Bangka Belitung, MINA – Salah satu hasil dari Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII memberikan panduan haji di Muzdalifah dan Mina. Salah satunya mengenai mabit di Muzdalifah dengan cara murur.
Ketua SC Komisi Fatwa se-Indonesia VIII Prof KH Asrorun Ni’am Sholeh mengatakan, hal ini merupakan masalah kontemporer. Pelaksanaan mabit di Muzdalifah dengan cara murur itu, yakni melintasi Muzdalifah dengan tetap berada di kendaraan tanpa turun dan menginap.
“Pembahasan ini dilakukan untuk memberi panduan dan sekaligus solusi syariah bagi jamaah haji agar dijadikan pedoman. Pembahasan ini sebagai hasil permohonan Dirjen Haji Kemenag seiring dengan masalah yang dialami dengan bertambahnya jamaah haji dan menyempitnya kawasan Muzdalifah,” kata Prof Ni’am seusai Ijtima Ulama VIII di Ponpes Bahrul Ulum Islamic Center, Bangka Belitung, Kamis (30/5).
Hukum Mabit di Muzdalifah
Baca Juga: Jateng Raih Dua Penghargaan Nasional, Bukti Komitmen di Bidang Kesehatan dan Keamanan Pangan
Prof Ni’am yang juga ketua MUI Bidang Fatwa menyampaikan, hukum mabit di Muzdalifah adalah termasuk wajib haji. Prof Ni’am menambahkan, jamaah haji yang tidak mabit di Muzdalifah wajib membayar Dam, sebagai denda atas kesalahan (Dam isa-ah).
“Mabit di Muzdalifah dilakukan dengan cara melakukan kegiatan berdiam diri di Muzdalifah. Meskipun sesaat saja dalam kurun waktu setelah pertengahan malam tanggal 10 Dzulhijjah,” terangnya.
Lebih lanjut, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menyampaikan, jamaah haji yang mabit di Muzdalifah dengan cara hanya melintas di Muzdalifah dan melanjutkan perjalan Mina tanpa berhenti (murur), adalah sebagaimana berikut:
Pertama, lanjutnya, jika murur (melintas) di Muzdalifah dilakukan selepas tengah malam dengan cara melewati dan berhenti sejenak tanpa turun dari kendaraan di kawasan Muzdalifah, maka mabitnya sah.
Baca Juga: Pakar Timteng: Mayoritas Rakyat Suriah Menginginkan Perubahan
Kedua, tuturnya, jika murur dilakukan sebelum tengah malam dan atau berdiam meninggalkan Muzdalifah sebelum tengah malam, maka mabitnya tidak sah dan wajib membayar Dam.
“Dalam kondisi adanya udzur syar’i, seperti keterlambatan perjalanan dari Arafah menuju Muzdalifah hingga tidak menemui waktu mabit di Muzdalifah, maka ia tidak wajib membayar Dam,” tegasnya.
Rekomendasi
Terkait dengan hal ini, Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII memberikan 4 rekomendasi. Pertama, jamaah haji Indonesia perlu memperhatikan ketentuan manasik haji dalam pelaksanaan ibadah haji agar sesuai dengan ketentuan syariah.
Baca Juga: Festival Harmoni Istiqlal, Menag: Masjid Bisa Jadi Tempat Perkawinan Budaya dan Agama
“Kedua, Kementerian Agama RI sebagai penyelenggaraan ibadah haji wajib menjamin terlaksananya layanan ibadah bagi jamaah haji sesuai dengan ketentuan syariah dengan menjadikan keputusan ini sebagai pedoman,” terangnya.
Ketiga, Pengasuh Pondok Pesantren An-Nahdlah Depok Jawa Barat ini menerangkan, dalam haji ada kebijakan bagi sebagian jamaah haji yang harus melaksanakan mabit di Muzdalifah dengan cara murur tanpa turun dari kendaraan, maka Kementerian Agama RI dan atau penyelenggaraan ibadah haji khusus dapat mengaturnya sesuai dengan shif pergerakan jamaah di Arafaj ke Muzdalifah dan Mina.
“Di mana jamah yang menggunakan sistem murur adalah jamaah haji yang bergerak dari Arafah shift terakhir, dan sekira melintas di Muzdalifah setelah tengah malam,” ujarnya.
Keempat, kata Prof Ni’am, DPR RI harus melakukan pengawasan pelaksanaan manasik haji agar sesuai dengan ketentuan syariah dengan memedomani keputusan ini.
Baca Juga: Industri Farmasi Didorong Daftar Sertifikasi Halal
Mi’raj News Agency (MINA)