ISIS Serang Mambij, Kerja Sama AS-Turki di Suriah Dipertaruhkan

Empat orang (AS) termasuk di antara 19 orang yang tewas pada Rabu, 16 Januari 2019, dalam ledakan bom di kota Manbij, wilayah yang dikendalikan oleh milisi Unit Perlindungan Rakyat (YPG) Kurdi dukungan AS.

Serangan itu diklaim oleh kelompok Islamic State (ISIS) yang oleh Presiden AS Donald Trump baru-baru ini dinyatakan telah kalah.

Serangan bom itu terjadi ketika Washington memulai penarikan militernya dari Suriah, termasuk menandai korban pertama dari AS di negara konflik itu.

Para pengamat mengatakan, serangan bunuh diri ISIS yang mematikan dan menargetkan pasukan AS, menyoroti perlunya kerja sama militer yang lebih erat dengan untuk mengamankan wilayah yang bergolak tersebut.

Namun, para pejabat AS dan Turki dalam perang kata-kata terkait dukungan Washington kepada YPG. Begitupun  apa yang akan terjadi pada daerah-daerah yang dikendalikan oleh YPG di utara Suriah setelah pasukan AS pergi.

Direktur penelitian SETA Foundation di Washington Kilic Kanat mengatakan, serangan terbaru menunjukkan perlunya transformasi dalam “perang melawan terorisme” melalui kerja sama yang lebih baik antara para aktor negara-bangsa. Ia menambahkan, perjuangan itu tidak lagi terkait wilayah.

“Ini menunjukkan bahwa AS dan negara-negara lain harus bergeser dari kontraterorisme berpusat di Suriah yang berpusat pada wilayah pendek, kepada kontraterorisme jangka panjang berbasis intelijen, melalui kerja sama di tingkat negara-bangsa untuk menargetkan pembiayaan terorisme, perdagangan manusia, dan lain sebagainya,” katanya kepada Al Jazeera.

Menurutnya, YPG tidak memiliki instrumen yang diperlukan untuk mengobarkan perang tersebut dalam situasi saat ini, karena perang melawan ISIS bukan lagi perjuangan berbasis wilayah.

Penarikan pasukan AS dari Suriah pada awalnya diharapkan berlangsung cepat, tetapi jadwal telah menjadi ambigu dan beberapa kondisi ditetapkan dalam berpekan-pekan setelah pengumuman Presiden AS, termasuk keselamatan Pasukan Demokratik Suriah (SDF), pasukan anti-ISIS yang dipimpin oleh YPG.

Operasi SDF yang didukung AS memainkan peran penting dalam pengusiran pejuang ISIS dari sebagian besar wilayah yang direbutnya di Suriah dan Irak sejak 2014. Washington telah mempertahankan aliansi dengan SDF selama bertahun-tahun.

Namun, pemerintah Turki menganggap YPG dan sayap politiknya, Partai Persatuan Demokratik (PYD) Kurdi, adalah “kelompok teroris” yang memiliki hubungan dengan Partai Pekerja Kurdistan (PKK).

PKK bersenjata telah melancarkan perang di Turki sejak 1980-an dalam upaya permintaan untuk otonomi.

Permintaan AS untuk keselamatan pejuang SDF telah menjadi sumber ketegangan antara kedua sekutu NATO tersebut, yang menyebabkan Trump mengancam Ankara dengan kehancuran ekonomi jika para pejuang SDF terancam.

Kesepakatan Manbij

Ketegangan lain antara sekutu adalah rencana Turki tentang Manbij, yang pemerintah Ankara katakan terhenti oleh Washington.

Ankara telah lama menuntut para pejuang SDF pindah ke timur Sungai Efrat di Suriah dan menyerahkan kendali kota Manbij kepada tentara Turki dan pasukan oposisi yang didukung Turki.

Ankara mengancam akan melakukan operasi militer di wilayah itu dan mengatakan, kesepakatan telah dicapai dengan AS untuk penarikan SDF tahun lalu, tetapi Washington masih belum memenuhinya.

Turki telah meluncurkan dua operasi militer di Suriah utara selama tiga tahun terakhir yang menargetkan YPG dan ISIS.

“Perjanjian Manbij belum dilakukan oleh Washington. Selain itu, Washington bertindak tidak jelas tentang penarikan, mengubah pernyataan sepanjang waktu. Hal-hal ini mengecewakan Turki dan membuat para pejabat meragukan Washington,” kata Muhittin Ataman, seorang profesor di Universitas Ankara Turki.

Menurutnya, semua ketidakpastian itu membuat Turki memandang zona keamanan di Suriah dengan kecurigaan. Ia mengatakan, baru-baru ini menunjukkan ketidakmampuan YPG.

“Washington harus menghormati dan mengambil tindakan tentang sensitivitas Turki jika mereka ingin bekerja sama dengan Ankara mengenai ISIS dan isu-isu yang lebih luas dalam krisis Suriah,” kata Ataman.

Dalam pembicaraan telepon pada pekan awal Januari, Presiden Turki dan AS memutuskan untuk mendirikan zona keamanan di dalam wilayah Suriah di perbatasan dengan Turki.

Presiden Recep Tayyip Erdogan mengatakan, negaranya akan menetapkan zona keamanan 32 km di Suriah utara di sepanjang perbatasan Turki-Suriah, tanpa memberikan rincian lebih lanjut tentang proyek tersebut.

Kanat mengatakan, percakapan telepon baru-baru ini antara Trump dan Erdogan membantu untuk mengatasi kesalahpahaman antara kedua negara.

“Beragam suara di Washington membuat para pejabat di Ankara sulit untuk memahami siapa yang berbicara atas nama Trump atau pemerintah (AS). Jadi, Turki mencoba untuk mengambil posisi dalam masalah bersama, terutama Suriah, dalam percakapan langsung antara Trump dan Erdogan,” katanya. (AT/RI-1/B05)

Sumber: Tulisan Umut Uras di Al Jazeera

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Rudi Hendrik

Editor: Zaenal Muttaqin

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.