GOLONGAN PEMAKAN MAYAT

Ghibah

GhibahOleh: Rudi Hendrik, wartawan Mi’raj Islamic News Agency (MINA).

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ ۚ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

 

 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) itu lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan janganlah wanita-wanita mengolok-olok wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olok) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim.” (QS Al-Hujurat [49] ayat 11).

Tak bisa dihindari dan tak dipungkiri, sunnatullah, perpecahan yang Allah Subhana Wa Ta’ala takdirkan dalam umat Islam terfakta jelas di depan mata. Dalam “kamus” perpecahan, semboyan “ di luar golonganku (manhajku) adalah sesat”, akan selalu ada.

Setiap golongan memiliki “data sesat” golongan lain, baik itu data sesat yang benar adanya  maupun data sesat yang berdasarkan prasangka semata. Merasa benar sendiri atau paling benar, adalah salah satu watak utama dari perpecahan. Dan apa yang ada dalam golongannya adalah benar, dan apa yang dianggap benar akan dibangga-banggakannya.

مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا ۖ كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ

 

 
“Yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (QS Ar-Ruum [30] ayat 32).

Ada yang begitu bangga dengan simpatisan dan benderanya, ada yang begitu bangga dengan jaringan internasionalnya, ada yang begitu bangga dengan para kiayi-nya, begitu bangga dengan tarbiyahnya, begitu bangga dengan dzikirnya, dengan sedekahnya, dengan jihadnya, dengan manhajnya, dengan khilafahnya, dan banyak lagi yang patut dibanggakan.

Namun adalah kesalahan fatal jika perpecahan itu lantas membuat satu golongan Muslim menghalalkan darah dan kehormatan golongan Muslim yang lain.

Semua mengaku hanya Allah Rabb-nya, Muhammad Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam sebagai suri teladan terbaik, berpedoman Al-Qur’an dan As-Sunnah, mereka shalat, puasa, zakat dan haji. Dan semuanya mengaku Ahli Sunnah wal Jama’ah.

Kelemahan atau kesalahan suatu golongan, ibarat bangkai di mata golongan lain. Ketika suatu golongan memiliki ke-dhaif-an (kelemahan/kekuarangan) atau melaksanakan sesuatu yang Allah larang, atau ada tokoh/pengikut golongan yang khilaf atau jahil, maka bau busuknya akan cepat menyebar ke golongan-golongan lain. Maka jadilah itu aib busuk sebagai dalih untuk menyatakan kesesatan golongan pelanggar tersebut. Selain dipergunjingkan, “kesesatan” itu juga harus disebarluaskan melalui berbagai media dengan dalih: “menunjukkan kesesatan golongan tersebut agar tidak diikuti”, agar mengikuti golongannya saja dan juga disimpan sebagai modal senjata untuk melemahkan ketika golongan “aku”-nya berdebat dengan golongan yang dianggap sesat itu.

Adalah suatu ironi, ketika secara lisan dan tulisan mengaku berpedoman Al-Qur’an dan As-Sunnah, ber-manhaj Ahli Sunnah wal Jama’ah, tapi di sisi lain dengan alasan mengikuti ijtihad para ulama terdahulu, mereka menghalalkan kehormatan sesama Muslim,  menjadi halal membongkar dosa-dosa dan aib seorang Muslim dari golongan lain, menjadi halal mempergunjingkan, melecehkan dan memaki Muslim dari golongan lain.

Terlihat jelas bahwa golongannya beribadah sesuai contoh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, tapi menjadi salah ketika akhlak tidak mencontoh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Bukannya sibuk memerangi orang-orang kafir,  tapi malah sibuk mengorek aib saudaranya sendiri untuk dilabelkan “sesat, thagut, atau kafir”.

Padahal, setelah perintah tauhid, Allah Subhana wa Ta’ala memerintahkan berakhlak lebih dulu sebelum perintah shalat dan zakat. Sebagaimana firman-Nya:

وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ لَا تَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ إِلَّا قَلِيلًا مِنْكُمْ وَأَنْتُمْ مُعْرِضُونَ

 

 “Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain ALLAH, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil dari pada kamu, dan kamu selalu berpaling.” (QS Al-Baqarah [2] ayat 83).

Dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bukanlah seorang pemaki atau penggunjing. Sabdanya, “Aku tidak suka menceritakan perihal seseorang  meskipun aku beroleh anu dan anu.” (HR Tirmidzi, Abu Dawud, Baihaqi dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, shahih).

Dan sebelum Muhammad Al-Amin diangkat sebagai Nabi dan Rasul, terlebih dahulu akhlak mulia dan terpuji telah tertanam dalam pribadinya.

Apalagi Allah Subhana Wa Ta’ala berfirman:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

 

“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (QS Al-Hujurat [49] ayat 10).

Dan Allah Subhana wa Ta’ala perjelas di firman-Nya yang lain:

فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ ۗ وَنُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

 

“Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudaramu seagama. Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui.” (QS At Taubah [9] ayat 11).


Dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Orang Islam adalah orang yang kaum Muslimin terhindar dari gangguan lidah dan tangannya. Sedangkan orang yang hijrah adalah orang yang meninggalkan segala apa yang dilarang oleh Allah.” (HR Bukhari – Muslim).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alihi Wasallam bersabda, “Setiap orang Islam terhadap orang Islam lainnya itu, haram darahnya, hartanya dan harga dirinya.” (HR Muslim – Tirmidzi).

Fenomena umat masa kini adalah banyaknya mereka tak mampu memelihara akhlak Islam. Ibadah sehari-hari hingga cara berpakaian diupayakan semaksimal mungkin mencontoh Rasulullah Shallallhu ‘Alaihi Wasallam, tapi teramat sedikit yang benar-benar mengharamkan harga diri orang Islam lainnya yang notabene adalah di luar golongannya. Tidak khawatirkah mereka? Yaitu para pencari kesalahan, para penggunjing, para pemaki dan peleceh terhadap sesama Muslim.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ditanya, “Wahai Rasulullah, jika ada seorang wanita melakukan shalat malam, sedang di siang harinya ia berpuasa, tetapi ia menyakiti tentangganya dengan lisannya, bagaimana?” Beliau menjawab, “Tiada kebaikan sedikit pun di dalam (amal perbuatannya) dan ia kelak masuk neraka.” (HR Hakim, Ibnu Hibban, Ahmad dan Al Bazzar).

Bisalah jadi kita mengalami nasib serupa dengan wanita dalam hadits di atas. Apa lagi menggunjing dan mengumpat adalah hal yang sangat busuk. Sebagaimana apa yang dialami oleh Ummul Mu’minin.

‘Aisya radhiyallahu ‘anha telah mengatakan bahwa ia pernah berkata kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Cukuplah pujianmu terhadap Shafiyyah yang anu dan anu.”

Salah seorang perawi menafsirkan bahwa yang dimaksud adalah “wanita yang pendek”. Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Sesungguhnya engkau telah mengucapkan suatu kalimat yang seandainya kalimat itu dimasukkan ke dalam laut, niscaya akan mencemarinya.” (HR Abu Dawud, Tirmadzi dan Baihaqi).

Dan menurut riwayat Abud Dun-ya yang bersumberkan dari ‘Aisyah pula, disebutkan bahwa suatu hari saat ia berada di rumah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, ia mempergunjingkan seorang wanita dengan mengatakan, “Sesungguhnya wanita ini benar-benar kebesaran bajunya.” Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Muntahkanlah! Muntahkanlah!” Ia pun muntah dan mengeluarkan  sepotong daging. (Disebutkan dalam kitab Targhib 4/284).

Dan diriwayatkan dari Jabir radhiyallahu ‘anhu yang telah menceritakan: Ketika kami bersama dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, tiba-tiba terciumlah bau bangkai yang telah membusuk. Lalu Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Tahukah kalian, bau apakah ini? Sesungguhnya ini bau yang berasal dari orang-orang yang suka mengumpat orang lain.”

Dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan: (Ketika Ma’iz dirajam karena mengaku telah berzina) Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mendengar dua orang lelaki yang salah seorangnya mengatakan kepada temannya, “Tidakkah engkau lihat apa yang dilakukan oleh orang ini. Padahal Allah telah menutupi perbuatannya, tetapi dia tidak membiarkan dirinya begitu hingga ia dirajam seperti anjing dirajam.”

Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melanjutkan perjalanannya hingga di tengah jalan beliau melihat bangkai keledai, lalu beliau bersabda, “Di manakah si Anu dan si Fulan? Turunlah kalian berdua dan makanlah bangkai keledai ini!”

Keduanya menjawab, “Wahai Rasulullah, semoga Allah mengampunimu, apakah bangkai ini boleh dimakan?”

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab, “Pergunjingan yang telah kalian lakukan terhadap saudara kalian tadi lebih buruk dari pada makan bangkai keledai ini. Demi Tuhan yang diriku berada dalam genggaman kekuasaan-Nya, sesungguhnya dia (Mi’az) sekarang benar-benar berada di dalam sungai-sungai surga sembari (mandi) menyelaminya.” (Sanad Hadits berpredikat shahih).

Jangan sampai ketidaktawadhu’an kita dan karena rasa benci kita kepada yang tak sejalan dan tak sepaham dengan kita, membuat Allah  menempatkan kita dalam status “fasik”.

Karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Mencaci seorang Islam adalah perbuatan fasik dan membunuhnya adalah perbuatan kufur.” (HR Bukhari – Muslim).

Ada kalanya pencapan “sesat” bagi orang-orang yang menyimpang adalah benar karena memang sesat. Tapi pembahasan kekhalayak ramai adalah bentuk dari gunjing dan ghibah. Namun, tak sedikit pula pengorek-pengorek bangkai aib golongan atau orang lain hanya sekedar berita atau prasangka, tanpa adanya tabayyun lagi dengan yang bersangkutan. Jika prasangka itu benar, jelas masuk ghibah, tapi jika tak benar, berarti fitnah. Sungguh perbuatan ini selain keji dan hina, juga sangat berbahaya. Bisa jadi lahirnya kita ta’at beribadah tapi hakekatnya kita adalah “si fasik”. Karena hanya ALLAH Yang Maha Tahu yang mengetahui seorang hamba itu “beriman” atau “munafiq” atau “fasik” atau musyrik”.

Kebenaran tak hanya milik satu golongan saja. Ada yang lebih tahu tentang dzikir, ada yang lebih tahu tentang amaliah ulama salaf, ada yang lebih mengerti tentang shadaqah, ada yang lebih mengerti tentang tarbiyah, atau lebih tahu tentang khilafah dan sebagainya.

Jika benar-benar merasa orang beriman, maka jauhilah sejauh-jauhnya daerah larangan Allah. Jangan sampai kita termasuk “Golongan Pemakan Mayat”.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

 


“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, sesunguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat [49] ayat 12).

Begitu mulianya akhlak yang Allah ajarkan dalam agama-Nya. Allah menempatkan orang-orang yang tak bisa menyopankan lidahnya dengan derajat yang begitu hina, laksana pemakan mayat saudaranya. Maka itu bertaubatlah, janganlah kita termasuk Golongan Pemakan Mayat.

Dan mari budayakan nasehat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ini:

Dari Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Semua ucapan anak cucu Adam akan merugikan dirinya sendiri dan tidak menguntungkan dia, kecuali amar ma’ruf (memerintahkan kebaikan) dan nahi munkar (melarang kemungkaran) atau dzikir kepada Allah.” (HR Ibnu Majah).

Wallahu ‘alam. (P09/EO2).

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.

Comments: 0