Derita Psikologi Anak-Anak Suriah di Bawah Jatuhan Bom Drum

Oleh: Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Hala kini berusia 14 tahun. Ia bercerita. Delapan bulan yang lalu, ibunya tewas di hadapannya, ketika bom jatuh di rumah keluarganya di timur yang dikuasai oleh oposisi Suriah.

“Setiap kali saya ingat saat ini, air mata saya jatuh sendiri,” kata Hala kepada wartawan Al Jazeera.

Meski telah pindah ke rumah lain, Hala sering mengalami mimpi buruk, dan suka bangun tiba-tiba di tengah malam dan kemudian tidak bisa tidur lagi.

“Saya merasa sangat lelah,” keluhnya.

Terlepas dari berapa banyak warga sipil yang berhasil meninggalkan Aleppo yang dikepung pada hari-hari atau pekan-pekan mendatang, luka psikologis tetap membekas jelas dibawa oleh anak-anak di kota ini. Dokter mengatakan akan butuh waktu lama untuk menyembuhkan trauma itu.

Menurut data organisasi Save the Children, hingga 31 Juli 2016, masih ada sekitar 300.000 warga sipil tetap berada di kota, di bagian yang dikuasai oleh oposisi, 60 persen di antaranya adalah perempuan dan anak-anak.

Pekan lalu, pemerintah Suriah dan Rusia mengumumkan bahwa setiap warga sipil dan pejuang yang menyerah akan diizinkan untuk meninggalkan kota melalui rute kemanusiaan, tetapi organisasi kemanusiaan Amnesty International menyatakan keraguannya.

Amnesty mengatakan, bahkan jika rute yang aman disediakan, itu tidak akan mencegah terjadinya bencana kemanusiaan.

John Kahler, seorang dokter anak dari Chicago yang baru-baru ini mengunjungi Aleppo dalam misi relawan medis bersama organisasi Masyarakat Medis Suriah-Amerika mengatakan, situasi menjadi semakin mengerikan.

Masyarakat Medis Suriah-Amerika adalah salah satu organisasi medis terbesar yang masih memberikan pelayanan kesehatan di dalam negeri Suriah.

“Itu 10 kali lebih buruk dari apa yang saya bayangkan. Anda tidak bisa membayangkan jika Anda belum melihatnya. Seluruh blok dibom dari luar,” katanya kepada wartawan Al Jazeera.

Kahler menggambarkan situasi di Suriah adalah perang saudara yang sangat traumatis bagi anak-anak. Ia mencatat bahwa untuk menjadi bahagia, anak-anak harus merasa aman dan nyaman.

“(Dalam perang saudara) itu bukan hanya agresor eksternal. Ini adalah musuh dari dalam,” katanya.

Degradasi keamanan budaya dapat membuat anak-anak merasa sangat rentan, yang akan mempengaruhi kemampuan mereka dalam mempercayai orang lain dan untuk menemukan kenyamanan.

Anak-anak di Aleppo terlihat tidak bisa dihibur oleh para orang dewasa. Ada amarah dan tanda-tanda gangguan kecemasan yang signifikan pada diri mereka.

Seorang ibu Suriah bernama Um Hanan menceritakan bahwa suaminya tewas tiga tahun lalu ketika bom menghantam lokakarya pertukangan di Aleppo. Ibu dari lima anak itu berada di pasar lokal tahun lalu bersama putrinya Basma, ketika dua bom drum jatuh di dekatnya.

Bom drum adalah bom yang menjadi ciri khas bom buatan militer pemerintah Suriah.

Basma yang sekarang 11 tahun, telah pulih dari luka ringannya, tapi trauma psikologis telah berlama-lama melekat di dirinya.

Sepuluh hari setelah kejadian itu, Basma mulai mengompol dalam tidurnya di malam hari. Tangannya gemetar saat dia makan. Dia tidak lagi terlihat menikmati masa bersosialisasi. Meski dia masih pergi ke sekolah, tapi dia tidak bermain, dia menjadi sangat tidak interaktif di kelas atau di waktu istirahat di sekolah.

Um Hanan sebagai seorang ibu terus berjuang untuk menemukan cara dalam mendukung putrinya.

“Saya benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukan,” katanya. “Saya mengunjungi dan bertanya kepada banyak dokter dan apoteker tentang kondisinya, tetapi mereka semua mengatakan dia tidak dapat diobati karena ini adalah masalah psikologis.”

Abdulkarim Ekzayez, seorang dokter dari Save the Children, menyatakan keprihatinannya bahwa anak-anak belum menerima dukungan psikososial yang cukup di banyak daerah di Suriah.

“Kami mendapati banyak kasus kesehatan mental dan anak-anak benar-benar sangat terpengaruh psikisnya,” kata Ekzayez yang mengepalai program kesehatan dan gizi organisasi untuk wilayah barat laut Suriah.  “Anda dapat melihat anak terisolasi. Di pusat-pusat ramah anak-anak, banyak anak-anak yang tidak berbaur bersama anak-anak lainnya. Mereka tidak bermain, mereka lebih suka menyendiri, mereka tidak tertawa sama sekali. Gejala seperti ini benar-benar umum.”

Kahler mengungkapkan, jenis kecemasan dapat berwujud mengompol dan mengalami kesulitan makan.

Situasi semakin memburuk di Aleppo di saat sebagian keluarga telah mengungsi berulang kali di dalam kota, mengacaukan rutinitas sehari-hari mereka.

Seorang anak lain bernama Ahmad berusia 16 tahun, telah menampakkan gejala-gejala gangguan psikis. Ibunya Jamila mengisahkan, lima bulan yang lalu, ia berada di sekolah ketika bangunan itu dihantam serangan udara pasukan rezim. Dia berhasil menyelamatkan diri dengan cedera serius. Saat itu ia berada di dalam kelas bawah tanah, tapi dia belum bisa melupakan hari itu.

“Ini bukan pertama kalinya dia selamat dari bom, tapi yang satu ini benar-benar memiliki efek buruk,” kata Jamila. “Dia telah kehilangan nafsu makannya dan hanya makan sedikit makanan.”

Selain itu, Ahmad juga mengompol dalam tidurnya dan bicaranya terbata-bata.

Jamila hampir merasa putus asa untuk menemukan cara yang tepat untuk membantu kesembuhan trauma Ahmad.

“Tidak ada dokter psikologis atau spesialis di bagian Aleppo yang dikuasai oposisi, tapi saya bertanya dan mengunjungi banyak apoteker, dan mereka memberi saya beberapa obat-obatan untuk membantu anak saya,” katanya.

Obat yang diberikan ternyata hanya membantu sedikit, tidak cukup.

Jamila hanya bisa menyesalkan eksodus bertahap para dokter dari Aleppo ketika perang saudara Suriah pecah.

“Mengapa mereka meninggalkan kota? Kami menderita sakit yang konstan. Pekerjaan dokter harus berada di sini, di lapangan, yang seharusnya mereka bersumpah untuk melakukannya,” kata Jamila.

“Anak-anak membutuhkan keamanan, kenyamanan, perlindungan, ruang untuk bermain. Saya tidak menyebutnya ruang fisik, tetapi ruang psikologis,” kata Kahler. “Tapi jika Anda tidak tahu kapan bom drum berikutnya akan jatuh, ada begitu banyak yang dapat Anda lakukan.” (P001/P4)

Sumber: Tulisan Alivia Alabaster dan Zouhir Al-Shimale di Al Jazeera

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.