ALLAHU AKBAR! PEKIK TAKBIR BUNG TOMO MERDEKAKAN INDONESIA

(Bung Tomo berorasi)
( berorasi)

Oleh: Bahron Ansori (Redaktur Kantor Berita Islam Mi’raj Islamic News Agency/MINA)

Bismillahirrohmanirrohim..

Merdeka!!!

Saudara-saudara rakyat jelata di seluruh Indonesia terutama saudara-saudara penduduk kota .

Kita semuanya telah mengetahui.
Bahwa hari ini tentara Inggris telah menyebarkan pamflet-pamflet yang memberikan suatu ancaman kepada kita semua.
Kita diwajibkan untuk dalam waktu yang mereka tentukan,
menyerahkan senjata-senjata yang telah kita rebut dari tangannya tentara Jepang.
Mereka telah minta supaya kita datang pada mereka itu dengan mengangkat tangan.
Mereka telah minta supaya kita semua datang pada mereka itu dengan membawa bendera putih tanda bahwa kita menyerah kepada mereka

Saudara-saudara.

Di dalam pertempuran-pertempuran yang lampau kita sekalian telah menunjukkan bahwa rakyat Indonesia di Surabaya.
Pemuda-pemuda yang berasal dari Maluku,
Pemuda-pemuda yang berawal dari Sulawesi,
Pemuda-pemuda yang berasal dari Pulau Bali,
Pemuda-pemuda yang berasal dari Kalimantan,
Pemuda-pemuda dari seluruh Sumatera,
Pemuda Aceh, pemuda Tapanuli, dan seluruh pemuda Indonesia yang ada di Surabaya ini.

Di dalam pasukan-pasukan mereka masing-masing.
Dengan pasukan-pasukan rakyat yang dibentuk di kampung-kampung.
Telah menunjukkan satu pertahanan yang tidak bisa dijebol.
Telah menunjukkan satu kekuatan sehingga mereka itu terjepit di mana-mana.

Hanya karena taktik yang licik daripada mereka itu saudara-saudara.
Dengan mendatangkan Presiden dan pemimpin-pemimpin lainnya ke Surabaya ini. Maka kita ini tunduk untuk memberhentikan pertempuran.
Tetapi pada masa itu mereka telah memperkuat diri.
Dan setelah kuat sekarang inilah keadaannya.

Saudara-saudara kita semuanya.

Kita bangsa indonesia yang ada di Surabaya ini akan menerima tantangan tentara Inggris itu, dan kalau pimpinan tentara inggris yang ada di Surabaya.
Ingin mendengarkan jawaban rakyat Indonesia.
Ingin mendengarkan jawaban seluruh pemuda Indonesia yang ada di Surabaya ini.
Dengarkanlah ini tentara Inggris.
Ini jawaban kita.
Ini jawaban rakyat Surabaya.
Ini jawaban pemuda Indonesia kepada kau sekalian.

Hai tentara Inggris!

Kau menghendaki bahwa kita ini akan membawa bendera putih untuk takluk kepadamu.
Kau menyuruh kita mengangkat tangan datang kepadamu.
Kau menyuruh kita membawa senjata2 yang telah kita rampas dari tentara Jepang untuk diserahkan kepadamu
Tuntutan itu walaupun kita tahu bahwa kau sekali lagi akan mengancam kita untuk menggempur kita dengan kekuatan yang ada tetapi inilah jawaban kita:
Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah
Yang dapat membikin secarik kain putih merah dan putih
Maka selama itu tidak akan kita akan mau menyerah kepada siapapun juga

Saudara-saudara rakyat Surabaya, siaplah keadaan genting!

Tetapi saya peringatkan sekali lagi.
Jangan mulai menembak,
Baru kalau kita ditembak,
Maka kita akan ganti menyerang mereka itukita tunjukkan bahwa kita ini adalah benar-benar orang yang ingin merdeka.

Dan untuk kita saudara-saudara.

Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka.
Semboyan kita tetap: merdeka atau mati!

Dan kita yakin saudara-saudara.

Pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita,
Sebab Allah selalu berada di pihak yang benar.
Percayalah saudara-saudara.
Tuhan akan melindungi kita sekalian.

Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!

Merdeka!!!

(Pidato Bung Tomo, 10 November 1945)

Sekilas Bung Tomo

Bung Tomo, dialah salah satu aktor penggerak para pejuang dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Pria bernama asli Sutomo ini berhasil “membakar” semangat arek-arek Suroboyo untuk melawan tentara Inggris dan NICA-Belanda, yang ingin kembali menduduki Tanah Air setelah dikalahkan Jepang.

Pria kelahiran Surabaya 3 Oktober 1920 ini dikenal sebagai orator ulung. Hal itu, dibuktikannya Radio Republik Indonesia (RRI) dengan menggelorakan semangat perjuangan melawan penjajah di Surabaya. Allahu Akbar! Merdeka! Itulah pekik dahsyat Bung Tomo yang ia sisipkan dalam pidatonya.

Bung Tomo tak sembarangan memilih kata “Takbir dan Merdeka” dalam pidatonya. Kata demi kata dia pilih dengan sangat cermat untuk memompa semangat para pejuang kala itu. Dia sadar siapa lawan para pejuang. Tentara-tentara Eropa itu jelas-jelas dilengkapi senjata modern era itu. Sehingga, dia berusaha membuat bara dalam jiwa setiap pejuang di Surabaya.

Putra Kartawan Tjiptowidjojo ini boleh saja tak lulus MULO. Atau pendidikan setingkat SMP. Namun, analisa psikologis massa Bung Tomo perlu diacungi jempol. Bung Tomo yang kala itu masih berusia 25 tahun tahu betul, para pejuang bukan hanya datang dari Surabaya. Ribuan orang telah datang ke kota itu demi tujuan yang sama: berjuang mengusir penjajah.

Sutomo yang beribu blasteran Jawa Tengah, Sunda, dan Madura itu melihat banyak santri dan ulama yang bergabung dalam perjuangan. Sehingga, dia tak ragu memilih Takbir sebagai senjata ampuh pemicu semangat juang. Seruan Bung Tomo kala itu menjadi panggilan suci bagi kaum Muslim di Surabaya dan sekitarnya untuk bahu-membahu menghadapi musuh bangsa.

Sebuah cerita mungkin semakin memperjelas mengapa Bung Tomo memilih pekik Takbir sebagai kata pendobrak dalam pidatonya. Sebelum 10 November itu, ternyata Bung Tomo menemui KH Hasyim Asyari, Rais Akbar Nahdlatul Ulama kala itu. Dia meminta izin membacakan pidato yang merupakan manifestasi Resolusi Jihad yang sebelumnya disepakati oleh para kiai NU.

Dalam disertasi William H. Frederick, “In Memoriam: Sutomo” yang diterjemahkan dengan judul Bung Tomo: Pandangan dan Gejolak (1979) itu menyebutkan, pekik takbir dilakukan setelah melalui perhitungan psikologis yang cukup matang. Takbir digunakan untuk menarik perhatian umat Islam yang ada di Surabaya kala itu, tetapi belum terjaring dalam perlawanan. Artinya, Bung Tomo, cukup tahu bahwa pejuang yang terjun di lapangan adalah kalangan santri, yang sebagian besar datang dari luar kota.

Faktanya, pidato menggelora Bung Tomo membuat semangat heroisme para pejuang di lapangan semakin mantap. Sebab, dalam tradisi Islam, penggunaan takbir untuk mempertahankan tanah air sama halnya dengan panggilan perang suci. Pidato Bung Tomo seakan menjadi terompet dimulainya sebuah pertempuran yang sulit dibedakan sebagai tindakan penuh keberanian. Meski bersenjata seadanya, rakyat dengan gagah berani perang secara terbuka untuk merdeka.

Benang merah keterkaitan itu semakin terlihat dengan “terkuaknya” resolusi jihad yang difatwakan Nahdlatul Ulama (NU) 18 hari sebelumnya. KH Hasyim Asy’ari memerintah KH Wahab Hasbullah dan KH Bisri Syamsuri mengadakan rapat dengan kiai se-Jawa dan Madura di Kantor PB Ansor NU, Jalan Bubutan VI/2, 22 Oktober 1945. Pada 23 Oktober 1945, atas nama Pengurus Besar NU, Kiai Hasyim mendeklarasikan jihad fi sabilillah. Fatwa itulah yang kemudian disahkan dalam Muktamar Ke-16 NU di Purwokerto pada 26-29 Maret 1946.

Lima butir resolusi jihad adalah; pertama, kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan; kedua, RI sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah harus dijaga dan ditolong; ketiga, musuh RI ialah Belanda yang kembali ke Indonesia dengan bantuan tentara Sekutu; keempat, umat Islam harus mengangkat senjata melawan Belanda dan tentara Sekutu yang ingin menjajah Indonesia kembali; dan kelima adalah perang suci wajib bagi setiap muslim yang tinggal dalam radius 94 kilometer, bantuan material bagi yang berada di luar radius tersebut.

Butir-butir resolusi jihad itu menunjukkan bahwa kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 harus dipertahankan oleh seluruh rakyat Indonesia. Seturut dengan resolusi jihad itu, berbagai ulama meresistansi keinginan Belanda untuk kembali menjajah Indonesia. Di Jogjakarta, misalnya, Ketua PP Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusumo menegaskan perang kemerdekaan adalah jihad fi sabilillah. Siapa yang belum pernah ikut berperang melawan penjajah dan bahkan hatinya tidak berhasrat, status munafik akan mengiringinya saat meninggal dunia.

Resolusi jihad mampu menyulap berbagai pesantren dari tempat pendidikan menjadi markas laskar Sabilillah dan Hizbullah untuk diberangkatkan ke Surabaya. Di antara alumnus dua laskar yang masyhur ikut bertempur di Surabaya adalah KH Munasir Ali, KH Yusuf Hasyim, KH Baidowi, KH Mukhlas Rowi, KH Sulanam Samsun, KH Amien, KH Anshory, dan KH Adnan Nur. Namun, panggilan hati sebagai penjaga umat membuat para kiai itu tidak melanjutkan karir militernya secara maksimal setelah revolusi fisik. Mereka pun kembali mengasuh pesantren. Bahkan, menyingkir dari arena politik sama sekali.

Sebelumnya Presiden Sukarno mengirim utusan untuk menghadap Kiai Hasyim. Melalui utusan itu, Sukarno menanyakan hukum berjuang membela negara. Para kiai NU menyatakan berjuang demi negara adalah jihad. Kontan saja, setelah resolusi itu, ribuan santri dan kiai bergerak menuju Surabaya untuk berjuang. Inilah yang dilihat oleh Bung Tomo.

Ketika hari itu datang, Bung Tomo naik ke atas pangung. Dengan penuh semangat berpidato, membakar semangat para pejuang di Surabaya. Menyeru segenap anak bangsa untuk mempertahankan tanah airnya.

Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Merdeka! Itulah pekik takbir Bung Tomo dalam pidato legendaris di Surabaya. Pidato yang selalu dikenang, bahkan setelah kematiannya di Padang Arafah pada 7 Oktober 1981. Bisa dikatakan, Indonesia merdeka lantaran pekik kalimat takbir itu, dan bukan yang lain.(R02/R03)

(diolah dari berbagai sumber)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

 

Wartawan: Bahron Ansori

Editor: Bahron Ansori

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.

Comments: 0