Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Aleppo, Kota Warisan Dunia yang Tinggal Tumpukan Reruntuhan

illa - Selasa, 4 Oktober 2016 - 05:15 WIB

Selasa, 4 Oktober 2016 - 05:15 WIB

874 Views

Perbandingan salah satu sisi kota Aleppo tahun 2011 sebelum perang dan 2013 setelah perang.

Oleh: Illa Kartila – Redaktur Senior Miraj Islamic News Agency/MINA

Aleppo, kota paling utara di Suriah yang tadinya sangat cantik, telah berubah 180 derajat menjadi tempat mengerikan dan menyedihkan. Berada di tengah baku tembak perang sipil Suriah, kota yang dikenal dengan arsitektur bergaya Ottoman – dengan rumah-rumah mewah berhalaman luas – kini sepi ditinggalkan warga. Kota warisan dunia itu kini hanya tinggal tumpukan reruntuhan.

Aleppo adalah kota terbesar kedua di  Suriah – setelah Damaskus, ibu kota negara itu. Berpenduduk  2.130.000 jiwa (tahun 2005), kota ini termasuk yang tertua di dunia, karena sudah ada sejak 2000 SM. Kota ini dulu bernama Halab dan karena  letaknya sangat strategis sebagai pusat perdagangan.

Menurut Wikipedia, sudah banyak bangsa yang sering menaklukkan Aleppo. Penakluk Kota Aleppo mulai dari bangsa,  Hitit (2000 SM), Mesir dan  Asiria (abad ke-8 SM), Persia (abad ke-6 SM), Macedonia (332 SM), Romawi (64 SM), Arab (635 M), Tatar  (1260),  Mongol (1398), Kesultanan Utsmaniyah (1517 M), dan Perancis (1920 M). Kota itu menjadi bagian dari negara Suriah sejak tahun 1944.

Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari

Dari waktu ke waktu, Kota Aleppo semakin hancur tak berbentuk. Gempuran rezim Presiden Bashar Al-Assad yang tanpa henti meluluhlantakkan ratusan fasilitas sipil di kota ini. Rezim itu berkilah bahwa bombardir Aleppo sengaja dilakukan untuk merebut kembali kota itu dari kontrol pihak oposisi yang menentang pemerintahannya.

Pertempuran Aleppo yang dimulai 19 Juli 2012, juga dikenal dengan sebutan “induk dari semua pertempuran”, adalah konfrontasi militer yang terjadi di kota itu antara militer Suriah dengan Tentara Pembebasan Suriah (FSA). Serangan ini merupakan bagian dari serangkaian Perang Sipil Suriah.

Demo besar-besaran terhadap pemerintah Suriah terjadi di Aleppo pada 20 Juli 2012. Di bagian Aleppo Utara,  TBS telah mengklaim kontrolnya atas beberapa kota dan distrik, diantaranya Tal Rifaat, Azaz dan dan Al-Bab. Pertempuran dimulai saat puluhan pemberontak TBS menembus ke dalam kota Aleppo.

Mayoritas kawasan di Aleppo timur yang dikuasai para oposisi dibombardir oleh pasukan pemerintah dan pertempuran lainnya pecah di sejumlah distrik. Pertempuran terbaru ini berlangsung hanya beberapa saat setelah voting Majelis Umum yang mengkritik soal kegagalan Dewan Keamanan  untuk bertindak di Suriah.

Baca Juga: Daftar Hitam Pelanggaran HAM Zionis Israel di Palestina

Serangan-serangan itu menyebabkan lebih dari 200.000 warga Suriah meninggalkan Aleppo. Namun menurut PBB, sekitar 300.000 penduduk kota itu masih terjebak dan berlindung di gedung-gedung sekolah dan bangunan publik lainnya.

Sementara itu sebuah organisasi pemerhati masalah HAM Suriah yang berbasis di Inggris melaporkan bahwa sekitar 135 orang tewas pada pertempuran tanggal 1 Agustus, sedangkan organisasi lainnya – Komite Koordinasi Lokal – menyebut bahwa lebih dari 170 orang tewas.

Reaksi dunia

Dunia internasional kemudian bereaksi atas gempuran tersebut. Kemenlu Perancis misalnya menyebutkan, “dengan adanya penumpukan senjata berat di sekitar Aleppo, Presiden Assad sedang bersiap untuk melakukan pembantaian pada rakyatnya sendiri”, sementara Italia dan Ketua Dewan Keamanan PBB juga menuduh pemerintah bersiap untuk membantai warga sipil.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-23]  Keutamaan Bersuci, Shalat, Sedekah, Sabar, dan Al-Quran

Menurut Menlu Rusia, Sergey Lavrov “mitra Barat kami beserta beberapa negara tetangga Suriah pada dasarnya mendorong, mendukung dan mengarahkan perjuangan bersenjata untuk melawan rezim”. Dia juga menambahkan bahwa akan lebih realistis jika Angkatan Bersenjata Suriah tidak melawan ketika pemberontak menduduki Aleppo.

Sementara itu PM Turki Recep Tayyip Erdogan mendesak tindakan internasional, dan mengatakan “kita tidak mungkin untuk tetap menjadi penonton” atas pertempuran di Aleppo. Reuters melaporkan, Turki telah bersekutu dengan Arab Saudi dan Qatar untuk memberikan bantuan militer dan komunikasi kepada FSA dengan mendirikan basis di kota Adana.

Inggris juga menegaskan bahwa “dunia harus bertindak untuk mencegah pembantaian di Aleppo.” Sementara AS menyatakan pihaknya mengkhawatirkan akan terjadinya pembantaian baru di Aleppo oleh pemerintah Suriah.

“Kekhawatiran kami adalah bahwa kita akan melihat pembantaian di Aleppo dan itulah yang tampaknya dipersiapkan,” kata pemerintah Washington.

Baca Juga: Sejarah Palestina Dalam Islam

Perang saudara di Suriah yang belakangan ini terfokus di Aleppo, semakin buruk karena lebih banyak menyasar warga sipil. PBB menyatakan, satu nyawa melayang setiap 25 menit. Krisis Suriah tak memperlihatkan tanda-tanda akan segera berakhir. Keadaan di Aleppo semakin memburuk setelah perundingan damai Suriah tahun 2014 di Jenewa, menemui jalan buntu.

Aleppo telah menjadi target serangan koalisi Rusia dan Suriah. Rusia melancarkan serangan udara, sedangkan Suriah melakukan serangan darat. Meski kedua negara itu mengklaim serangan mereka menarget kelompok Negara Islam Irak dan Suriah, basis-basis oposisi moderat yang didukung koalisi AS justru telah menjadi korban.

Tidak terkecuali rumah sakit yang dikelola oleh lembaga amal medis, Dokter Tanpa Batas (MSF). Pada serangan akhir April 2016 misalnya, Rumah Sakit Quds yang didukung Komite Palang Merah Internasional dan rumah sakit yang dikelola MSF hancur dibombardir Rusia.  merenggut kurang lebih 30 korban jiwa dan sedikitnya 62 luka-luka.

Menurut Mayor Jamil Saleh, salah satu komandan Tentara Pembebasan Suriah (FSA), pasukan rezim Damaskus sedang mempersiapkan penambahan personel, persenjataan, dan amunisi untuk menghadapi perang terbuka di Aleppo. Pihaknya menjawab manuver Assad dengan mengirimkan pasukan ke kota tersebut.

Baca Juga: Pelanggaran HAM Israel terhadap Palestina

“Perang akan berkecamuk lebih dahsyat,” kata Hilal Khashan, pakar politik di Universitas Amerika di Beirut. “Saya kira kita akan menyaksikan eskalasi kekerasan sebelum perundingan damai bisa dimulai lagi.”

Bahkan, 24 jam sebelum serangan fatal ke rumah sakit sipil itu, pesawat milik militer Rusia melepas roket kendalinya dan menyasar markas tim keamanan sipil di wilayah Atarib, Aleppo. Lima personil keamanan tewas dalam serangan udara yang tak imbang itu. Hingga hari ini, walau kecaman dunia memuncak hebat, Assad bergeming untuk tidak menghentikan serangannya ke Aleppo.

Aleppo memerah darah

Menurut data UNHCR April 2016, jumlah orang yang tewas akibat konflik berdarah di Suriah mencapai 10.381 orang, jumlah pengungsi yang tersebar di beberapa negara mencapai 4.842.896 orang. Rincian pengungsi; di Turki 2.749.140 jiwa, Lebanon 1.055.984 jiwa, Yordania 642.868 jiwa, Irak 246.123 jiwa, Mesir 119.665 jiwa, Afrika Utara 29.116 jiwa, dan Eropa 972.012 jiwa.

Baca Juga: Peran Pemuda dalam Membebaskan Masjid Al-Aqsa: Kontribusi dan Aksi Nyata

Akibat serangan bom sepanjang 23-24 September 2016 kasur-kasur di sebuah rumah sakit dipenuhi tubuh bocah penuh debu dan darah. Tak lama kemudian, tim penyelamat membawa seorang bayi dengan darah di kepalanya. Tak bergerak. Tak jelas apakah bocah itu masih bernyawa  atau tidak.

Dampak lain dari serangan udara itu, 1,75 juta warga  Aleppo yang tersisa harus hidup tanpa air. Salah satu sasaran serangan tersebut adalah pompa-pompa air. “Mereka harus bertahan hidup tanpa air, mengakibatkan bocah-bocah yang terluka, yang kurang gizi, harus kembali merana dan nyawanya terancam akibat penyakit,” kata Hanaa Singer, Perwakilan UNICEF di Suriah, seperti dilansir The Guardian, akhir September ini.

Penduduk yang masih bertahan di Aleppo mengatakan wilayah mereka menjadi target sasaran serangan udara paling mematikan sepanjang konflik. “Sayangnya, ini terus berlanjut. Kini, justru lebih banyak pesawat di langit,” tutur Ammar al-Selmo, Kepala Pertahanan Sipil Suriah.

Menurut dia, para penyerang juga menggunakan senjata yang lebih maju. Salah satu saksi mata mengatakan, sebuah misil yang menyerang Aleppo menciptakan efek getaran seperti gempa bumi. “Mereka menggunakan senjata yang sepertinya spesifik untuk meruntuhkan bangunan,” ujar pejabat senior oposisi kepada Reuters.

Baca Juga: Langkah Kecil Menuju Surga

Para aktivis mengaku sulit melakukan operasi penyelamatan di Aleppo karena kehadiran terus menerus pesawat tempur. Rumah sakit menghadapi keterbatasan obat, kantong darah, dan persediaan. Mereka menunjuk contoh, 40 orang yang cedera yang dibaringkan di lantai sebuah rumah sakit karena tak ada tempat tidur. Juga saat ini, hanya 20 dokter yang tersisa di  Aleppo.

Terhadap gempuran-gempuran atas sasaran fasilitas sipil, Duta Besar AS untuk PBB, Samantha Powel, menuduh apa yang didukung dan dilakukan Rusia “bukan upaya anti-terorisme, itu adalah barbarisme.”

“Alih-alih mengejar perdamaian, Rusia dan Assad justru berperang. Alih-alih membantu warga mendapatkan bantuan kesehatan, mereka malah membom konvoi kemanusiaan, rumah sakit, dan petugas yang berusaha mati-matian menjaga orang agar tetap hidup,” kata Powel.

Menteri Luar Negeri Inggris, Boris Johnson, mengatakan bahwa Rusia bersalah karena telah memperpanjang perang Suriah dan membuatnya jauh lebih mengerikan. Sementara Sekjen PBB Ban Ki-moon menilai penggunaan serangan udara, senjata pembakar, dan bom bunker di daerah padat penduduk oleh pemerintah Assad, merupakan kejahatan perang.

Baca Juga: Akhlak Mulia: Rahasia Hidup Berkah dan Bahagia

Dari balik bangunan sipil yang runtuh, tembok yang hancur, dan puing-puing sisa gempuran bom, Aleppo tampak jelas sedang memerah darah. Belasan ribu keluarga sipil di Aleppo kini sedang tertatih, terjebak dalam gempuran perang yang entah kapan akan berakhir. (R01/P001)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-22] Islam Itu Mudah, Masuk Surga Juga Mudah

Rekomendasi untuk Anda

Internasional
Palestina
Indonesia
Amerika