Irak Lepas Dari “Daftar Cekal” Imigrasi AS

Oleh: Illa Kartila – Redaktur Senior Miraj Islamic News Agency/MINA

Ada sedikit perbedaan dalam kebijakan keimigrasian terbaru yang diterapkan pemerintahan Donald Trump Maret ini terhadap kaum Muslim dari beberapa negara –  Iran, Libya, Suriah, Somalia, Sudan, dan Yaman – yang dilarang masuk sementara ke wilayah Amerika Serikat (AS), dibanding dengan kebijakan serupa yang ditetapkan Januari lalu.

Presiden AS Donald Trump telah menanda-tangani ketentuan terbaru dalam bentuk perintah eksekutif, mengenai larangan perjalanan bagi masyarakat yang berasal dari enam negara mayoritas muslim itu. Larangan berlaku bagi mereka yang hendak berada di Amerika Serikat selama 90 hari.

Perintah eksekutif baru – termasuk larangan selama 120 hari untuk semua pengungsi – akan diberlakukan mulai 16 Maret guna mengurangi gangguan perjalanan. Soalnya, perintah sebelumnya, yang diblok oleh pengadilan federal, sempat menyebabkan kebingungan di bandara-bandara dan memicu unjuk rasa besar-besaran.

Dalam keputusan baru itu, dihapus dari daftar negara yang dilarang. Padahal, dalam keputusan Trump sebelumnya, Irak masuk kategori negara yang terpengaruh oleh perintah eksekutif  itu. Penghapusan Irak dari daftar tersebut dibuat Trump setelah negara itu menyetujui penambahan ketentuan dalam penerbitan visanya.

“Irak dikeluarkan dari daftar karena pemerintahnya telah berkomitmen meningkatkan keamanan dalam penerbitan visa dan berbagi data serta informasi,” tulis keterangan resmi Gedung Putih  seperti dikutip dari BBC, Selasa (7/3).
Mengingat peran kunci Irak dalam memerangi kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS), Pentagon dan Departemen Luar Negeri AS meminta Gedung Putih agar mengecualikan Irak.

Warga Iran, Libya, Suriah, Somalia, Sudan dan Yaman – yang masuk dalam daftar awal – kembali mendapat larangan masuk ke AS selama 90 hari. Irak dicabut dari daftar sebelumnya – yang diumumkan pada 27 Januari lalu – karena pemerintah Baghdad meningkatkan pemeriksaan visa dan saling berbagi data.

Perintah eksekutif baru juga menetapkan bahwa pengungsi sudah mendapat persetujuan memasuki AS: dengan pembatasan 50.000 jiwa untuk tahun ini. Larangan masuk tanpa batas waktu untuk semua pengungsi asal Suriah dicabut.

Tetapi, pemegang kartu hijau, yang merupakan penduduk tetap Amerika Serikat, dari keenam negara tersebut tidak akan terpengaruh oleh perintah eksekutif baru ini. Berbeda dengan yang sebelumnya, perintah eksekutif baru juga tidak memberi prioritas kepada kelompok agama minoritas.

Trump sebelumnya mendapat protes keras dari banyak kalangan, termasuk hakim federal Amerika Serikat, atas kebijakan larangan perjalanan bagi muslim dari sejumlah negara itu. Kritik atas kebijakan Trump ini dilontarkan karena dirasakan tidak adil.

Dalam ketentuan keimigrasian baru itu disebutkan pengungsi hanya bisa masuk setelah disetujui oleh Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat. Warga enam negara itu pun bisa masuk jika sudah disetujui oleh Depdagri AS. Ketentuan harus seizin departemen ini tak berlaku bagi warga yang memiliki kartu kependudukan resmi permanen dari Amerika, atau green card.

Penolakan

Menurut beberapa pejabat pemerintah Trump, tujuan pertama dari peraturan baru adalah mengatasi permasalahan dan hambatan hukum. Tujuannya akan sama, yakni menjaga agar para terduga teroris keluar dari AS sementara pemerintah mengkaji sistem pemeriksaan untuk pengungsi dan pemohon visa dari negara-negara tertentu di dunia.

Namun, Sekretaris Badan Pariwisata Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Thaleb Rifai mengungkapkan, AS telah kehilangan potensi pendapatan sebesar 185 juta dolar (sekitar Rp2,4 triliun) setiap bulannya setelah larangan pertama diterapkan. Negara itu juga akan kehilangan puluhan juta dolar lagi setiap bulan jika kebijakan serupa terus diberlakukan.

Menurut data bulan ini dari perusahaan analisa pariwisata, ForwardKeys, kekuatan minat kunjungan ke AS dalam beberapa bulan mendatang sudah melemah. “Orang-orang tidak akan mau datang ke tempat yang tidak membuat mereka nyaman,” kata Rifai kepada Reuters.

Sejumlah anggota parlemen dari Partai Demokrat juga menilai aturan imigrasi terbaru ini tak berbeda dengan aturan sebelumnya yang menuai protes dari warga hingga dibekukan oleh sejumlah hakim federal.

Kelompok hak-hak sipil AS, Senin (6/3) mengecam Trump karena kembali menanda-tangani peraturan imigrasi yang pernah ditolak sebelumnya, sekalipun peraturan ini sudah direvisi. Sementara kelompok pegiat Amnesty International mengatakan, perintah eksekutif yang baru “tetap menunjukkan rasa benci dan ketakutan yang sama, dengan kemasan berbeda.”

Menurut Amnesty, “tidak ada revisi aturan yang membuat perintah eksekutif ini berbeda – selain bahwa ini merupakan ekspresi fanatisme yang terang-terangan.” Para aktivis mengatakan, peraturan baru tersebut sama dengan “Muslim Ban”, peraturan yang ditanda-tangani pada 27 Januari 2017, yang memicu aksi protes penolakan yang luas di AS.

Para aktivis hak-hak sipil bersumpah untuk memperkarakannya di pengadilan dan berusaha keras agar pengadilan federal bisa menangguhkan peraturan tersebut. Serikat Kebebasan Sipil Amerika (ACLU) – yang berhasil menyampaikan gugatan hukum terhadap perintah eksekutif sebelumnya – mengatakan perintah eksekutif yang direvisi itu “mengandung kesalahan yang sama fatalnya”.

“Pemerintahan Trump mengakui bahwa larangan Muslim salah, tapi mereka justru tetap mempertahankannya,” ujar Omar Jadwat, Direktur Proyek Hak Imigran ACLU.

“Presiden Trump berkomitmen melakukan diskriminasi agama dan dia akan menghadapi tentangan baik dari pengadilan maupun dari rakyat.”

Keith Ellison, Muslim pertama yang masuk sebagai anggota Kongres, menyatakan dalam kicauan di Twitter, “Larangan Muslim Trump kali ini tetap larangan Muslim.”

Ketua Partai Demokrat yang baru terpilih, Tom Perez, juga menuding aturan ini sangat tidak Amerika. “Obsesi Trump dengan diskriminasi agama sangat menjijikkan, tidak Amerika dan berbahaya,” kicau Perez. “Jangan mau dibodohi. Sejak kampanye ia telah berjanji untuk mengabaikan agama tertentu, dan janji ini dia laksanakan.”

Selain dari anggota Kongres, tanggapan juga datang dari Jaksa New York, Eric Schneiderman. Dalam kicauan di Twitter, Schneiderman berjanji akan memantau larangan Muslim ke dua ini dan memastikan, “kami akan melindungi keluarga, institusi serta perekonomian New York.”

Hapus Islam radikal

Menteri Luar Negeri Rex Tillerson, Jaksa Agung Jeff  Sessions dan Menteri Keamanan Dalam Negeri John Kelly menggelar konferensi pers bersama, Senin (6/3), untuk menjelaskan perintah ekskutif baru ini.

Menurut Tillerson, tujuan utama larangan baru ini adalah untuk ‘menghapus peluang bahwa Islam radikal akan melakukan eksploitasi untuk tujuan menghancurkan.’ Sementara Sessions mengatakan bahwa menurut FBI, lebih dari 300 orang yang memasuki AS sebagai pengungsi berada dalam penyelidikan kemungkinan tuntutan terkait terorisme.

Dia juga mengungkapkan, tiga dari negara yang masuk dalam daftar adalah pendukung terorisme dan tiga lainnya kehilangan kendali atas wilyah mereka kaerena kelompok-kelompok militan, seperti ISIS atau al-Qaeda.

Sedangkan John Kelly menyebutkan perjalanan yang tidak diatur dan tidak diperiksa menempatkan keamanan nasional dalam risiko. “Musuh-musuh kami akan mengekslpoitasi kebebasan dan keramahan kami untuk melukai kami.”

Tetapi,  seorang hakim Pengadilan Distrik AS di Hawaii, Derrick Watson membolehkan negara bagian itu untuk mengajukan keberatan terhadap perintah eksekutif hasil revisi Presiden Trump itu. Kantor berita Reuters melaporkan, negara bagian itu t bisa menyampaikan tuntutan tambahan terhadap larangan awal memasuki AS, yang ditandatangani Trump pada 27 Januari 2017.

Hawaii menyatakan larangan yang diperbarui dan ditanda-tangani Trump pada Senin (6/3/2017) itu juga melanggar Undang-undang Dasar AS. Negara Bagian Hawaii pada Rabu meminta pengadilan untuk segera menghentikan perintah baru Trump itu, demikian menurut keterangan jadwal pengadilan yang ditandatangani hakim.

Perintah yang diperbarui tersebut merupakan perubahan serta penganti larangan masuk bagi pihak-pihak dari kalangan beragam. Perintah pertama yang ditanda-tangani pada 27 Januari, telah menyebabkan kekacauan dan protes di berbagai bandar udara serta mendapatkan puluhan tuntutan hukum di seluruh negeri. Kali inipun tetap tak luput dari berbagai protes. (RS1/P1)

Miraj Islamis News Agency/MINA

Wartawan: illa

Editor: Bahron Ansori

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.