Ketika Warga Palestina Bertahan Hidup di Jabal al-Baba

Seorang lelaki tua duduk di depan rumahnya yang hancur di komunitas Palestina Jabal al-Baba, dengan latar belakang permukiman Israel di Maaleh Adumim (Foto: File)

Al-Quds, MINA – Seorang pria buta warga Palestina tampak duduk termenung di halaman rumahnya, di depan puing-puing bangunan sekitarnya.

Sepertinya perasaannya sedang terbebani oleh kebingungan tentang masa depan yang tidak pasti, tetapi harus dia hadapi dalam waktu dekat ini.

Meskipun ini bukan pertama kalinya, dia tetap khawatir tentang apa yang akan terjadi selanjutnya di daerah tempat tingalnya di Jabal al-Baba, di sebelah timur Yerusalem (Al-Quds). Dan yang membuatnya berbeda kali ini adalah karena seluruh komunitasnya sekarang menghadapi perasaan yang sama. Mereka semua kini hidup di bawah ancaman pembongkaran.

Suleiman Jahaleen (57), dikenal di komunitasnya sebagai Abu Ghassan, ayah dari 10 anak dan merupakan penduduk lama Jabal al-Baba. Ia yang telah mengalami penghancuran rumahnya dua kali di masa lalu oleh pemerintah Israel karena tuduhan pembangunan tanpa izin.

Hingga kini seluruh komunitas dari 57 keluarga atau 300 orang, masih berada di bawah ancaman kehilangan rumah mereka karena alasan yang sama. Namun warga tahu bahwa alasan sebenarnya adalah untuk menyingkirkan mereka dari daerah itu dan menggantinya dengan pemukim Yahudi dalam sebuah proyek yang dikenal sebagai E1.

Selanjutnya Israel berencana membangun besar yang akan terhubung ke pemukiman ilegal Ma’ale Adumim di dekatnya. Tepi Barat yang diduduki menjadi dua dan memotong Yerusalem Timur dari lingkungan Tepi Barat.

Ia mengalami kebutaan sejak usia dini. Orang tuanya awalnya dari Jahaleen, yang pada awal 1948 pindah ke kota Beer Sheba di gurun Naqab, di selatan Israel. Dia tidak dapat bekerja untuk mendukung keluarganya.

Suleiman Jahaleen mengatakan bahwa hampir 80% penduduk Jabal al-Baba, termasuk dia dan keluarganya, bergantung pada penggembalaan dan memelihara ternak sebagai sumber pendapatan utama.

Jahaleen mengatakan, meskipun pemerintah Israel telah dua kali menghancurkan rumahnya, ia tidak pernah menghentikannya untuk memulai lagi membangunnya dari nol. Dirinya dan lainnya berpegang teguh pada tanahnya dan bertahan di komunitasnya dalam rutinitas sehari-hari.

Ia pertama kali membangun rumahnya dan lansgung dibongkar otoritas Israel pada Maret 2014.

“Pada 2014, empat sampai lima rumah dibongkar. Kami kemudian diberi tenda oleh organisasi internasional. Tapi tiga dari lima tenda ini pun dirampas oleh pemukim Israel hanya sehari setelah didirikan,” kata Jahaleen. “Tempat saya juga dirampas,” imbuhnya.

Dia ingat diberi bantuan oleh organisasi internasional untuk membangun rumah lain di daerah yang berbeda dengan tempat dia pertama kali memiliki rumah.

Rumahnya yang kedua ini seluas 50 meter persegi. Dia bekerja keras, menyediakan lebih banyak fasilitas dan semacamnya. Tapi rumah itu tidak bertahan lama, karena dihancurkan lagi oleh Israel pada Januari 2016. Jahaleen bersama keluarganya pun menjadi tunawisma untuk ketiga kalinya.

Tapi keinginannya untuk bertahan hidup tetap kuat bahkan lebih kuat lagi. Segera setelah rumahnya dirobohkan, dia memiliki rumah lain yang dibangunnya kembali, karena dia tidak mungkin tinggal di tempat terbuka bersama dengan 10 anak.

Putra tertua Jahaleen berusia 28 tahun, dan yang termuda adalah 9 tahun. Anak laki-lakinya tidak mendapatkan pendidikan penuh dan tidak dapat menemukan pekerjaan yang tepat dan bagus.

Dia mengatakan bahwa seluruh sumber pendapatan keluarga yang paling utama adalah hasil dari berternak. Sama seperti kebanyakan keluarga yang tinggal di Jabal al-Baba.

Tapi sebenarnya berternak itu bukan hal yang mudah, karena banyak menghadapi kesulitan. Jahaleen mengatakan, makanan ternak dan pakan ternak lainnya mahal untuk dibeli dan hampir tidak cukup untuk memberi makan seluruh dombanya.

Mendapatkan pendidikan juga merupakan kesulitan lain di Jabal al-Baba karena tidak ada sekolah di daerah tersebut. Jadi Orang-orang Badui, biasanya mengirim anak-anak mereka untuk mendapatkan pendidikan ke daerah lain. Anak-anaklharus berjalan jauh ke kota terdekat, al-Izariyeh, yang biasanya memakan banyak waktu.

Ancaman Nyata

Komunitas Badui dan penduduknya di Jabal al-Baba menghadapi ancaman nyata, yakni menghadapi ancaman Israel yang ingin menghapus sepenuhnya.

Israel berencana untuk memperluas permukiman ilegal, dalam proyek yang disebut sebagai rencana E1. Tujuannya untuk memisahkan Yerusalem dari Tepi Barat dan mengisolasi banyak komunitas Palestina, yang akan memisahkan Tepi Barat menjadi dua.

Sampai saat ini, beberapa pejabat Israel, termasuk Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Avigdor Lieberman, telah menyerukan segera penghapusan dan relokasi komunitas Badui di Jabal al-Baba. Hingga puncakrnya, pada 9 November, seluruh warga badui Palestina menerima perintah penggusuran dan diberi tempo delapan hari untuk pergi.

Warga tidak tinggal diam, di depan perintah militer Isrel itu. Mereka bahkan mengajukan keberatan ke pengadilan Israel terhadap perintah tersebut karena Israel melanggar hukum internasional, termasuk Konvensi Jenewa.

Neta Amu Shiv, seorang pengacara independen Israel mengatakan, dia akan mengadukan kasus penggusuran atas nama komunitas Jabal al-Baba ke Pengadilan Tinggi Israel jika pemerintah tetap dalam langkahnya untuk menggusur mereka.

“Kami telah mengajukan keberatan atas perintah militer terhadap masyarakat Jabal al-Baba saat mereka mencoba mengusir penduduknya ke lokasi yang tidak diketahui,” kata Amu Shiv.

“Perintah Israel ini melanggar Konvensi Jenewa dan setiap hukum hak asasi manusia. Jika keberatan kami ditolak, kami akan pergi ke Pengadilan Tinggi Israel,” lanjutnya.

Perdana Menteri Palestina Rami Hamdallah juga telah berbicara keras menentang rencana Israel di Jabal al-Baba, yang menggambarkannya sebagai garis merah.

“Sebagai Perdana Menteri Negara Palestina, izinkan saya mengatakan secara tegas, kami berdiri bersama warga Palestina di Jabal al-Baba, dan juga dengan semua komunitas Palestina lainnya di Tepi Barat. Bahwa Israel berusaha untuk menggantikannya dengan membangun pemukiman ilegal di tempat mereka. Jika pihak berwenang Israel melanjutkan pembongkaran ini, atau dengan pemindahan seluruh komunitas Palestina di ‘Area C’ Tepi Barat, garis merah akan disidangkan,” katanya.

Sementara itu, Jahaleen dan seluruh masyarakatnya sangatlah berharap, adanya intervensi pejabat Palestina dan internasional untuk membantu mereka dapat tetap tinggal di rumah mereka, di mana mereka tinggal selama beberapa dekade. (A/B05/RS2)

Sumber: WAFA.

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.