KH Wahab Chasbullah, Inisiator Halal bihalal di Indonesia

Oleh: Widi Kusnadi, wartawan MINA

merupakan istilah yang digunakan oleh umat Islam di Indonesia dalam melakukan silaturahim, mengekspresikan kebahagiaan dan saling memaafkan antar sesama. Tradisi itu oleh masyarakat Indonesia dilakukan setelah shalat hingga akhir bulan Syawal.

Tidak hanya di kalangan keluarga, teman-teman dan handai taulan, Halal bihalan juga diselenggarakan oleh instansi pemerintah, perusahaan, ormas, termasuk  lembaga pendidikan. Kegiatan yang telah menjadi tradisi tahunan itu telah mengakar kuat, bahkan kalangan non-Islam pun tidak mau ketinggalan memeriahkan.

Perlu kita ketahui, kapan pertama kali umat Islam Indonesia menjalankan tradisi itu? Siapa yang pertama kali menginisiasinya dan bagaimana sejarahnya sehingga bisa menjadi tradisi turun-temurun dan menjadi agenda tahunan umat?

Awal Mula Halal bihalal

Ketua PBNU, KH Masdar Farid Mas’udi menceritakan, tradisi Halal bihalal bermula dari gejala-gejala disintegrasi bangsa yang semakin memanas pada 1948, membuat Presiden Soekarno (Bung Karno) memikirkan cara bagaimana mengatasi masalah tersebut. Elite politik yang banyak diharapkan menjadi pemersatu umat, justru saling bertengkar dan tak mau duduk bersama mencari solusi permasalahan bangsa.

Pada pertengahan Ramadhan 1948, Bung Karno memanggil seorang Kiyai, salah satu pendiri Nahdhatul Ulama (NU) yaitu KH . Kedua tokoh itu berdiskusi bagaimana menyatukan putera-putera bangsa yang berada di jurang perpecahan dan kehancuran akibat perbedaan pendangan dan madzhab politik.

KH Wahab menyarankan kepada Bung Karno untuk menggelar acara silaturahim dengan mengundang para elite politik dengan memanfaatkan momentum Idul Fitri. Tetapi Bung Karno merasa kurang cocok dengan penggunaan kata silaturahim untuk mendinginkan suhu politik saat itu.

Menurut Bung Karno, perlu dibuat istilah selain silaturahim agar berkesan di hati para tokoh yang akan diundang. KH Wahab Chasbullah kemudian menjelaskan sebuah alur pemikiran yang menjadi kunci pada penemuan istilah Halal bihalal.

KH Wahab menjelaskan, agar elite politik terlepas dari dosa (haram) akibat saling mencaci, maka di antara mereka harus saling menghalalkan dosa tersebut agar tidak menjadi beban di dunia dan akhirat. Caranya, mereka harus duduk satu meja, berbicara satu sama lain, saling memaafkan, dan saling menghalalkan kesalahan.

Akhirnya, para tokoh dan elit politik kala itu bisa duduk dalam satu meja, sebagai babak baru untuk menyusun kekuatan dan persatuan bangsa. Sejak saat itulah istilah halal bihalal gagasan Kiai Wahab lekat dengan tradisi umat Islam Indonesia pasca-lebaran hingga kini.

Tujuan utama Kiai Wahab untuk menyatukan para tokoh bangsa yang sedang berkonflik itu menuntut para individu yang mempunyai salah dan dosa untuk meminta maaf kepada orang yang pernah disakiti dengan hati dan dada yang lapang.   Begitu pun dengan orang yang dimintai maaf agar secara lapang dada pula memberikan maaf.

Kini, halal bihalal yang dipraktikkan oleh umat Islam Indonesia lebih dari sekadar memaknai silaturahim, tetapi untuk merekatkan Kembali persatuan bangsa, menyatukan Kembali hati-hati yang terkoyak, dan merajut kerja sama anak bangsa untuk menyelesaikan persoalan-persoalan umat.

Dalam konteks kekinian, Halal bihalal juga bisa sebagai ajang lobi, perkenalan, bisnis, hingga kampanye memikat hati masyarakat dengan memberi tausiyah, nasihat dan program-program kerja yang ditawarkan kepada masyarakat.

Profil KH Wahab Chasbullah

Biografi KH Abdul Wahab Hasbullah lahir di Jombang, 31 Maret 1888. Ia adalah seorang ulama yang memiliki pandangan modern.  KH Wahab memulai dakwahnya dengan mendirikan sebuah surat kabar bernama “Soeara Nahdlatul Oelama” atau “Soeara NO” dan “Berita Nahdlatul Ulama”.

Ayahnya bernama KH Hasbulloh Said, pengasuh pesantren Tambakberas, Jombang, Jawa Timur, sedangkan ibunya bernama Nyai Latifah.  KH Abdul Wahab Hasbullah menghabiskan pendidikannya di pondok pesantren. Karena bertumbuh di lingkungan pesantren, KH Abdul Wahab Hasbullah sejak dini sudah banyak menerima ilmu agama dan moral dari sang Ayah.

Ketika dirinya berusia 13 tahun, KH Abdul Wahab Hasbullah mulai merantau untuk memperdalam ilmunya dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Abdul Wahab Hasbullah muda adalah seorang pelopor kebebasan berpikir untuk kalangan umat Islam di Indonesia. Ia menjadi ulama yang menekankan betapa pentingnya sebuah kebebasan dalam keberagaman, terutama kebebasan berpikir dan berpendapat.

Nilai tersebut ia wujudkan dengan mendirikan kelompok diskusi yang bernama Tashwirul Afkar di Surabaya pada 1941.  Dalam waktu singkat, Tashwirul Afkar menjadi lembaga yang sangat populer dan banyak menarik perhatian kalangan pemuda. Kelompok ini tidak hanya menghimpun kaum santi namun juga menjadi ajang komunikasi dan tukar informasi antar tokoh nasional. (A/P2/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Widi Kusnadi

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.