Lima “Tersangka” Serangan Kimia di Suriah (Kedua dari 2 Tulisan)

Perdana Meteri , Bunyamin Netanyahu dan Presiden AS, Donald Trump (Foto: File/Istimewa)

Oleh Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj News Agency (MINA)

Dalam tulisan pertama (Lima Tersangka Serangan Kimia di Suriah) disebutkan bahwa Suriah, Rusia dan Iran sebagai tiga terduga tersangka utama pelaku serangan senjata kimia di Douma, Ghouta Timur, di pinggiran timur Damaskus, ibu kota Suriah.

Tudingan para pekerja kemanusiaan di Douma, kemudian tudingan (AS) dan negara-negara Barat, langsung menyalahkan Pemerintah Suriah dan sekutunya.

Namun, pemerintah ketiga negara sekutu itu telah membantah melakukan serangan kimia yang terjadi pada Sabtu, 7 April.

Lebih 40 warga sipil meninggal dengan kondisi lemas dan tercekik sulit bernapas, banyak di antaranya adalah wanita dan anak-anak. Ada pula yang melaporkan bahwa korban mencapai 80 orang.

Selanjutnya, terduga tersangka utama yang mungkin melakukan serangan kimia adalah Amerika Serikat dan Israel.

Terduga Amerika Serikat

Sebagai penuding utama, Amerika Serikat pun tidak luput dari dugaan sebagai pelaku. Ada istilah “maling teriak maling”. Pihak yang sangat “diuntungkan” dari adanya serangan kimia di Suriah adalah AS.

Sejak awal-awal konflik di Suriah, Presiden AS sudah tidak sabar untuk memasukkan militernya ke dalam konflik.

Sebelum masuk ke Suriah, AS menunggangi isu serangan senjata kimia di Ghouta 27 Agustus 2013. Hampir-hampir saja Presiden Barack Obama kala itu menyerang Suriah, jika Dewan Keamanan PBB tidak mengeluarkan resolusi. Sementara Suriah pun “ikhlas” senjata kimianya dimusnahkan.

Bukan namanya AS jika tidak gatal bila tidak terlibat dalam konflik di negara kaya sumber daya alamnya. Agar tidak mencolok melanggar kedaulatan wilayah Suriah, Obama menggalang aliansi lebih 60 negara-negara dunia. Dengan nama “koalisi anti-ISIS”, jet tempur AS akhirnya bisa leluasa masuk ke wilayah Suriah bersama jet-jet tempur sejumlah negara lainnya, termasuk negara Timur Tengah.

Demi memperkuat pijakannya di Suriah, AS menggalang koalisi dengan kelompok Kurdi dalam memerangi ISIS dan kemudian mengakhiri kejayaan kelompok itu di Suriah.

Ketika terjadi serangan kimia pada 4 April 2017 di daerah oposisi Khan Sheikhun, Idlib, yang menewaskan lebih 80 warga sipil, Pemerintah Suriah kembali dituding sebagai pelaku serangan, tapi dibantah keras oleh Damaskus.

Meski Damaskus membantah, sebagai tanggapan atas serangan kimia itu, AS menembakkan 59 rudal jelajah yang menargetkan pangkalan udara Suriah di Homs.

Serangan itu membuat marah para sekutu Suriah dan menuding AS melakukan agresi.

Leluasanya pesawat tempur AS beroperasi di Suriah, membuat pesawat AS mungkin sampai ke Ghouta untuk melakukan serangan kimia, terlebih hari saat serangan terjadi adalah hari-hari masa tenang yang membuat kesiagaan pertahanan Suriah dan Rusia berkurang.

AS pun sangat mampu melepaskan serangan ke wilayah dekat ibu kota itu, terlebih AS memiliki jenis pesawat siluman antiradar F-117 yang bisa saja digunakan.

Penggunaan senjata kimia dalam perang sudah menjadi mainan militer AS. Sejarah mencatat bahwa AS pernah menyemprotkan 20 juta galon bahan kimia di Perang Vietnam (1962-1971). Dalam perang Iran-Irak, CIA membantu Saddam Hussein membantai rakyat Iran dengan senjata kimia pada tahun 1988.

Ketika AS menginvasi Irak 2004, armada tempur AS menggunakan bom fosfor putih. Masih banyak catatan pasukan AS menggunakan senjata kimia dalam perangnya.

Ketika Rusia memusnahkan sisa senjata kimianya, Presiden Rusia mempertanyakan kapan Washington memusnahkan senjata kimianya.

Pesawat tempur Amerika Serikat menggunakan senjata fosfor putih dalam Perang Irak 2004. (Gambar: AMAG News)

Setiap terdengar bahwa terjadi serangan kimia di Suriah, maka pihak terdepan yang bereaksi adalah Washington. Berulang kali ancaman serangan ke Suriah AS kedepankan. Telunjuk pun selalu kepada Presiden Assad. Seperti orang yang sudah tidak bisa menahan sabar, menyikapi serangan kimia terbaru di Douma, AS yang kini dipimpin oleh Donald Trump siap bertindak cepat.

Kontras dengan sikapnya terhadap kebrutalan militer Israel terhadap sipil Palestina, dengan dalih atas nama “manusia tidak bersalah” yang menjadi korban, AS menyatakan tidak peduli lagi dengan restu Dewan Keamanan PBB. Militer AS akan tetap bertindak meski tanpa dukungan resolusi PBB yang pastinya selalu di veto oleh rivalnya, Rusia.

Kemungkinan bahwa bisa saja AS pelaku serangan kimia diperkuat oleh komentar Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Rusia Maria Zakharova. Dalam unggahan Facebook-nya pada Rabu, 11 April 2018, Maria mengatakan bahwa serangan AS ke Suriah bertujuan merusak bukti serangan kimia yang ada di lapangan.

Ia pun mengatakan bahwa serangan senjata kimia merupakan “provokasi” untuk membenarkan intervensi Barat di Suriah.

Menghancurkan Pemerintahan Bashar Al-Assad adalah impian AS untuk membuat “Tuan Besar” Israel tetap aman dari ancaman.

Padahal status Pemerintah Suriah masih “terduga pelaku” serangan kimia di Douma, tetapi AS sangat berkeras untuk langsung mengeksekusi dengan serangan militer.

Terduga Israel

Hancurnya Suriah membuat Israel menjadi lebih aman. Selama Suriah dipimpin oleh Assad yang bersekutu dengan Iran dan Hizbullah Lebanon, membuat Israel masih harus “ketar-ketir”, karena Iran dan Hizbullan adalah musuh besar.

Isu serangan kimia menjadi dalih ampuh untuk menjatuhkan Assad.

Israel sangat mampu melakukan serangan kimia di Douma. Militer Israel sudah terbukti berulang kali melakukan serangan udara di Suriah.

Pada 7 Desember 2014, Israel menyerang dua wilayah di Damaskus, salah satunya di dekat bandara internasional. Jet tempur Israel juga menyerang di dekat Damaskus pada 22 September 2017 dan 9 Januari 2018 yang menargetkan pangkalan militer.

Serangan terbaru yang disalahkan kepada Israel adalah serangan udara yang menghantam pangkalan udara T-4 pada Senin, 2 April 2018. Meski para pejabat Israel tidak berkomentar, tapi pejabat AS mengungkapkannya.

Yang lebih membuat Israel mungkin melakukan serangan kimia di Douma adalah kemampuan militer Yahudi itu melakukan operasi rahasia di Suriah.

Pada 21 Maret 2018, militer Israel mengaku sebagai pelaku serangan udara terhadap situs yang diduga “reaktor nuklir” di Suriah pada tahun 2007. Serangan itu dilakukan dalam sebuah operasi rahasia yang kemudian dipendam selama 10 tahun oleh militer dan para pejabat Israel.

“Ini adalah pesan kami di tahun 2007, ini tetap menjadi pesan kami hari ini dan akan terus menjadi pesan kami di masa depan yang dekat dan jauh,” kata Kepala Militer Letnan Jenderal Gadi Eizencot saat mengungkapkan “Operation Out of the Box” kepada wartawan.

Menteri Keuangan Israel Moshe Kahlon memuji operasi serangan Israel terhadap reaktor nuklir Suriah tahun 2007.

“Serangan terhadap reaktor Suriah merupakan ekspresi kemampuan militer IDF (Pasukan Pertahanan Israel), yang sekali lagi membuktikan bahwa lengannya yang panjang dapat melakukan misi apa pun,” kata Kahlon.

Penggunaan senjata kimia bagi Israel sudah tidak asing. Dalam tiga perang besar di Gaza, militer Israel tidak ragu menggunakannya. (A/RI-1/RS2)

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Rudi Hendrik

Editor: Rudi Hendrik

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.