Karakteristik Orang Bertaqwa, Kajian Al-Baqarah 1-5

petunjukOleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita Islam MINA (Mi’raj Islamic News Agency), Da’i Pondok Pesantren Al-Fatah Cileungsi, Bogor, Jawa Barat

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

الٓمٓ (١) ذَٲلِكَ ٱلۡڪِتَـٰبُ لَا رَيۡبَ‌ۛ فِيهِ‌ۛ هُدً۬ى لِّلۡمُتَّقِينَ (٢) ٱلَّذِينَ يُؤۡمِنُونَ بِٱلۡغَيۡبِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَمِمَّا رَزَقۡنَـٰهُمۡ يُنفِقُونَ (٣) وَٱلَّذِينَ يُؤۡمِنُونَ بِمَآ أُنزِلَ إِلَيۡكَ وَمَآ أُنزِلَ مِن قَبۡلِكَ وَبِٱلۡأَخِرَةِ هُمۡ يُوقِنُونَ (٤) أُوْلَـٰٓٮِٕكَ عَلَىٰ هُدً۬ى مِّن رَّبِّهِمۡ‌ۖ وَأُوْلَـٰٓٮِٕكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ (٥)

Artinya: “Alif Laam Miim (1); Kitab ini tidak ada yang diragukan, petunjuk bagi mereka yang bertakwa (2); Yaitu mereka yang beriman kepada yang gaib, menegakkan shalat dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan (3); Mereka juga beriman kepada kitab yang Kami turunkan kepadamu dan yang diturunkan sebelum kamu, mereka juga yakin akan datangnya hari Akhirat (4); Mereka itulah yang berada pada petunjuk Allah dan merekalah orang-orang yang berbahagia”. (5) (Q.S. Al-Baqarah [2]: 1-5)

Ayat pertama diawali dengan kalimat “Alif lam mim” (الٓمٓ), adalah huruf abjad yang terletak pada permulaan surat, karena itulah huruf-huruf tersebut dinamakan juga fawatihus-suwar (pembuka surat-surat).

Dalam Al-Quran terdapat beberapa jenis fawatihus-suwar yang berbeda-beda. Di antaranya terdiri dari satu huruf, seperti terdapat pada permulaan surat-surat : SadQaf, Nun (Al-Qalam). Ada juga yang terdiri dari dua huruf, seperti : Ha Mim, Ya Sin, Ta Ha. Ada pula yang tiga huruf yaitu ‘Ain Sin, Qaf. Alif Lam Ra, Ta Sin Mim, termasuk Alim Laf Mim. Ada yang empat huruf: Alif Lam Mim Sad, Alif Lam Mim Ra. Dan lima huruf: Kaf Ha Ya A’in Sad.

Huruf-huruf abjad yang terletak pada permulaan sebagian dari surat-surat Al-Quran seperti itu, di antara ahli-ahli ada yang menyerahkan pengertiannya kepada Allah, karena dipandang termasuk ayat-ayat mutasyaabihaat, dan ada pula yang menafsirkannya.

Golongan yang menafsirkannya ada yang memandangnya sebagai nama surat, dan ada pula yang berpendapat bahwa huruf-huruf abjad itu gunanya untuk menarik perhatian para pendengar, supaya memperhatikan Al-Quran itu, atau untuk mengisyaratkan bahwa Al Quran itu diturunkan dari Allah dalam bahasa Arab yang tersusun dari huruf-huruf abjad.

Ibnu Abbas berpendapat bahwa ketiga huruf itu adalah isyarat kepada tiga nama: Alif untuk nama Allah; Lam untuk Jibril dan Mim untuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Syaikh As Sa’diy berpendapat bahwa yang lebih selamat adalah tidak mencari-cari maksudnya, yang pasti Allah tidaklah menurunkan begitu saja tanpa ada hikmah di balik itu, hanya saja kita tidak mengetahui.

As-Sa’di, pakar tafsir kontemporer menyimpulan, “ Tidak perlu dibahas lebih lanjut karena tidak adanya berita valid dengan menyakinkan bahwa Allah tidak mungkin bergurau dan pasti ada hikmah di balik itu.”

Imam Al-Maraghi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa huruf-huruf tersebut mempunyai makna tanbih (peringatan), untuk membangkitkan perhatian orang, sehingga mudah dipahami apa yang akan disampaikan kepadanya.

Al-Kitab (ٱلۡڪِتَـٰبُ), adalah bentuk masdar, dengan arti al-Maktub (yang tertulis). Ini merupakan isim isyarah (kata petunjuk). Dzalika (itu), yang biasanya dipergunakan untuk benda, waktu atau hal yang jauh, padahal Kitab yang ditunjuk adalah dekat, mengandung makna pengagungan dan pemuliaan terhadap al-Kitab tersebut adalah suci yang diterima dari Allah.

Dimaksudkan dengan al-Kitab pada ayat tersebut, ialah al-Kitab yang dikenal oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yaitu Al-Quran. Kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya, sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa.

Pada ayat tersebut ditegaskan bahwa tidak diragukan baik tentang diturunkannya dari Allah maupun tentang hidayahnya bagi seluruh manusia, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:

تَنزِيلُ ٱلۡڪِتَـٰبِ لَا رَيۡبَ فِيهِ مِن رَّبِّ ٱلۡعَـٰلَمِينَ

Artinya: “Turunnya Al-Qur’an yang tidak ada keraguan di dalamnya, (adalah) dari Tuhan semesta alam”. (Q.S. As-Sajdah [32]: 2).

Sebagai bukti bahwa al-Qur’an adalah wahyu Allah maka tidak dapat ditandingi oleh siapapun hingga sekarang. Allah menegaskan di dalam ayat:

 وَإِن ڪُنتُمۡ فِى رَيۡبٍ۬ مِّمَّا نَزَّلۡنَا عَلَىٰ عَبۡدِنَا فَأۡتُواْ بِسُورَةٍ۬ مِّن مِّثۡلِهِۦ وَٱدۡعُواْ شُهَدَآءَكُم مِّن دُونِ ٱللَّهِ إِن كُنتُمۡ صَـٰدِقِينَ

Artinya: “Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar”. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 23).

Inilah dia kitab Allah yaitu Al-Qur’an, yang meskipun ketika ayat ini diturunkan belum merupakan sebuah naskah atau mushhaf berupa buku/kitab. Namun setiap ayat dan Surat yang turun sudah mulai beredar dan sudah mulai dihapal oleh sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Itu semua  tidak usah diragukan lagi, karena tidak ada yang patut diragukan. Dia benar-benar wahyu dari Allah, dibawa oleh Malaikat Jibril, bukan dikarang oleh Rasul yang tidak pandai menulis dan membaca itu.

Syaikh Rasyid Ridha menjelaskan, bahwa ketinggian Al-Qur’an, bahasanya, tata bahasanya, maknanya, ilmunya, dan pengaruhnya terhadap jiwa orang yang beriman serta hidayahnya, tidaklah mungkin diragukan.

هُدً۬ى لِّلۡمُتَّقِينَ

“petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”.

Petunjuk atau hidayah adalah bimbingan Allah kepada manusia ke jalan yang lurus. Petunjuk, yakni bahwa Al-Qur’an merupakan petunjuk terhadap semua maslahat di dunia dan akhirat. Al-Quran merupakan pembimbing manusia dalam masalah ushul (pokok seperti keyakinan) maupun furu’ (cabang), menerangkan yang hak dan menerangkan kepada mereka jalan yang dapat memberikan manfaat di dunia dan akhirat.

Mufassir Rasyid Rida berpendapat mengapa pada ayat tersebut disebutkan al-Kitab, padahal wahyu Allah belum diturunkan secara keseluruhan? Bahwa yang demikian itu untuk memberikan isyarat bahwa Allah akan memenuhi janjinya untuk menyempurnakan Al-Kitab.

Al-Maraghi menggambarkan, bahwa cara menjaga diri dari siksaan duniawi, adalah harus menguasai ilmu tentang sunnah Allah, yaitu aturan-aturan Allah yang telah ditetapkan untuk mengatur alam ini, yang oleh para ahli disebut hukum alam. Misalnya, api itu mempunyai daya pembakar, matahari memancar sinar, dan sebagainya. Maka orang yang mengetahui bahwa api itu berbahaya, pasti ia akan berhati-hati terhadap api. Jika ia mengetahui bahwa dalam peperangan harus mempersiapkan kekuatan, maka ia harus mempersiapkan mesin-mesin perang, di samping harus memasang siasat dan strategi perang.

Demikian pula untuk menjaga siksaan di akhirat, kita harus beriman, bertaqwa, bertawakkal, bertauhid, beramal salih, serta membersihkan diri dari segala macam kemusyrikan dan kemaksiatan.

Dalam takwa itulah terkandung cinta, kasih sayang, harap, cemas, tawakal, ridha, sabar dan sebagainya. Takwa adalah pelaksanaan dari iman dan amal shalih.

Adapun cirri-ciri atau orang-orang yang bertaqwa itu adalah:

  1. Beriman kepada yang ghaib

ٱلَّذِينَ يُؤۡمِنُونَ بِٱلۡغَيۡبِ

“mereka yang beriman kepada yang gaib”.

Beriman kepada yang ghaib yaitu meyakini adanya wujud di luar jangkauan indera. Orang yang mempunyai keyakinan seperti itu, akan mudah baginya membenarkan adanya Pencipta alam semesta. Dan apabila Rasul menjelaskan adanya alam yang hanya diketahui oleh Allah, seperti, Malaikat atau Hari Akhir, maka tidaklah sulit baginya membenarkannya, karena telah meyakini kebenaran Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Yang ghaib, ialah yang tidak dapat disaksikan oleh pancaindera, tidak nampak oleh mata, tidak terdengar oleh telinga, yaitu dua indera yang utama dari kelima (panca) indera kita. Tetapi dia dapat dirasa adanya oleh akal dan iman dalam jiwa. Maka yang pertama sekali ialah percaya kepada Allah, zat yang menciptakan sekalian alam, kemudian itu percaya akan adanya hari kemudian, yaitu kehidupan kekal yang sesudah dibangkitkan dari maut.

Imam Al-Maraghi  menyebutkan, orang yang tidak meyakini adanya wujud yang berada di luar jangkauan indera, sulitlah baginya meyakini adanya adanya Pencipta alam semesta, dan amat kecil kemungkinannya menemukan jalan untuk mengajaknya kepada kebenaran.

Iman artinya kepercayaan atau keyakinan yang teguh disertai dengan ketundukan dan penyerahan jiwa, atau pengakuan di hati yang membuahkan ketundukkan di lisan (dengan iqrar) dan pada anggota badan. Tanda-tanda adanya iman ialah mengerjakan apa yang dikehendaki oleh iman itu.

Demikian pula kita mengikuti teladan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Pdahal kita tidak melihat wajah beliau. Bagi kita beliau adalah ghaib. Kita hanya mendengar berita dan sejarah beliau atau bekas-bekas tempat beliau hidup di Mekkah dan Madinah. Namun bagi orang yang beriman, demikian cintanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, sehingga dia merasa seakan-akan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam itu tetap hidup ketika misalnya berziarah ke makam beliau setelah atau sebelum umrah. Bahkan kadang-kadang titik air matanya menetes karena terkenang akan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam semasa hidup.

Lalu ingin menjadi umatnya yang baik dan patuh, ingin mengerjakan sunnahnya dan memberikan segenap hidup untuk melanjutkan risalahnya. Maka orang beginipun termasuk orang yang mendalam keimanannya kepada yang ghaib.

  1. Mendirikan salat

وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ

“dan menegakkan shalat”

Dalam bahasa Arab, ash-shalah, berarti juga ad-dua’ (berdoa). Berdoa kepada Allah, baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan atau dengan keduanya, memberikan pengertian bahwa orang yang berdoa mempunyai keperluan kepada-Nya sebagai rasa syukur terhadap kenikmatan yang telah dikaruniakan kepadanya atau sebagai permohonan agar terhindar dari bencana.

Shalat yang dilakukan menurut cara yang telah disyariatkan oleh Islam, merupakan cara yang paling baik untuk mengungkapkan rasa keagungan Allah dan kebutuhan yang amat besar kepada-Nya, jika dilakukan sesuai dengan cara yang telah ditetapkan, yaitu dilakukan dengan khusyu’ (merendah) dan khudu’ (merunduk), jika dilakukan tanpa khusyu’ dan tanpa khudu’, maka salat tersebut kosong dari ruh, sekalipun bentuk dan caranya sama, telah memenuhi rukun dan syaratnya.

Al-Maraghi menjelaskan, pada ayat dipergunakan istilah yuqimuna-sholah (mendirikan salat), mengandung pengertian bahwa salat harus dilakukan dengan sempurna, tanpa kekurangan apapun, seperti mendirikan batang kayu dengan tegak lurus, tidak condong sedikitpun.

Maka ketika mendirikan shalat harus menghadirkan hati dalam semua bagian-bagiannya, ketika berdiri, ruku, sujud, dan duduk, dan disertai rasa takut kepada azab-Nya serta berusaha mendekatkan diri kepada-Nya, Allah pencipta alam semesta, seakan-akan melihat-Nya, sekalipun tidak dapat melihat-Nya.

Di dalam hadits disebutkan:

أَنْ تَعْبُدَ اللّهَ كَانَّك تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ

Artinya: “Hendaklah menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, sekalipun kamu tidak dapat melihat-Nya, tetapi Allah melihatmu”. (H.R. Bukhari).

Maka menegakkan atau mendirikan shalat harus memenuhi dua unsur: unsur ruh salat yaitu khusyu’ dan khudu’, dengan menghadirkan hati dalam semua geraknya, dan unsur tubuh shalat, yaitu: berdiri, ruku’, sujud dan duduk dengan sempurna.

Di samping itu, Allah juga memerintahkan agar dilakukan secara terus-menerus, tidak ditinggalkannya, sebagaimana ditegaskan dengan firman-Nya:

 ٱلَّذِينَ هُمۡ عَلَىٰ صَلَاتِہِمۡ دَآٮِٕمُونَ

Artinya:Mereka yang tetap mengerjakan shalatnya(Q.S. Al-Ma’arij [70]: 23).

Juga Allah memerintahkan agar dilakukan tepat waktu:

 إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ كَانَتۡ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ كِتَـٰبً۬ا مَّوۡقُوتً۬ا

Artinya:Sesungguhnya salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”. (Q.S. An-Nisa [4]: 103).

Bahkan Allah memerintahkan agar selalu dilakukan secara berjama’ah (khusus untuk Muslimin), sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:

 وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱرۡكَعُواْ مَعَ ٱلرَّٲكِعِينَ

Artinya:Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku”. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 43).

Demikian halnya, menegakkan shalat yang sempurna adalah yang mampu menjaga seseorang dari perbuatan keji dan mungkar, sebagaimana diungkapkan dalam firman-Nya:

إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنۡهَىٰ عَنِ ٱلۡفَحۡشَآءِ وَٱلۡمُنكَرِ‌ۗ

Artinya:Sesungguhnya shalat itu mencegah (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar”. (Q.S. Al-Ankabut [29] 45).

Karena itu, boleh jadi mereka sudah melakukan shalat, tetapi mengapa akhlqnya masih maksiat dan mungkar? Maka kemungkinan besar mereka tidak melakukannya sesuai dengan petunjuk Allah. Karena itulah Allah mengancam orang-orang yang shalat tapi lalai dari makina shalatnya itu, dengan ancaman yang sangat menakutkan, seperti ditegaskan dalam firman-Nya:

فَوَيۡلٌ۬ لِّلۡمُصَلِّينَ (٤) ٱلَّذِينَ هُمۡ عَن صَلَاتِہِمۡ سَاهُونَ (٥ ٱلَّذِينَ هُمۡ يُرَآءُونَ (٦) وَيَمۡنَعُونَ ٱلۡمَاعُونَ (٧

Artinya:Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang yang berguna”. (Q.S. Al-Ma’un [107]: 4-7).

  1. Memberikan Infaq

وَمِمَّا رَزَقۡنَـٰهُمۡ يُنفِقُونَ

“dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan”.

Rasyid Ridha menyebutkan, huruf mim yang terdapat pada kalimat min ma razaqnahum, mengandung makna ba’diyah (sebagian). Maka nafkah yang diperintahkan untuk dikeluarkan hanyalah sebagian harta yang dimiliki, tidak semuanya. Yang demikian itu dimaksudkan agar pemberian nafkah itu dilakukan dengan ikhlas, hanya mencari keridaan Allah semata dan karena bersyukur kepada Allah, bukan karena riya’ (pamer) atau mencari popularitas.

Mengeluarkan infak atau zakat memang belum mendapat perhatian dari kaum Muslimin. Padahal apabila infaq atau sadaqah bisa dikelola dengan baik, insya Allah dapat mengurangi jumlah kemiskinan, sebab jumlah orang muslim yang tergolong mampu di Indonesia tidak sedikit. Namun mereka masih merasa berat mengeluarkan infak, padahal sebagian harta mereka adalah milik orang-orang miskin. Sebagian besar kaum muslimin, sangat ringan mengerjakan shalat, puasa, bahkan menunaikan ibadah haji, yang biayanya sangat besar. Tetapi apabila diajak untuk menginfaqkan sebagian rezekinya di jalan Allah, misalnya untuk membantu anak yatim, orang miskin, atau kemaslahatan umum lainnya, mereka merasa sangat berat.

  1. Beriman kepada Kitab-kitab Allah

وَٱلَّذِينَ يُؤۡمِنُونَ بِمَآ أُنزِلَ إِلَيۡكَ وَمَآ أُنزِلَ مِن قَبۡلِكَ

“Mereka juga beriman kepada kitab yang Kami turunkan kepadamu dan yang diturunkan sebelum kamu”.

Menurut Al-Maraghi, yang dimaksudkan dengan “Bima unzila ilaika”, ialah Al-Qur’an dan penjelasan-penjelasan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Sebab penjelasan dari Nabi juga berdasarkan wahyu, sekalipun tidak termasuk Al-Qur’an. Berdasarkan firman Allah :

 وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلۡهَوَىٰٓ (٣) إِنۡ هُوَ إِلَّا وَحۡىٌ۬ يُوحَىٰ (٤

Artinya:Dan ia tidak berkata menurut keinginan hawa nafsunya. (perkataannya) tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”. (Q.S. An-Najm [53]: 3-4).

Rasyid Ridha menambahkan, beriman kepada Al-Qur’an harus secara rinci, meliputi semua bagian-bagiannya. Sedang beriman kepada kitab sebelumnya, seperti Taurat, Injil dan Zabur sebagainya cukup secara garis besar.

  1. Yakin akan adanya Hari Akhir

وَبِٱلۡأَخِرَةِ هُمۡ يُوقِنُونَ

“mereka juga yakin akan datangnya hari Akhirat”.

Yakin ialah pembenaran dengan pasti yang tidak bercampur dengan keraguan sedikit pun. Maka meyakini adanya kehidupan di Hari Akhir berarti membenarkan dengan pasti adanya surga, neraka, balasan dan sebagainya yang terjadi di hari Akhir kelak.

Jika seseorang masih melakukan atau melanggar larangan-larangan Allah, seperti minum khamr, berzina, mencuri, korupsi, menipu, dan melakukan kejahatan-kejahatan lainnya, maka imannya dan keyakinannya akan adanya Hari Akhir hanyalah khayalan belaka, sebab tidak ada pengaruhnya sama sekali terhadap jiwa dan perilakunya.

Jika orang-orang beriman sudah melaksanakan itu semua, maka mereka berhak memperoleh hidayah dan keberuntungan, yaitu selamat dari siksaan di akhirat, dan dimasukkan ke surga yang dipersiapkan bagi orang-orang yang beriman.

Allah melanjutkan dengan ayat:

أُوْلَـٰٓٮِٕكَ عَلَىٰ هُدً۬ى مِّن رَّبِّهِمۡ‌ۖ وَأُوْلَـٰٓٮِٕكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ

Artinya: “Mereka itulah yang berada pada petunjuk Allah dan merekalah orang-orang yang berbahagia”. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 1-5).

Semoga kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang bertaqwa, sehingga selalu mendapat hidayah, ridha dan ampunan Allah. Aamiin. (P4/P2)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Wartawan: Ali Farkhan Tsani

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.