MENUNGGU SOLIDARITAS PEMIMPIN DUNIA SETELAH TIGA MUSLIM AS DITEMBAK

Para korban penembakan, dari kiri ke kanan: Deah Shaddy Barakat, 23, istrinya Yusor Mohammad, dan adiknya, Razan Mohammad Abu-Salha.
Para korban penembakan, dari kiri ke kanan: Deah Shaddy Barakat, 23, istrinya Yusor Mohammad, dan adiknya, Razan Mohammad Abu-Salha.

Oleh: Rendy Setiawan, Journalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Dunia kembali dikejutkan dengan penembakkan tiga mahasiswa Muslim Amerika dalam sebuah insiden di negara bagian setelah sebelumnya telah terjadi peristiwa tragis di .

Insiden penembakan itu terjadi di sebuah apartemen di dekat kampus Universitas North Carolina di Chapel Hill, Selasa (10/2). Para korban adalah Deah Shaddy Barakat, istrinya Yusor Mohammad Abu-Salha, dan adiknya Razan Mohammad Abu-Salha. Deah Shaddy Barakat (23) adalah Mahasiswa kedokteran gigi di universitas tersebut.

Pelaku penembakan bernama Craig Stephen Hicks (46), menyerahkan diri ke polisi beberapa saat setelah insiden terjadi, namun belum jelas motif pembunuhan. Sebuah sumber menyatakan, Craig Stephen Hicks merupakan pendukung atheisme. Tersangka ditahan di penjara Durham County. Ia dijerat dengan pasal tuduhan pembunuhan.

11-2-15_Media-Lost-Between-Charlie-Hebdo-Chapel-Hill1-300x264
(Photo: On Islam)

Dunia Bungkam

Tidak ada kecaman, tidak ada pawai, tidak ada kemarahan, tidak ada bela sungkawa, tidak ada solidaritas dari pemimpin dunia terkait peristiwa penembakkan itu, dunia telah membisu.

Sebagian pengguna media sosial juga mempertanyakan keberadaan media massa yang sesungguhnya memiliki fungsi untuk memberikan informasi kepada masyarakat luas. Namun pada realitanya, sedikit sekali media massa yang memberitakan tragedi penembakan itu seperti pemberitaannya terhadap majalah satir beberapa waktu lalu yang banyak dimuat media massa.

Brutalnya gaya eksekusi pembunuhan tiga warga Muslim Amerika di lingkungan yang tenang di North Carolina itu tidak dibarengi dengan pemimpin dunia, minimalnya turut berbela sungkawa atas tragedi tersebut. Hal itu justru telah memicu reaksi kemarahan di media sosial.

“Jika para korban adalah seorang Kristen, maka media akan di atasnya. RIP #ChapelHillShooting,” tulis Ben Norton di twitter pada Rabu (11/2) pagi.

“Saya ingin melihat protes, saya ingin melihat liputan berita, saya ingin melihat pawai, saya ingin melihat kemarahan yang sama seperti diungkapkan ketika terjadi peristiwa penyerangan Perancis. #ChapelHillShooting,” tulis Adham di twitternya.

“Peristiwa #ChapelHillShooting berlangsung lebih dari sembilan jam yang lalu. Masih adakah liputan dari CNN, Fox News, MSNBC dan media utama lainnya,” tulis pengguna lainnya, Khaled Bey.

“Ini tiga Mahasiswa Muslim ditembak mati di #ChapelHillShooting hari ini, tapi media AS tidak menunjukkan pemberitaan mereka bahkan sampai sekarang !,” tulis Farhan Khan Virk.

Selain realita tersebut, fakta lainnya merujuk pada kenyataan bahwa agama pelaku penembakan yang menyerahkan diri ke polisi, Craig Stephen Hicks, tidak dipublikasikan. Tetapi berbanding terbalik ketika media internasional berlomba memberitakan agama pelaku penyerangan di Paris. Hal ini justru menjadi sebuah pertanyaan, dimana kenetralan media massa?

Laporan lainnya sebagaimana diberitakan On Islam, media massa internasional, khususnya media Barat hanya menyebut pelaku penembakan di Carolina sebagai tersangka penyerangan dan bukan sebagai pelaku teroris seperti yang mereka beritakan ketika penyerangnya adalah seorang Muslim. Hal itu tentu memiliki maksud untuk menyudutkan umat Islam.

“Mengapa tidak ada ras dan agama pelaku penembakannya yang dirilis? Dia bisa menjadi seorang ekstrimis *inti agama di sini *suapay kita semua tahu. #ChapelHillShooting,” tulis pengguna sosial media lainnya, Nargis mempertanyakan.

Kartunis terkenal asal Amerika Serikat, Carlos Latuff juga mempertanyakan hal yang sama, “Sekarang anda bayangkan jika Craig Hicks adalah seorang Muslim dan telah menembak jatuh tiga pemuda Kristen/Yahudi …#ChapelHillShooting,” tulisnya.

SOLIDARITAS-CHARLIE-HEBDO-300x198Solidaritas Untuk Penghina Nabi

Apa yang terjadi di Paris justru berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di Carolina. Tentu, masih segar di ingatan kita tentang peristiwa Charlie Hebdo di Paris yang telah mengguncang dunia dan seisinya. Betapa tidak? Puluhan media massa berupa cetak maupun elektronik ramai-ramai memberitakan peristiwa tersebut.

Jauh lebih dahsyat dari itu, apabila kita perhatikan, puluhan bahkan ratusan pemimpin dunia baik yang bestatus sebagai muslim maupun non-muslim bersatu padu ikut turun ke jalan untuk  memberikan bela sungkawa memperingati peristiwa itu yang sesungguhnya majalah tersebut telah melukai hati umat Islam karena telah menghina Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melalui puluhan kartun pelecehannya.

Kementerian Dalam Negeri Perancis menyebutkan, jumlah massa pada reli hari itu melebihi jumlah demonstran yang turun ke jalan-jalan Paris ketika pasukan sekutu membebaskan kota dari Nazi saat Perang Dunia II tahun 1945 silam.

Hadir dalam aksi solidaritas itu Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Presiden Palestina Mahmoud Abbas, Presiden Ukraina Petro Poroshenko, Raja Yordania Abdullah II dan Ratu Rania dan tentu Presiden Perancis sendiri.

Selain Presiden Perancis Francois Hollande, para pemimpin dunia lainnya yang hadir di antaranya; Perdana Menteri Inggris David Cameron, Perdana Menteri Turki Ahmet Davutoglu, Perdana Menteri Spanyol Mariano Rajoy, Kanselir Jerman Angela Merkel bersama Menteri Luar Negeri Jerman Frank-Walter Steinmeier dan Menteri Energi dan Urusan Ekonomi Sigmar Gabriel.

Aksi hari itu semata-mata untuk menghormati 17 orang yang tewas dalam serangan beberapa hari terakhir di Paris, menyeru persatuan rakyat Perancis khususnya dan masyarakat internasional umumnya pasca serangan untuk mendukung kebebasan berekspresi, dan menggalang dukungan untuk melawan kelompok-kelompok Muslim bersenjata atas nama HAM.

Lalu siapa 17 orang yang tewas di Paris sehingga dunia merasa begitu penting untuk melakukan aksi 11 Januari itu?

Pada Rabu 7 Januari, terjadi penembakan siang hari terhadap kantor majalah satir Charlie Hebdo di Paris. Penembakan brutal oleh tiga orang bersenjata itu menewaskan 12 orang di waktu rapat redaksi berlangsung. Mereka adalah seorang redaktur majalah sekaligus kartunis, tiga kartunis lainnya, dua polisi, dan enam lainnya karyawan dan wartawan.

Penyerang diidentifikasi bernama Hamyd Mourad (18 tahun), Said Kouachi (34 tahun) dan adiknya Cherif Kouachi (32 tahun). Mourad pada hari itu juga menyerahkan diri kepada polisi, sementara Kouachi bersaudara buron.

Kamis 8 Januari, seorang polisi perempuan 27 tahun, Clarissa Jean-Philipp, dinyatakan tewas oleh penyerang lainnya, Amedy Coulibaly (32), yang merupakan jaringan penyerang Charlie Hebdo yang hari itu masih buron.

Jumat 9 Januari, Coulibaly menyerang supermarket halal Hyper Cacher dekat pemukiman Yahudi, Porte de Vincennes di timur Paris. Pelaku menyandera belasan pelanggan toko. Dia menuntut aparat kepolisian melepaskan Kouachi bersaudara yang saat itu juga terkepung di toko percetakan di desa Dammartin-en-goele, 25km dari Paris.

Akhirnya pasukan keamanan Perancis memutuskan menyerbu masuk melumpuhkan Coulibaly, yang sebelum tewas ditembak, sempat membunuh empat sanderanya yang merupakan warga Yahudi. Jadi total korban tewas adalah 17 orang, terkecuali pelaku serangan.

Lalu, dimana sebenarnya keadilan yang selama ini disuarakan? Untuk siapa sebenarnya keadilan itu? Maka sudah sepantasnya pemimpin dunia untuk berbuat adil, tidak berat sebelah dan tidak memihak kepada siapa ia akan menyuarakan solidaritasnya. Mari kita pahami bersama tentang hal ini. (P011/R03)

 

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

 

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.

Comments: 0