadian di lapangan untuk diketahui dunia. Tak terkecuali konflik yang memanas di negara Yaman belakangan ini.
Ia adalah Safa al-Ahmad, wartawati muslimah kelahiran Arab Saudi, yang telah melaporkan situasi di Yaman sejak 2010. Bahkan, Safa mengabadikan kejadian terakhir di ibukota Yaman, Shana’a, sejak dua minggu setelah kelompok Houthi mengambil alih ibukota.
Baca Juga: Kesabaran Seorang Istri
Film dokumenternya ‘Al Qaeda in Yemen’ tahun 2012 mendapatkan penghargaan film terbaik Sony Impact Award 2012 dan nominasi berita dan dokumen terbaik Emmy Award. Esainya berjudul ‘Wishful Thinking’ yang mengungkap gejolak demo di Arab Saudi, diterbitkan tahun 2013, masuk ke dalam seri Antologi Penulisan Revolusioner English Pen Award. Kabarnya, tulisan itu tidak disukai oleh para penguasa Arab.
Hasil pelaporan terbaru Safa al-Ahmad, dalam bentuk film dokumenter yang ia beri judul The Fight for Yemen, mengudara di stasiun televisi lokal PBS di Amerika Serikat Selasa lalu (7/4/2015). Sebuah laporan pandangan mata yang mencengkeram langsung dari Shana’a, pusat konflik yang rumit di negara itu.
Pekerjaan kewartawanan Safa sangat berisiko, terutama beberapa kali saat syuting pengambilan gambar dan video, termasuk ketika dia ditahan selama empat jam oleh kelompok Houthi bersenjata. Saat itu ia mencoba untuk membuat film wawancara dengan pengurus masjid yang masjidnya menjadi sasaran serangan. Tragisnya, politisi yang rumahnya dia singgahi di Shana’a, terbunuh dalam sebuah perjalanan.
Liputan Pemberontakan
Baca Juga: Muslimat dan Dakwah, Menyebarkan Kebaikan Lewat Akhlak
Safa al-Ahmad adalah seorang jurnalis dan pembuat film dokumenter yang telah menghabiskan tiga tahun terakhir secara diam-diam untuk pembuatan syuting aksi demo di Provinsi Timur Arab Saudi. Kabarnya, walaupun ia berwarga negara Arab Saudi, liputan dokumenternya yang objektif itu itu tidak disukai pihak Kerajaan.
Film itu berisi dokumenter tentang rahasia gejolak aksi Saudi’s Secret Uprising berdurasi 30 menit, disiarkan oleh BBC edisi Mei 2014, telah menarik perhatian luas terhadap aksi protes di Arab.
Ia mengambil risiko yang sangat berbahaya dalam perjalanan dirinya membuat film dokumenter hingga ke Provinsi Timur, Arab Saudi. Tantangan besar baginya, adalah sebagai seorang wanita bepergian sendirian. Hal itu menjadi perhatian para pejabat Saudi, di mana perempuan memiliki kontrol terbatas atas pekerjaan mereka sehari-hari.
Tantangan lainnya, ketika ia membawa kamera rekaman penuh kejadian aktivis di lapangan. Arab Saudi dikenal sebagai salah satu negara Arab yang paling ketat dalam hal kebebasan berekspresi. Ia hampir pasti akan menghadapi hukuman berat jika tertangkap saat syuting.
Baca Juga: Belajar dari Ibunda Khadijah RA, Teladan untuk Muslimah Akhir Zaman
Dia juga membuat liputan tidak kalah berbahayanya, ‘Al-Qaeda in Yemen’ tahun 2012. Sebuah film dokumenter mengenai salah satu kelompok militan di Yaman, yang disebut dengan Al-Qaeda in the Arabian Peninsula (AQAP) atau disebut dengan Tandzim al-Qaa’idah fi Jaziirah Al-‘Arab atau disebut juga dengan Jama’ah Anshaar Al-Syarii’ah.
Termasuk saat ini, ia dikabarkan masih berada di medan perang Yaman, saat koalisi Arab menyerang ibukota yang dikuasai kelompok bersenjata Houthi.
Ia berhasil merekam suara dan film, serta membuat narasi dari orang-orang yang terjebak di tengah perang. Tepat pada saat seperti itulah, Safa Al-Ahmad datang. Sebuah kesempatan yang sangat langka bagi seorang wartawati muslimah, meliput langsung dari medan perang bersenjata dan di tengah dentuman bom.
Namun ia merendah, bahwa ia bukanlah satu-satunya wartawati yang meliput di medan konflik. Menurutunya, banyak wartawan wanita yang meliput di medan konflik, seperti di Mesir, Suriah, Libya dan Yaman.
Baca Juga: Muslimah: Kekuatan Lembut Penggerak Perubahan
“Saya pikir itu pandangan yang keliru bahwa wanita tidak dapat meliput di medan konflik. Bahkan wartawati di medan seperti Timur Tengah justru memberikan keuntungan, karena mendapat kemudahan akses ke semua pihak,” ujarnya.
Ia menemukan kemudahan itu. Namun, ketika ia menghadapi permusuhan atau kesulitan, itu bukan terhadap dirinya sebagai wanita, tetapi lebih pada tugas kewartawanannya. Karena begitu banyak rahasia yang tidak boleh diketahui media.
Mengenai Houthi yang ia liput, ia memberikan komentar bahwa Houthi itu didirikan untuk keperluan kelompok politik. Mereka memiliki paham sekte Zaidi, yang anggotanya membentang hampir sepertiga dari penduduk Yaman 25 juta orang.
Ia memperoleh data dari pejabat Houthio, bahwa secara struktural Houthi tidak ada Hubungannya dengan Iran. Sebab, hingga kini Iran tidak bisa menelepon Houthi dan Iran tidak dapat memberi komando apapun yang harus dilakukan Houthi.
Baca Juga: Di Balik Hijab, Ada Cinta
Kalau soal pengaruh kawasan, menurutnya Arab Saudi selama ini sebenarnya justru jauh memiliki pengaruh di Yaman dibandingkan Iran.
“Secara tradisional, Zaidi memang bagian dari sekte Syiah, tetapi Houthi menurut pengamatan saya, memegang keyakinan yang sangat berbeda dari Syiah di Iran,” tambahnya.
Pada ajaran Zaidi, yang ia wawancarai langsung, Zaidi meyakini bahwa mereka memiliki kewajiban agama untuk bangkit melawan penguasa yang tidak adil.
Pendiri kelompok kabilah Houthi, Hussein al-Houthi, yang dibunuh oleh pemerintah Yaman pada tahun 2004, menyebutkan prinsip Zaidi adalah anti-imperialisme. Oleh karena itu yel-yel mereka, “Kematian bagi Amerika, Kematian bagi Israel,” selalu mereka dengungkan. Meskipun fakta menunjukkan bahwa Houthi, pada awalnya adalah hanyalah sebuah kelompok lokal dengan anggota masyarakat yang merasa tertindas oleh kedzaliman penguasa.
Baca Juga: Menjadi Pemuda yang Terus Bertumbuh untuk Membebaskan Al-Aqsa
Adapun mengenai pengalamannya meliput Houthi, Safa berkomentar, “Salah satu hal yang paling sulit adalah ketika meliput Houthi. Kelompok ini sebenarnya termasuk gerakan yang sangat muda, dan sangat praktis, namun mereka terus berubah sesuai dengan apa yang mereka inginkan.”
Ia menambahkan, kelompok ini awalnya sangat kecil, berpusat di pegunungan utara, namun tiba-tiba mengendalikan ibukota Yaman.
Kesannya, ada banyak kekhawatiran ketika hendak meliput dan mewawancarai tokoh Houthi di Yaman. Tapi menjadi seorang wartawati wanita bukanlah hal yang sulit untuk berhubungan dengan mereka.
Menyoal serangan koalisi Arab ke Yaman, menurutnya, serangan yang didukung Amerika Serikat itu tidak akan dapat membasmi Houthi. Justru mendatangkan kebencian di sebagian warga Yaman.
Baca Juga: Muslimat Pilar Perubahan Sosial di Era Kini
Sebab, sebelum ini pernah juga Amerika mengirim pesawat tanpa awak (drone) dalam aksi mata-mata dan serangan ke Yaman, dengan tujuan menyerang al-Qaeda Yaman. Tapi itu justru memperburuk situasi dan kebencian warga terhadap Amerika yang ikut campur urusan dalam negeri Yaman.
Ia mengamati bahwa sebenarnya ada pertarungan yang melibatkan banyak fraksi lain di Yaman, termasuk Al-Qaeda dan pendukung mantan Presiden Ali Abdullah Saleh, yang jauh lebih rumit daripada perang yang dikaitkan dengan sektarian.
Nasib Yaman
Berbicara tentang nasib Yaman, pada kolom Frontline di jaringan media PBS AS, edisi 7 April 2015, Safa al-Ahmad mengatakan bahwa Yaman adalah negara Arab termiskin di jazirah Arab. Lebih dari satu juta anak menderita gizi buruk di Yaman. Seluruh embargo melalui udara dan laut hanya memperburuk itu.
Baca Juga: Tujuh Peran Muslimah dalam Membela Palestina
Sekarang hampir tidak ada bensin di Yaman. Tidak ada yang bisa pergi ke mana pun karena warga tidak dapat menemukan bensin.
“Persediaan makanan pun tampaknya tinggal dalam jangka pendek, dan sekarang bahkan lebih buruk lagi,” ujarnya dari medan konflik Shana’a.
Safa al-Ahmad hanyalah sebatas wartawan yang bertugas meliput, merekam gambar dan video, dan menuliskannya ke dalam berita untuk disampaikan kepada dunia. Ia bukan bermaksud memberikan fatwa soal Houthi, Syiah, Saudi negaranya sendiri sekalipun, atau lainnya. Ia hanya ingin melaporkan apa yang ia lihat, apa yang ia dengar dan apa yang ia rasakan di medan konflik. Dan itulah kebahagiaannya sebagai wartawati muslimah.
Ia hanya berharap, semua pihak dapat duduk bersama, tidak diselesaikan dengan serangan senjata, tapi dengan dialog, ujarnya. Dari berbagai sumber. (T/P4/R03).
Baca Juga: Muslimah dan Masjidil Aqsa, Sebuah Panggilan untuk Solidaritas
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)