Oleh: Imaam Yakhsyallah Mansur
Di Bulan Dzulhijjah ini, kita baru saja menunaikan dua ibadah yang agung, yakni ibadah haji dan qurban dengan segala rangkaiannya. Kedua ibadah tersebut bersumber dari sosok teladan Nabiyullah Ibrahim Alaihi salam. Sebagai kekasih Allah, Nabi Ibrahim Alaihi salam mewariskan sifat-sifat teladan yang layak menjadi acuan bagi generasi mendatang, yang disebutkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firmanNya:
وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِى ٱلْءَاخِرِينَ (١٠٨) سَلٰمٌ عَلَىٰٓ إِبْرَٰهِيمَ (١٠٩) (الصافات ١٠٨ـــ١٠٩)
“Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian (108) (yaitu)”Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim”(109). (QS As-Shaffat [37]: 108-109)
Baca Juga: Ustadz Hidayaturrahman: Lima Langkah Mentadaburi Al-Qur’an Dengan Metode Tathbiqi
Menurut para mufassir, ayat di atas menegaskan bahwa umat manusia dari berbagai agama samawi (Islam, Nasrani dan Yahudi), mereka mencintai Nabi Ibrahim sepanjang masa. Bahkan kaum musyrik Arab pun mengakui bahwa agama mereka juga mengikuti agama Nabi Ibrahim Alaihi salam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan penghargaan kepada Nabi Ibrahim dengan memberikan salam sejahtera kepadanya. Salam sejahtera itu terus berlangsung lestari hingga saat ini di tengah-tengah umat manusia, bahkan juga di kalangan para malaikat.
Begitulah Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan ganjaran yang terus-menerus mengalir kepada hamba-hambaNya yang berbuat kebaikan. Semua ganjaran itu sebagai balasan atas ketaatan dan keikhlasan dalam melaksanakan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala karena dorongan iman yang kuat. Bagi umat Islam, Nabi Ibrahim Alaihi salam senantiasa kita sebut dalam shalat, yaitu dalam doa tahiyat akhir sebelum salam.
Ibrahim Alaihi salam adalah suri tauladan abadi. Ketundukannya kepada nilai-nilai dan tata aturan ilahiah selalu menjadi contoh yang hidup sepanjang masa. Nama Ibrahim disebut sebanyak 69 kali di 24 surat dalam Al-Quran. Nama Ibrahim juga diabadikan menjadi nama sebuah surat dalam Al-Quran, yaitu surat ke-14. Ibrahim adalah Bapak Para Nabi (Abul anbiya), karena sebanyak 19 keturunannya menjadi rasul, dari 25 rasul yang disebut dalam Al-Quran.
Baca Juga: Islam Memuliakan Kaum Perempuan, Oleh: Imaam Yakhsyallah Mansur
Al-Quran banyak sekali menerangkan tentang keluhuran dan keistimewaan pribadi Nabi Ibrahim Alaihi salam. Di bawah ini disebutkan sepuluh keistimewaan Nabi Ibrahim yang dapat dijadikan pedoman sepanjang masa yaitu:
1. Menjadi Pribadi Tangguh dengan Tauhid
Tauhid yang kuat akan membentuk seseorang menjadi manusia yang tangguh. Nabi Ibrahim Alaihi salam dalam melaksanakan tugas dakwah tidak pernah patah semangat. Meskipun ia harus dihadapkan dengan orang-orang yang gencar menghalanginya seperti ayahnya sendiri, bahkan Raja Namrud sekalipun.
Cemoohan, ancaman, bahkan pembakaran dirinya dalam api yang menyala tidak melemahkan ketangguhan Ibrahim. Belum lagi ketika Nabi Ibrahim menyembelih anaknya Ismail semakin terlihat kesabaran dan ketangguhan jiwa keduanya.
Baca Juga: Ketika Umat Islam Diberi Anugerah Kekuasaan Oleh: Imaam Yakhsyallah Mansur
Tauhid juga menjadi sumber ketenangan dan ketenteraman bagi manusia, karena tauhid memenuhi hati dengan rasa aman dan tenang. Tidak ada ditakuti selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tauhid telah menutup pintu-pintu rasa takut terhadap berbagai kekurangan dan bahkan kematian. Ketenangan itu didapatkan dengan ikhlas beribadah hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak mencampur-adukan ketauhidan dengan perbuatan syirik.
2. Selalu menyempurnakan janji
وَإِبْرَٰهِيمَ ٱلَّذِى وَفَّىٰٓ (النجم[٥٣] : ٣٧)
“Dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji.” (QS. An-Najm[53]: 37).
Baca Juga: Shalat Tahajud Penyebab Kemenangan dalam Jihad Melawan Musuh
Nabi Ibrahim Alaihi salam dikenal sebagai sosok yang selalu menunaikan janji-janjinya. Salah satu kisah yang fenomenal adalah kesediaannya menunaikan nazar (janji) untuk mengorbankan sesuatu yang paling ia sayangi, yaitu menyembelih putra kesayangannya, Ismail Alaihi salam.
Sifat itu pun diwarisi oleh putranya, Ismail, hingga kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa salam. Sebelum menerima wahyu dan diangkat menjadi Rasul, beliau sudah dikenal oleh masyarakat Arab sehingga mendapat gelar Al-Amin (seorang yang terpercaya).
3. Senantiasa pasrah total (tawakal) kepada Allah
Kepasrahan Nabi Ibrahim Alaihi salam tampak dalam berbagai ujian yang dihadapi. Mengutip dari buku Kisah Para Nabi: Sejarah Lengkap Kehidupan Para Nabi Sejak Adam Hingga Isa karya Prof. Dr. Abdul Hayyi al-Famawi dikatakan, ketika Nabi Ibrahim Alaihi salam berada di atas tungku api, Malaikat Jibril datang dan menawarkan bantuan. Jibril berkata, “Wahai Ibrahim, apakah engkau perlu bantuan?” Lalu Ibrahim Alaihi salam memberi jawaban, “Kalau kepadamu, aku tidak butuh bantuan apapun“.
Baca Juga: Urgensi Tulisan, Alat Tulis dan Penulis dalam Peradaban, Oleh: Imaam Yakhsyallah Mansur
Sebagaimana yang dijelaskan dalam buku di atas, sebagian ulama menyebutkan bahwa di saat genting tersebut, Nabi Ibrahim Alaihi salam mengucapkan doa yang tertulis dalam Al-Quran Surat Ali Imran ayat 173, yang berbunyi:
حَسْبُنَا ٱللَّهُ وَنِعْمَ ٱلْوَكِيلُ (ال عمران [٣]: ١٧٣)
“Cukuplah Allah menjadi Penolong kami, dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.”
Berkat tawakkal dan tauhidnya yang mantap, Nabi Ibrahim Alaihi salam mendapatkan pertolongan dari Allah. Itulah buah kepasrahan dan tauhid dengan penuh pengagungan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Baca Juga: Meneladani Kepribadian Rasulullah dengan Mengikuti Sunnahnya, Oleh: Imaam Yakhsyallah Mansur
4. Keberanian Menghadapi Tiran
Ibrahim muda dikenal sebagai sosok yang berani menghadapi segala macam bentuk penyimpangan. Sahabat Ibnu Abbas mengatakan, Allah tidak mengutus seorang nabi melainkan masih berusia muda, dan tidaklah seseorang dianugerahi ilmu melainkan selagi ia masih berusia muda.
Kala itu, usia Ibrahim masih 16 tahun. Beliau sudah melakukan hal spektakuler, yakni menghancurkan patung-patung berhala yang ada di kampungnya.
Suatu malam menjelang hari raya yang dinantikan para penduduk Babilonia, Ibrahim muda secara diam-diam menghancurkan berhala yang ada di tempat persembahan dengan sebuah kapak. Setelah hancur, kapak itu diletakkannya di patung yang paling besar yang sengaja disisakan.
Baca Juga: Kajian Surah Al-Jinn: Iblis dari Golongan Jin
Keesokan paginya, Ibrahim dituduh sebagai pelaku perusakan itu. Dengan kecerdasannya, Nabi Ibrahim menjawab, “Bukan aku yang melakukannya, lihatlah kapak itu dipegang patung yang paling besar.”
Para pembesar mengatakan, tidak mungkin patung besar itu bisa menghancurkan patung lainnya karena ia tidak bisa berbuat sedikitpun. Di sinilah Ibrahim muda menimpali, jika memang tidak bisa berbuat sedikitpun, mengapa mereka memyembahnya.
Nabi Ibrahim melanjutkan pertanyaannya, “Sesungguhnya kalian adalah orang-orang yang menganiaya diri sendiri. Apakah kamu menyembah patung-patung yang kamu buat sendiri? Apakah berhala-berhala itu mendengar doa kalian? Dapatkah mereka memberi kebaikan kepadamu atau justru mudharat?”
Keberanian Nabi Ibrahim dalam melawan segala bentuk tiran, hingga akhirnya beliau menerima hukuman dibakar hidup-hidup dikisahkan Allah dalam Al-Quran surah Al-Anbiya [21]ayat 60-70.
Baca Juga: Semangat Hijrah dan Memperselisihi Orang Yahudi, Oleh Imaam Yakhsyallah Mansur
Tindakan menghancurkan patung-patung berhala itu hanya berlaku pada zaman Nabi Ibrahim Alaihi salam. Adapun syariat Nabi Muhammad Shallallahu alahi wa salam, tindakan semacam itu tidak diperbolehkan, sebelum dilakukan dakwah secara maksimal. (lihat surah Al-Hajj [22]: ayat 40)
5. Memiliki ketajaman argumentasi
Ketika menjelaskan surah al-Baqarah ayat 258, para ulama mengatakan, suatu hari, Nabi Ibrahim Alaihi salam datang menghadiri jamuan makan yang digelar Namrud. Para tamu undangan memilih berbagai menu yang terjamu di meja makan. Namrud bertanya pada tiap tamunya tentang siapakah tuhan mereka. Hampir tiap hadirin yang ia tanya menjawab, Namrud lah tuhan mereka.
Tiba giliran Ibrahim Alaihi salam mendapat pertanyaan serupa dan beliau menjawab,”Allah”. Maka terjadilah adu argumen antara keduanya. Betapa kagetnya Namrud mendapat jawaban yang tak biasa. “Tuhanku yang menghidupkan dan mematikan,” kata Ibrahim.
Baca Juga: Berdirinya “Negara Israel”, Konspirasi Menghancurkan Ummat Islam (Oleh: Imaam Yakhsyallah Mansur)
Merasa dipermalukan, Namrud pun tidak mau kalah. Ia membantah argumentasi Ibrahim dan tetap bersikeras bahwa dirinya juga bisa menghidupkan makhluk atau mematikannya. Untuk membuktikan hal itu, Namrud kemudian mendatangkan dua orang tahanan. Satu tahanan dibunuh dan satunya lagi dibiarkan hidup.
Melihat jawaban Namrud, Ibrahim Alaihi salam mengutarakan argumentasi berikutnya tentang keberadaan Allah sebagai Tuhan semesta alam. Ibrahim menyatakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mampu mendatangkan matahari dari ufuk timur lalu menenggelamkannya di belahan barat. “Bisakah engkau melakukan sebaliknya wahai Namrud?” tanya Ibrahim kepada Namrud.
Sang Diktator pun tak bisa berkutik dan kehabisan akal untuk kembali menyanggah pernyataan Ibrahim. Ia terdiam seribu bahasa. Merasa kalah, ia lantas memerintahkan pengawalnya untuk mengambil makanan yang telah diambil Nabi Ibrahim Alaihi salam.
Menurut Ibnu Katsir, Nabi Ibrahim Alaihi salam telah dianugerahi bimbingan sebelumnya, yaitu semenjak dia masih kecil. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengilhamkan kepadanya kebenaran dan hujjah untuk melawan kaumnya. Sedangkan menurut Quraish Shihab, Allah telah menganugerahkan kepada Nabi Ibrahim Alaihi salam hidayahNya yang sempurna sehingga beliau memperoleh kematangan daya pikir, kecerdasan serta kejernihan hati.
Baca Juga: Lima Konspirasi Menghancurkan Ummat Islam (Oleh: Yakhsyallah Mansur)
Sementara menurut tafsir Al-Madinah Al-Munawwarah oleh Syaikh Prof. Dr. Imad Zuhair Hafidz, (professor fakultas Al-Quran Universitas Islam Madinah), bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberi Nabi Ibrahim Alaihi salam argumen-argumen dan bukti-bukti yang dipakai untuk mendebat kaumnya, sehingga ia dapat mengalahkan mereka. Dan Allah telah memberinya ilmu, hikmah, dan keyakinan. Allah Maha Bijaksana dalam pengaturan-Nya.
6. Nabi yang paling panjang melakukan perjalanan hijrah dan dakwah
Imam Ath Thabari dalam kitabnya, Tarikh al Umam wa al Muluk mengisahkan perjalanan Nabi Ibrahim dalam hijrahnya menempuh jarak sekurangnya 1.500 kilometer dengan dipandu Malaikat Jibril.
Setelah kejadian pembakaran oleh Namrud, yakni pada 1922 SM, Ibrahim meninggalkan negerinya, Ur, Babilonia (sekarang wilayah Turki). Ia pergi dari negerinya menuju Kan’an (Palestina). Di sanalah Ibrahim kemudian menikah dengan Sarah. Wilayah Palestina yang ditempati oleh keluarga Ibrahim sekarang bernama Hebron (Al-Khalil).
Karena terjadi kekeringan yang panjang di wilayah Palestina, maka Ibrahim kemudian hijrah ke Mesir pada masa raja Ru`at (Hyksos). Ketika itu, Sarah dibawa ke Mesir dan raja tertarik kepadanya. Namun Allah menyelamatkannya dari kedzaliman raja Mesir.
Oleh raja Mesir, Ibrahim diberi hadiah yaitu Hajar. Lalu, Ibrahim, Sarah dan Hajar keluar dari Mesir kembali menuju ke Palestina dan menetap di sana.
Nabi Ibrahim kemudian menikahi Hajar dan dikarunia seorang putra laki-laki bernama Ismail. Ketika itu, Ibrahim berusia 86 tahun. Atas perintah Allah, Ibrahim bersama istrinya, Hajar dan anaknya, Ismail yang masih kecil, melakukan perjalanan dari Hebron ke Mekkah (berjarak ±1.500 km).
Setelahnya, Ibrahim beberapa kali melakukan perjalanan dari Palestina ke Mekkah untuk menemui anak dan istrinya.
7. Sosok yang sangat peduli dengan keturunannya
Bagi Ibrahim, anak bukanlah sekadar pelanjut keturunan, namun sekaligus pewaris risalah tauhid. Sejarah membuktikan bahwa Ibrahim Alaihi salam berhasil menjadikan dan mengarahkan anaknya sebagai sarana meningkatkan takwa dan cinta kepada Allah. Dalam silsilah rasul, 19 dari 25 rasul adalah keturunan Nabi Ibrahim Alaihi salam.
Nabi Ibrahim dan kedua istrinya selaku orang tua, telah membuktikan bahwa mereka serius mendidik anak dan menjadikannya shaleh, beriman dan bertakwa. Ismail dan Ishaq menjadi sosok nabi dan rasul. Dari Ishaq lahir para nabi dan rasul keturunan Bani Israel (Ya’kub Alaihi salam). Demikian pula dengan Ismail sehingga Allah memilih jalur keturunannya terlahir rasul paling mulia, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa salam.
Kesholehan Ishaq dan Ismail bukan diperoleh secara instan atau tiba-tiba. Kehebatan keduanya adalah buah dari pendidikan dan bimbingan orangtuanya, yaitu Nabi Ibrahim dan Hajar serta Sarah.
Doa Nabi Ibrahim untuk keturunannya diabadikan dalam Al-Quran:
رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِن ذُرِّيَّتِي ۚ رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ (ابراهيم [١٤]: ٤٠)
“Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku.” (QS. Ibrahim [14]: 40)
8. Memikirkan kesejahteraan keturunannya
Nabi Ibrahim Alaihi salam juga mendoakan agar anak keturunannya dikaruniai rizki yang melimpah guna menopang ibadah mereka. Hal itu diabadikan dalam Al-Quran:
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَٰذَا بَلَدًا آمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُمْ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ…. (البقرة [٢]: ١٢٦)
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian….” (QS. Al-Baqarah [2]: 126).
Ada yang menarik dari ayat di atas, Nabi Ibrahim berdoa supaya keturunannya diberi rizki berupa buah-buahan. Pertanyaannya, mengapa tidak meminta gandum atau makanan pokok lainnya?. Prof. Quraisy Syihab menjelaskan, buah-buahan adalah simbol seseorang dapat memenuhi kebutuhan gizi yang cukup. Jika seseorang mampu membeli buah-buahan, secara otomatis makanan pokoknya sudah terpenuhi.
9. Sangat lembut hatinya
Nabi Ibrahim alaihi salam adalah sosok yang begitu lembut hatinya lagi penyantun. Sifat lembutnya itu terwujud salah satunya dalam sikap dan caranya menyampaikan dakwah kepada ayahandanya Azar, seorang pembuat, penjual, sekaligus penyembah patung berhala.
إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ يَٰٓأَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِى عَنكَ شَيْـًٔا (مريم [١٩]: ٤٢)
“Wahai Bapakku tersayang, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun?” (QS. Maryam [19]: 42.
Mengutip buku berjudul “Kisah Bapak dan Anak dalam Al-Quran” oleh Adil Musthafa Abdul Halim, Nabi Ibrahim alaihi salam terus mengulangi kata-kata nasihat itu dengan cara yang lembut. Beliau tidak pernah mencap bapaknya sebagai orang yang bodoh lantaran menyembah berhala.
Nabi Ibrahim tak lantas marah ketika ayahanda menolak dakwahnya. Dengan kelembutan, Ibrahim berkata, “… aku akan memohon kepada Allah, agar Dia mau memberikan hidayah kepadamu, serta mau mengampuni dosa-dosamu, Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku.” (QS. Maryam [19]: 47).
10. Sangat senang menerima tamu
Memberi jamuan kepada tamu, merupakan kebiasaan mulia yang sudah berkembang sejak sebelum risalah Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa salam diturunkan. Orang yang pertama kali melakukan perbuatan yang mulia ini, ialah Nabi Ibrahim Alaihi salam.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan:
كَانَ أَوَّلَ مَنْ ضَيَّفَ الضَيْفَ اِبْرَاهِيْمُ
“Orang yang pertama kali memberi suguhan kepada tamu adalah Ibrahim.” [Ash-Shahîhah, 725].
Syaikh as-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Sesungguhnya memberi jamuan kepada tamu (dhiyâfah) termasuk sunnah (tradisi) Nabi Ibrahim yang Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan umatnya untuk mengikuti millah (ajaran) beliau. “
Dalam kitab “Nashoihul Ibad” dijelaskan, Nabi Ibrahim Alaihi salam tidak pernah makan (siang atau malam) kecuali ada tamu yang menemaninya. Beliau rela berjalan hingga dua mil (±3 km) untuk mencari tamu agar dapat makan bersamanya. Dari sifat mulia itulah, Allah memberi gelar kepada Ibrahim sebagai Khalilullah (kekasih Allah) salah satunya adalah kegemarannya memuliakan tamu.
Wallahu a’lam bis shawab.
(A/R8/P2-P1)
Mi’raj News Agency (MINA)