Dikotomisasi Nilai-Nilai Al-Quran (Oleh: Dr. L. Sholehuddin)

Oleh: Dr. L. Sholehuddin, M.Pd.; Dosen pada Sekolah Tinggi Shuffah Al-Quran Abdullah bin Masud Online Lampung Indonesia

Seiring perjalanan waktu, pergantian generasi demi generasi telah melahirkan perubahan pola pikir, pola sikap dan pola tindak di setiap tata atur dan tata laksana kehidupan generasi itu yang menyebabkan terjadinya pemikiran, secara implisit bahkan eksplisit adanya pemisahan penerapan nilai- tidak lagi sejalan antara titah, bimbingan dan petunjuk dengan praktik pelaksanaan secara praktis.

Inilah awal petaka munculnya ketimpangan demi ketimpangan datang silih berganti mengisi perjalanan kelam umat manusia. Al-Quran tidak lagi menjadi referensi utama manusia dalam menata dan meniti karier menempuh cita-cita dalam mencapai kehidupan yang hakiki dan abadi.

Adanya arus budaya westernisasi yang mengalir dengan deranya tanpa dapat dielakkan, telah menyebabkan terjadinya perubahan sudut pandangan sebagian manusia (khususnya kaum muslimin) yang menganggap bahwa menata kehidupan yang damai, tenteram dan serasi hanya akan dapat terwujud bila manusia mengandalkan dan menggunakan potensi kecerdasan otaknya itu.

Persoalan dunia, dapat diselesaikan hanya dengan kecanggihan otak. Al-Quran seolah-olah hanya bicara pada tataran ritual ibadah semacam salat, puasa, haji, majelis ta’lim, juru doa, pengajian, tablig akbar dan sederet istilah kegiatan keagamaan disadarkan. Bahkan ironinya, justru hal ini, juga dipelopori oleh sebagai pakar muslim yang telah mengalami cuci otak (brain washing) doktrin sekuler.

Perubahan ini sesungguhnya diakibatkan muslimin terpengaruh oleh obsesi teori Sokrates, Aritoteles dan Plato tentang masyarakat Yunani yang saat itu sedang mencari bentuk, cara mengelola dan menata masyarakat Athena, Yunani, yang memerlukan tata teratur dan tata kelola yang baik, lalu muncullah ide untuk melakukan upaya dengan menggunakan konsep Negara Kota-nya itu, yang melahirkan ide demokrasi.

Seperti di Rusia muncul gagasan mendirikan paham komunis untuk mengimbangi eksistensi kaum kapitalis (borjuis) yang secara fakta telah melakukan penindasan terhadap kaum proletar (kaum petani, papa, dan miskin). Di beberapa negara maju, termasuk Amerika yang secara vulgar menonjolkan kemampuan otak secara utuh untuk menjadikan barometer kesuksesan, dan beranggapan hanya orang-orang cerdas secara IQ-lah yang dapat sukses dan berhasil.

IQ (kecerdasan intelektual) telah menjadi kecenderungan dan harapan besar yang selalu diimpi-impikan para orang tua, terutama orang tua yang putra putrinya masih duduk di sekolah tingkat dasar. Para orang tua berharap besar anak-anak mereka memiliki IQ tinggi agar dapat sukses dalam berkarya di masa depan. Asumsi itu telah memicu sekolah-sekolah, terutama sekolah tingkat dasar untuk melakukan uji coba kecerdasan,maka pada tahun 2004 Tes IQ menjadi tren di SD-SD di berbagai kota besar.

Untuk meningkatkan “gengsi”, menurut Agu Effendi dalam bukunya berjudul Revolusi Kecerdasan Abad 21, sekolah ramai-ramai menyeleksi anak-anak yang hendak masuk sekolah dengan tes IQ . Mereka berteori bahwa sekolah yang baik adalah jika para siswanya pintar-pintar, dan siswa yang pintar itu jika IQ-nya di atas rata-rata. Karena itulah mereka menyelenggarakan tes IQ.

Meskipun mereka kurang begitu memahami kerangka landasan teoretis dan filosofisnya; untuk apa tes IQ itu, apa kelemahan dan kelebihannya, dan kapan semestinya hal itu dilakukan. Taufik Pasiak dalam bukunya Revolusi IQ/EQ/SQ Menyingkap Rahasia Kecerdasan Berdasarkan Al-Quran dan Neurosains Mutakhir mengungkapkan bahwa di antara dokter yang lulus tepat waktu (6,5 – 7 tahan) dengan Indeks Prestasi Komulatif (IPK) di atas 3,0 merupakan dokter-dokter yang gagal, baik sebagai kepala Puskesmas maupun dokter praktek swasta. Ketika menjadi kepala Puskesmas, mereka menjadi pemimpin yang gagal.

Ketika membuka praktik, mereka kekurangan pasien, sementara kawan-kawan mereka hampir dropout karena terlalu lama sekolah juga dengan IPK biasa, justru menjadi dokter-dokter yang berhasil ketika bekerja di lingkungan masyarakat. Di antaranya bahkan menjadi dokter teladan.

Fakta di atas dengan jelas menunjukkan bahwa pemisahan otak dari habitatnya Al-Quran dalam melakukan improvisasi dan inovasi perbaikan tatanan hidup dan pengelolaan lingkungan yang ramah dan kondusif, telah melahirkan kehancuran dan kebinasaan secara masif dan merata di mana nilai-nilai kemanusiaan jatuh ke dasar lembah jurang kenistaan dan kehinaan.

Merajalelanya kriminalitas, eksploitasi, kesenjangan sosial antar si miskin dan si kaya, penyalahgunaan wewenang (abuse of power) para pemangku jabatan, kesombongan merajalela, penindasan si kuat atas si lemah, perampasan hak asasi manusia, pembatasan kemerdekaan individu dalam mengekspresikan gagasan, ide, pendapat, kritik dan pemikiran. Nilai manusia tidak ubahnya seperti binatang bahkan lebih rendah dari itu (QS. Al-A‟raf/179) padahal Allah yang Maha Agung telah menegaskan dengan firman-Nya bahwa manusia diciptakan dari sumber yang sama dan dalam bentuk yang sama pula, yaitu ciptaan yang paling indah dan sempurna di banding makhluk Allah lainnya (QS. At-Tiin/5-6).

Untuk itulah perlu ada upaya konkret, langkah nyata dan rencana yang jelas dalam mengatasi kemunduran dan keterpurukan peradaban yang diakibatkan oleh adanya distorsi pemahaman makna Al-Quran sebagai efek dari adanya nilai-nilai universal yang terkandung di dalam Al-Quran, maka reinkarnasi nilai-nilai Al-Quran dalam membangun karakter anak bangsa dalam bingkai NKRI menjadi sebuah keniscayaan.(AK/R01/P2)

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.