Oleh Bahron Ansori, jurnalis MINA
Dalam sebuah hadits Qudsi yang cukup panjang, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
يقول الله تعالى : يابنَ آدمَ ! كَمْ مِن سِرَاجٍ قَدْ أَطْفَأَتْهُ رِيْحُ الهَوَى وَكَمْ مِنْ عابدٍ قَدْ أَفْسَدَهُ العُجْبُ وكم من غنيٍّ أَفْسَدَهُ الغِنَاءُ وكم من فقيرٍ أَفْسَدَهُ الفَقْرُ وكم من صَحِيْحٍ أَفْسَدَتْهُ العَافِيَةُ وكم من عالِمٍ أَفْسَدَهُ العِلْمُ وكم من جاهلٍ أَفْسَدَهُ الجهلُ, فَلَولاَ مَشَايِخُ رُكَّعٌ وشَبَابٌ خُشَّعٌ وأطفالٌ رُضَّعٌ وبَهَائِمُ رُتَّعٌ لَجَعَلْتُ السَّمَاءَ مِن فوقكم حَدِيداً والأرضَ صَفْصَفًا والتُّرَابَ رَمَاداً ولَمَا أَنْزَلْتُ عليكم من السّماء قَطْرَةً وَلَمَا أَنْبَتْتُ فى الأرض من حبَّةٍ ولَصَبَبْتُ عليكم العذابَ صبًّا (المواعظ في الأحاديث القدسية للإمام الغزالى)
Artinya, “Allah Ta’ala berfirman : Wahai manusia ! Betapa banyak lampu yang padam oleh hembusan angin. Betapa banyak orang yang ahli ibadah celaka karena kesombongannya. Betapa banyak orang yang kaya celaka karena kekayaannya. Betapa banyak orang yang miskin celaka karena kefakirannya. Betapa banyak orang yang sehat celaka karena kesehatannya. Betapa banyak orang yang berilmu celaka karena keilmuannya. Betapa banyak orang yang bodoh celaka karena kebodohannya. Andaikata tidak ada orang-orang tua yang selalu ruku’, pemuda-pemuda yang khusyu’, anak-anak kecil yang menetek, dan binatang-binatang ternak yang berkeliaran mencari rerumputan, niscaya Aku akan mengubah langit menjadi besi, bumi menjadi batu licin yang kering kerontang dan debu menjadi kerikil. Setetes pun tidak akan pernah Aku turunkan air hujan dari langit, dan tak sebutir biji pun akan Kutumbuhkan di bumi. Dan sungguh akan Kucurahkan siksa kepadamu.” (Hadits Qudsi diambilkan dari kitab “al-Mawā’id fi al-Ahādīts al-Qudsiyyah, karya Imam Ghazali)
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Kandungan Hadits Qudsi di atas sangat jelas. Meskipun dalam beberapa literatur dari kitab-kitab kumpulan hadits-hadits jarang dicantumkan, kecuali oleh Imam Ghazali sendiri. Hadits Qudsi di atas sesungguhnya ingin menggambarkan betapa porak-porandanya kehidupan dunia ini akibat ulah manusia. Ada isyarat yang jelas bahwa amat banyak hal yang telah dikaruniakan Allah S.w.t kepada manusia dalam kehidupan ini tidak dapat dimanfaatkan dengan baik, bahkan cenderung diekspoitir dan disalahgunakan. Maka, celakalah orang-orang yang tidak menyadari akan ni’mat Allah dalam dirinya!
Memang betul, bahwa Allah S.w.t senantiasa memerintahkan kita untuk selalu beribadah kepada-Nya, di mana dan kapanpun kita berada. Tetapi, ibadah yang dikehendaki oleh-Nya adalah bentuk ibadah yang didasari oleh ketulusan dan sikap ikhlas: tidak mengharap apa-apa kecuali hanya ridha-Nya. “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (Lihat: Q, s. ad-Dzāriyāt/51:56)
Padahal mereka tidak diperintah kecuali untuk menyembah hanyak kepada Allah, dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam beragama, dan mendirikan shalat, melaksanakan pembayaran zakat. Itulah agama yang lurus. (Q, s. al-Bayyinah/98:5)
Ibadah adalah untuk kepentingan kita secara individu-individu, bukan untuk kepentingan Tuhan. Tuhan Allah adalah Maha segalanya, tidak membutuhkan apa-apa, termasuk tidak pula membutuhkan ketaatan kita. “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya” (Q, s. Yūnus/10:99) Ini menegaskan bahwa masalah iman bukan urusan Tuhan: beriman atau tidak sepenuhnya diserahkan kepada pilihan dan tanggungjawab manusia. “Dan katakanlah: ‘Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir’. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka”. (Lihat: Q, s. al-Kahfi/19:29)
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Banyak diantara kita yang tidak kuat untuk tetap tawadhu’ dalam ibadahnya. Banyak yang merasa bahwa dirinya telah “berbuat banyak untuk Tuhan” dan menganggap bahwa dirinyalah yang paling rajin “menyambangi”-Nya di malam hari di malam gelap gulita, di mana orang-orang sedang terlelap dalam tidurnya. Perasaan seperti itu boleh-boleh saja, yang tidak boleh adalah menyombongkan diri, apalagi kalau ternyata siang harinya tidak ada tindakan apa-apa untuk kepentingan orang lain. Beribadahlah yang tekun, khusyu’ dan penuh harap kepada Allah, dan cukuplah baginya Dia Yang Maha Tahu dan Maha Mendengar. Orang yang pamrih dalam ibadah adalah ungkapan bahwa ia sebetulnya tidak terlalu percaya bahwa Allah akan memperhitungkan amal ibadahnya. Maka, “betapa banyak orang yang ahli ibadah celaka karena kesombongannya” !
Betapa banyak pula orang kaya yang celaka karena kekayaannya. Karena banyak orang kaya yang ternyata tidak tahu bagaimana menggunakan kekayaannya itu. Yang tidak penting menjadi dipenting-pentingkan, yang tidak perlu mendadak diperlu-perlukan, yang tidak ada diada-adakan, bahkan yang wajib menjadi sunnah, yang sunnah menjadi mubah, yang mubah malah menjadi wajib. Ketahuilah bahwa ketika seseorang menjadi kaya, maka hal itu hanya untuk mengukur sejauh mana kepekaannya kepada penderitaan orang lain.
Menjadi kaya itu tidak dilarang, malah Al-Qur’an justru menganjurkan kaum muslimin agar tidak jatuh miskin. Tidak ada batasan seberapa besar kekayaan yang boleh ditimbun oleh seorang muslim. Silahkan, himpun kekayaan sebanyak-banyaknya, asal ketika telah terhimpun sebagiannya harus segera didistribusikan, digunakan untuk mensejahterakan lingkungannya masing-masing, agar kekayaan itu tidak hanya beredar di lingkungan orang-orang kaya saja. Al-Qur’an pernah menyinggung masalah ini dalam sebuah ayatnya:
Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu… (Q, s. al-Hasyr/59:7)
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Dalam pandangan Islam, orang disebut kaya adalah ketika ia mampu mensejahterakan lingkungannya. Orang kaya yang tidak peduli dengan lingkungannya, pada hakekatnya adalah orang miskin.
Banyak orang kaya yang membuat jarak dengan masyarakat sekitarnya, bahkan membangun sekat tebal agar dirinya tidak tersentuh oleh tangan orang-orang miskin. Orang kaya tanpa orang miskin, sesungguhnya tidak ada apa-apanya. Sukses berbisnis dengan pabrik besar yang menyerap ribuan tenaga kerja, harus disadari bahwa itu merupakan sumbangan orang-orang miskin. Tanpa mereka, maka pabrik besar seperti apapun tidak akan mampu memproduksi barang. Kita menilai seseorang sebagai orang yang kaya, hal itu karena kita membandingkannya dengan orang lain yang berada di bawahnya.
Ciri orang miskin umumnya adalah tamak, punya satu ingin dua, dikasih dua minta tiga, sudah dapat tiga masih saja berpikir bagaimana caranya mendapatkan yang keempat, ketika sudah dapat empat digenggamnya erat-erat. Miskin dan kaya, dalam banyak literatur Islam, selain ditentukan oleh nilai nominal harta yang dimiliki, juga diukur dari tingkat kepuasaan batin seseorang terhadap sesuatu hal yang dimilikinya. Maka, orang kaya yang tamak, pada hakekatnya adalah masih miskin.
Tidak saja orang kaya, orang miskin yang celaka karena kefakirannya juga banyak. Bahkan, di negeri ini ternyata banyak orang yang justru ingin dianggap miskin. Sebuah penelitian untuk tesis magister di salah satu perguruan tinggi negeri di Yogyakarta, mengungkapkan bahwa para peminta di jalan-jalan raya yang umumnya terdiri dari anak-anak dan perempuan, setelah diselidiki ternyata adalah orang-orang yang mampu secara ekonomi. Di rumahnya mereka memiliki barang-barang yang umumnya dimiliki orang kaya, dari televisi berwarna, sepeda motor, kulkas, mesin cuci, dan perabot-perabot lain, bahkan rumah mereka juga berlantaikan keramik. Mereka bukan pegawai negeri atau pengusaha, melainkan mereka adalah para pengemis jalanan.
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-5] Tentang Perkara Bid’ah
Bagi mereka, menjadi pengemis sama sekali bukan karena takdir, tapi lebih sebagai profesi. Mereka betul-betul profesional! Ketika diminta untuk berhenti dari pekerjaannya sebagai pengemis dan akan diberi bekal ketrampilan untuk meniti usaha secara mandiri, mereka menolak karena dengan profesinya itu rata-rata per hari mereka dapat membawa pulang sekitar Rp. 50.000 – Rp. 70.000: nominal yang setaraf dengan pegawai negeri golongan III C.
Umat Islam sering dibuat bingung, antara memberi atau tidak memberi. Mereka miskin tapi kaya, atau kaya tapi miskin. Dalam Islam, orang miskin harus ditolong, dibantu dan diringankan bebannya. Tapi terhadap orang yang pura-pura miskin, tentu saja tidak ada kewajiban untuk menolongnya.
Bahwa kemiskinan harus disyukuri adalah anjuran Islam, tetapi mensyukurinya bukan dengan cara lari dari ajaran agama. Justru dengan kemiskinannya itu orang dianjurkan untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah, bukan malah menjauhkan diri. Kemiskinan yang melekat pada dirinya malah diekspoitir dan digunakan sebagai dalih yang membenarkan seluruh tindakannya. Bagaimana pun miskinnya, orang tetap tidak diperkenankan mencuri atau menipu.
Banyak pula orang bodoh yang celaka karena kebodohannya, begitu pula orang yang berilmu yang celaka karena keilmuannya, dan orang sehat yang celaka karena kesehatannya. Ketika sehat, tidak ingat apa-apa, semua larangan diterjang dan semua perintah diabaikan, giliran jatuh sakit baru berpikir untuk bertobat. Maka selagi masih sehat, gunakanlah kesehatan itu untuk hal-hal yang baik. Demikian pula dengan ilmu, manfaatkanlah untuk kepentingan dan kemaslahatan manusia. Allah menganugerahkan ilmu pengetahuan kepada kita dengan tujuan untuk ikut memakmurkan bumi, bukan malah merusaknya.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-4 ] Proses Penciptaan Manusia dan Takdir dalam Lauhul Mahfuzh
Itulah fenomena yang ada di hadapan kita saat ini. Ternyata di Republik ini banyak orang yang sakit jiwa, karena tidak lagi dapat menempatkan dirinya dengan benar. Negeri ini rasanya penuh dengan orang-orang yang berdusta. Itu pula yang digambarkan oleh Al-Qur’an dalam surat al-Baqarah:
Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah menambah penyakit itu semakin parah; dan mereka pasti mendapat siksa yang menyakitkan karena kedustaan mereka itu. (Q, s. al-Baqarah/2:10)
Tuhan nampaknya marah besar kepada para hamba-Nya yang tidak tahu diri, dan tidak mau bersyukur atas apa yang telah dilimpahkan oleh-Nya di dunia ini. Bencana dan musibah yang menimpa negeri ini secara bertubi-tubi, mungkin saja disebabkan oleh kealpaan kita semua untuk bersyukur dan kembali ke jalan-Nya. Ketahuilah bahwa andai saja kita mau bersyukur, niscaya Allah tidak akan menurunkan adzab-Nya. “Dan (ingatlah juga), takala Tuhanmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (Q, s. Ibrāhim/14:7)
Allah sama sekali tidak akan menyiksamu kalau sekiranya kamu bersyukur dan beriman. Allah Maha Berterimakasih lagi Maha Tahu. (Q, s. an-Nisā’/4:147)
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-3] Rukun Islam
Maka, memperhatikan fenomena seperti tergambar di atas, bangsa ini rasanya patut berterimakasih kepada orang-orang tua yang saleh dan tekun beribadah, pemuda-pemuda yang khusyu’, anak-anak yang menetek ibunya, dan binatang-binatang yang mencari makan, sebab andaikata tanpa kehadiran mereka, niscaya perahu negeri ini sudah tenggelam dan hancur. Mulai sekarang, belajarlah untuk menghormati orang-orang tua yang istiqamah, anak-anak muda yang saleh, termasuk dengan cara menyayangi para balita dan binatang-binatang.
Katakanlah: “Sesungguhnya aku takut akan azab hari yang besar (hari kiamat), jika aku mendurhakai Tuhanku.” (Q, s. al-An’ām/6:15).
Semoga Allah Ta’ala memasukkan kita dalam golongan orang yang selamat dunia akhirat, wallahua’lam. (RS3/P1)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-2] Rukun Islam, Iman, dan Ihsan