Abu Sayyap, Gerombolan Perampok, Penculik dan Pembunuh

Oleh Illa Kartila – Redaktur Senior Miraj Islamic News Agency/MINA

Dua warga negara Indonesia (WNI) – Mohamad Sofyan dan Ismail – berhasil melarikan diri dari penyanderaan kelompok Abu Sayyaf di Filipina Selatan, pertengahan Agustus lalu. Sofyan, ditemukan lebih dulu oleh penduduk di pesisir Barangay Bual, Kota Luuk Provinsi Sulu, sembilan jam kemudian giliran Ismail yang lolos dari penyanderaan.

Kelompok Abu Sayyaf, yang juga dikenal sebagai Al Harakat Al Islamiyya, adalah sebuah kelompok separatis yang terdiri dari milisi yang berbasis di sekitar kepulauan selatan Filipina, antara lain Jolo, Basilan, dan Mindanao. Angkatan Bersenjata Filipina meyakini kelompok ini dipimpin oleh Khadaffi Janjalani.

“Kami diberitahu bahwa mereka berhasil kabur dengan berlari dan berenang ke laut,” kata Mayor Filemon Tan, juru bicara Komando Mindanao Barat, Angkatan Bersenjata Filipina.

“Dengan lolosnya kedua anak buah kapal yang disandera sejak Juni lalu, nasib delapan WNI lainnya amat tergantung dari negosiasi pemerintah Indonesia. Pemerintah terus berupaya membebaskan mereka melalui jalur diplomasi dan militer secara bersamaan.

Benny Mamoto, mantan juru runding Indonesia dalam pembebasan sandera oleh kelompok Abu Sayyaf pada 2005 lalu, memperkirakan pihak penyandera akan terus diincar militer Filipina, yang kemungkinan mendapat informasi tambahan dari dua WNI yang lolos.

Tentang dampak lolosnya kedua tahanan itu terhadap para sandera yang tersisa, menurut Benny, ada dua kemungkinan. “Pertama, para penyandera tidak peduli dengan sandera karena fokus pada pertahanan atau menghindari serangan. Kedua, bisa kemungkinan lain, mereka akan ekstra ketat, bahkan mungkin marah.”

Kondisi ini justru harus bisa dimanfaatkan pemerintah Indonesia. “Ini saat yang tepat untuk melakukan negosiasi karena Abu Sayyaf di bawah tekanan militer. Asalkan upaya itu satu pintu dan jalurnya tepat – tidak melalui terlalu banyak tangan atau pihak,” kata Benny.

“Yang kita lakukan adalah multitrack. Ibu menteri luar negeri selalu memberi tekanan kepada Filipina untuk bisa mengambil langkah agar dapat membebaskan sandera di sana. Selain itu kita juga bergerak melalui intelijen mereka,” kata jubir Kemenlu, Arrmanatha Nasir.

Baca Juga:  Ini Dia, Kejadian Penting di Bulan Dzulqa’dah

Sebelumnya, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto, menyatakan telah menyiapkan unit-unit bantuan untuk membantu militer Filipina. Namun, belum diketahui apakah pemerintah Filipina menyetujui rencana tersebut.

Sofyan dan Ismail merupakan bagian dari tujuh anak buah kapal tunda Charles. Penyandera dikabarkan meminta tebusan sebesar 20 juta ringgit atau sekitar Rp60 miliar, jika tidak maka mereka akan memenggal kepala para awak kapal.

Selain ketujuh anak buah kapal itu, ada pula tiga WNI yang disandera sejak 9 Juli. Mereka adalah ABK kapal pukat tunda LD/114/5S milik Chia Tong Lim, berbendera Malaysia. Penyanderaan 24 WNI ini merupakan yang ketiga kalinya sepanjang tahun 2016.

Jaringan militan Abu Sayyaf yang sering melakukan penculikan baru-baru ini memenggal seorang sandera Kanada, karena pemerintahnya menolak membayar uang tebusan yang dituntut. Abu Sayyaf biasanya tidak membebaskan sandera tanpa pembayaran uang tebusan. Setidaknya mereka masih menahan tujuh sandera warga asing lainnya – empat warga Malaysia, seorang turis Kanada, seorang pemilik resor asal Norwegia dan seorang peneliti unggas asal Belanda.

Siapakah Abu Sayyaf?

Abu Sayyaf adalah salah satu kelompok separatis terkecil dan kemungkinan paling berbahaya di Mindanao. Beberapa anggotanya pernah belajar atau bekerja di Arab Saudi dan mengembangkan hubungan dengan mujahidin ketika bertempur dan berlatih di Afganistan dan Pakistan.

Akhir-akhir ini mereka sedang memperluaskan jaringannya ke Malaysia, Thailand, dan Indonesia. Kelompok ini bertanggung jawab terhadap aksi-aksi pengeboman, pembunuhan, penculikan, dan pemerasan dalam upaya mendirikan negara Muslim di sebelah barat Mindanao dan Kepulauan Sulu.

Mereka juga berusaha menciptakan suasana yang kondusif bagi terciptanya negara besar yang Pan-Islami di Semenanjung Melayu (Indonesia dan Malaysia) di Asia Tenggara. Nama kelompok ini berasal dari bahasa Arab untuk Pemegang (Abu) Pedang (Sayyaf).

Abu Sayyaf sejatinya adalah seorang mujahidin di Afghanistan yang berperang melawan Uni Soviet pada era 1980-an. Abu Sayyaf (bapak ahli pedang) memiliki banyak anak buah dalam pertempuran tersebut. Belakangan, nama ini dipinjam sekelompok orang saat mereka memisahkan diri dari kelompok separatis Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF) di Filipina pada 1991.

Baca Juga:  Nikah Beda Agama Kembali Mencuat di Indonesia

Kelompok ini tidak hanya ingin mewujudkan Mindanao yang merdeka, tapi juga negara di kawasan tersebut. Sejak itu, Abu Sayyaf gencar memperjuangkan tujuan itu dengan memerangi aparat Filipina. Menurut pengamat terorisme Nasir Abbas, Abu Sayyaf berbeda dengan MNLF dan pecahan lain MNLF, Moro Islamic Liberation Font (MILF).

Meskipun sama-sama memeluk Islam dan memperjuangkan kemerdekaan dari Filipina, Abu Sayyaf menurut Nasir, lebih tidak terkontrol, sebab anggotanya bergabung karena “solidaritas”, cenderung “tidak berpendidikan dan minim pengetahuan”, sehingga bergerak melakukan perlawanan karena “merasa terintimidasi dan didiskriminasi” oleh pemerintah Filipina.

“Mereka seperti gerombolan-gerombolan dengan banyak sel. Pimpinannya saja tidak tahu berapa jumlah anggotanya. Ini pulalah salah satu penyebab yang mendorong Abu Sayyaf melakukan perampokan, menculik dan meminta tebusan dalam setiap aksinya,” katanya.

Itu karena tidak mustahil ada di kalangan mereka adalah bandit dan penjahat. Jadi, dalam memenuhi kebutuhan mereka, terutama perlengkapan senjata, amunisi, perlu biaya, padahal mereka tidak mendapat sumbangan dari luar negeri, mereka juga bukan orang kaya atau pengusaha.

Sejak terpecah dari MNLF, Abu Sayyaf telah menculik ratusan orang. Mayoritas yang disandera adalah orang Filipina dan orang kulit putih. Tidak jarang sandera tersebut dibunuh, terutama yang tidak memenuhi permintaan tebusan.

Misalnya pada Juli 2009, staf Palang Merah Internasional dari Italia, Eugenio Vagni, disandera selama enam bulan. Dia dilepas di Jolo, setelah ditebus US$10.000 atau sekitar Rp130 juta. Sementara itu, November 2015, Abu Sayyaf memenggal Bernard Ghen Ted Fen, seorang turis asal Malaysia, karena keluarga gagal memenuhi tebusan 40 juta peso atau sekitar Rp12 miliar.

Selain menyandera, Abu Sayyaf pernah melakukan pengeboman. Pada Desember 1994, kelompok itu mengebom pesawat Philippines Airlines jurusan Manila-Tokyo dan menewaskan seorang penumpang.

Baca Juga:  Guinea Berpenduduk Mayoritas Muslim, Sepak Bola Olahraga Populer

Serangan lain mencakup serbuan ke Kota Ipil pada 1995 yang menyebabkan 50 orang tewas dan serangan granat ke sebuah pusat perbelanjaan di Zamboanga pada 1998 yang mencederai 60 orang. Sebagian besar aksi itu terjadi di bagian selatan Mindanao.

Pendiri Abu Sayyaf ialah Abdurajak Abubakar Janjalani. Dia tewas dalam baku tembak dengan tentara Filipina pada Desember 1998. Komandan Abu Sayyaf saat ini ialah Isnilon Hapilon. Pemerintah Amerika Serikat menawarkan uang hadiah sebesar US$5 juta bagi informasi yang berujung pada penangkapan Hapilon.

Pertengahan 2014, Abu Sayyaf yang berbasis di kepulauan selatan Filipina itu, disebut-sebut telah berbaiat kepada kelompok yang menamakan diri mereka Negara Islam atau ISIS. Menurut Nasir, Abu Sayyaf mungkin hanya ‘ikut-ikutan saja’ bergabung dengan SIS.“Perbuatan keji yang mereka lakukan itu – menculik, membunuh – sudah lebih dulu dari ISIS.”

Filipina Desak Abu Sayyap Menyerah

Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengatakan, Presiden Filipina Rodrigo Duterte telah mendesak anggota kelompok pemberontak Abu Sayyaf menyerah dengan mengancam kelompok separatis tersebut agar segera membebaskan sandera.

“Presiden Filipina sedang memberikan waktu kepada kelompok pemberontak itu untuk menyerah saja. Kalau menyerah tidak akan kenapa-kenapa, tapi kalau tidak menyerah akan dihabisi,” ujar Ryamizard, mengutip sikap Presiden Duterte terhadap Abu Sayyaf.

Saat ini, menuut Ryamizard, posisi Abu Sayyaf telah terdesak setelah operasi besar-besaran yang melibatkan 11.000 personel militer Filipina di markas kelompok pemberontak bersenjata tersebut di Perairan Sulu. Lebih dari 100 anggota Abu Sayyaf tewas dalam operasi tersebut, dengan 37 anggota lain berhasil ditangkap dalam kondisi terluka.

Selain itu, kini kelompok separatis Filipina bersenjata itu semakin terdesak karena harus terus memindahkan sandera mereka di tengah kuatnya perlawanan dan serangan dari kelompok militer Filipina.

Terkait delapan WNI yang masih disandera, Meski Menhan menyebutkan bahwa kondisi mereka saat ini diyakini dalam keadaan baik, Tentunya RI terus mengupayakan sejumlah jalur diplomasi dengan Pemerintah Filipina agar pembebasan delapan sandera lainnya dapat lebih cepat dilakukan. (R01/R02)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Wartawan: illa

Editor: Bahron Ansori

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.