Dosen IPB: Suhu Dingin di Indonesia Akibat Aphelion itu Hoax

Bogor, MINA – Suhu dingin yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia belakangan ini bukan disebabkan oleh fenomena aphelion, seperti berita hoax yang banyak beredar di masyarakat.

Dosen Departemen Geofisika dan Meteorologi (GFM) Fakultas Matematika dan IPA (FMIPA) Institut Pertanian Bogor (IPB), mengatakan, aphelion tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap variasi penurunan suhu di wilayah Indonesia.

“Sebenarnya aphelion merupakan jarak terjauh dari gerakan bumi mengelilingi matahari yang rutin terjadi setiap tahunnya. Di waktu yang bersamaan, Indonesia berada pada musim kemarau,” kata Akhmad, Selasa (10/7).

Penurunan suhu dingin lebih disebabkan oleh kondisi cuaca Indonesia yang sedang berada di puncak musim kemarau di mana posisi matahari berada di belahan bumi utara dan aktifnya monsun Asia.

Pada puncak musim kemarau tersebut, kondisi sebaliknya terjadi di wilayah Australia yang tidak banyak menerima radiasi matahari seintensif bulan Desember, Januari, dan Februari. Sehingga Australia mengalami musim dingin dan menjadi pusat tekanan rendah.

“Dengan melihat prinsip bagaimana angin bergerak, dari tekanan tinggi ke tekanan rendah, Australia yang sedang mengalami musim dingin maka akan menjadi pusat tekanan tinggi, udaranya lebih cenderung kering dan bergerak melewati Indonesia. Hal itu yang banyak mempengaruhi kondisi cuaca di Indonesia saat ini,” terang Akhmad.

Saat ini, radiasi gelombang panjang yang dilepaskan cenderung tidak ditahan atmosfer karena sedikitnya awan dan kondisi cerah, sehingga efek pemanasan berkurang dan suhu menjadi dingin. Berbeda saat musim hujan, ketika banyak awan di atmosfer maka radiasi balik khususnya gelombang panjang tertahan dan dipantulkan balik ke bumi sehingga menyebabkan suhu udara menjadi lebih panas.

Berdasarkan laporan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sendiri, penurunan suhu yang terjadi, sebagai contoh di Bandung, tidak terlalu ekstrem dan masih dalam konteks kondisi yang normal.

“Saya selalu menekankan ketika kita berbicara tentang kejadian cuaca dan iklim dan ingin melihat pengaruhnya karena apa, maka kita harus melihat time scale-nya. Jadi ketika bicara tentang kondisi harian yang tiba-tiba berubah dingin dan dikaitkan dengan fenomena aphelion yang siklusnya tahunan dengan siklus kejadian yang lebih lambat sehingga menjadi tidak relevan ketika dikaitkan dengan kondisi meteorologi yang perubahannya cepat,” imbuhnya.

Selain suhu udara yang menjadi lebih dingin, pengaruh monsun Asia ini juga menyebabkan terjadinya pembekuan embun di beberapa wilayah dataran tinggi salah satunya Dataran Tinggi Dieng. Banyak warga menyebutnya dengan salju, namun sebenarnya itu bukan salju hanya frost (re : embun beku) saja.

Embun beku terjadi karena adanya aliran udara dingin di permukaan yang dingin menyebabkan terjadinya kondensasi di lapisan permukaan sehingga membeku akibat suhu udara berada di bawah frost point. Proses pembekuannya dapat terjadi langsung melalui perubahan fase dari uap air menjadi embun beku.

Pada bidang petanian, embun beku cukup merugikan bagi petani karena dapat menyebabkan rusaknya tanaman dan gagal panen.

“Pada hal ini modifikasi iklim mikro sangat perlu diperhatikan. Bicara iklim mikro, karakter wilayah dan karakter lokal perlu diperhatikan sehingga bentuk-bentuk modifikasi iklim mikro dan teknologi-teknologi yang tepat untuk mengatasi masalah tersebut dapat dipilih,” pungkasnya. (R/R09/RI-1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Risma Tri Utami

Editor: Rudi Hendrik

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.