Cendikiawan Muslim Terkejut Produk Prancis Diboikot

Paris, MINA – Seruan pihak-pihak tertentu di sejumlah negara untuk memboikot produk-produk Prancis baru-baru ini mengejutkan dan sukar dipahami oleh kaum cendikiawan .

“Siapa yang bisa mengatakan secara obyektif bahwa Prancis bertindak semena-mena terhadap warga Islamnya? Tak seorang pun, kecuali barangkali mereka yang ingin menanamkan benih perselisihan dalam masyarakat nasional Prancis,” kata pernyataan cendikiawan Muslim Prancis yang terbit di salah satu koran utama Prancis Le Monde dikutip MINA, Rabu (18/11).

Pernyataan itu ditandatangani oleh, Farid Abdelkrim (penulis dan aktor), Sadek Beloucif (presiden asosiasi Islam di abad 21), Chems-eddine Hafiz (rektor Masjid Agung Paris), Eva Janadin, (ketua delegasi dari asosiasi Islam di abad ke-21), Hakim El Karoui (pendiri Asosiasi Muslim untuk Islam Prancis), Khaldoun Nabwani (filsuf), Tareq Oubrou (imam besar Bordeaux), Hachem Saleh (penulis), dan Youssef Seddik(filsuf, antropolog teks suci).

Menurut mereka, saat ini kerukunan dan persatuan harus diutamakan dalam masyarakat nasional Prancis yang tengah menjadi korban serangkaian serangan keji tidak berperikemanusiaan.

“Kami, kaum Muslim di Prancis dan di negara-negara lainnya di kawasan Mediterania, menghimbau ketenangan dan akal sehat,” tegas pernyataan itu.

Ada dua hal yang menjadi permasalahan. Yang pertama, luapan perasaan yang dipicu penerbitan ulang karikatur Nabi Muhammad SAW oleh majalah Charlie Hebdo dan pernyataan pemerintah Prancis mengenai hal itu.

Yang kedua, pernyataan-pernyataan Presiden Emmanuel Macron dalam pidatonya baru-baru ini tentang separatisme.

“Kami sendiri, para penulis dan penanda tangan mimbar ini, menganggapnya vulgar dan menyinggung. Akan tetapi, di Prancis, penistaan agama bukanlah tindak pidana. Jadi, penistaan agama dapat dikecam, tetapi tidak dilarang,” ujar pernyataan itu.

Sejak Revolusi Prancis tahun 1789, kebebasan berekspresi telah dilindungi, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 10 Deklarasi Hak Asasi Manusia.

Sejumlah batasan dinyatakan dengan jelas dalam undang-undang, dengan tidak mengizinkan penghinaan maupun hasutan kebencian seperti rasisme.

Pada kenyataannya, setiap warga negara bebas membawa perkara ke pengadilan jika dia menganggap bahwa batasan-batasan ini telah dilanggar, bukan atas nama hak penistaan, melainkan atas nama penghormatan terhadap martabat manusia, terlepas dari agama yang bersangkutan, apakah Katolik, Protestan, Yahudi, atau Islam. (T/RE1/P2)

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: sajadi

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.