Oleh: Bahron Ansori, Wartawan Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Sejatinya, seorang Muslim hidup senantiasa terpimpin dan terarah. Terpimpin artinya siap dipimpin, terarah artinya siap diarahkan. Lalu siapa yang memimpin dan mengarahkan hidup seorang Muslim? Yang memimpin dan mengarahkan hidup seorang Muslim adalah pemimpin. Pemimpin yang bagaimana? Tentu saja pemimpin seperti yang telah Allah sinyalir dalam firman-Nya pada ayat 59 Qur’an surat An Nisa. Dalam surat An Nisa ayat 59 itu Allah memerintahkan kepada setiap orang yang mengaku beriman agar menaati Allah dan Rasul-Nya serta Ulil Amri di antara mereka seraya mengamalkan hidup berjama’ah dengan satu imaamnya. Ulil Amri artinya pemimpin orang-orang beriman.
Allah swt berfirman yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, Rasul dan Ulil Amri di antara kamu…” (Qs. An Nisa ayat 59). Ini adalah ayat Allah. Adakah yang masih meragukan perintah Allah dalam Qs. An Nisa ayat 59 tersebut? Jika ia percaya itu adalah benar perintah Allah, maka seorang Muslim yang lurus akidahnya akan mengamalkannya. Sebaliknya jika tidak mengetahui dan hanya meraba-raba saja, besar kemungkinan ia belum mau mengamalkannya.
Bicara tentang logika hidup berjama’ah, maka kita bisa belajar dari dari umat Kristen yang hidupnya selalu terpimpin dan terarah. Siapa yang memimpin kaum Nasrani itu? Siapa lagi kalau bukan Paus Paulus yang telah ditunjuk sebagai pemimpin kaum Nasrani di seluruh penjuru dunia ini. Jika mereka umat non Muslim saja bisa hidup terpimpin dan terarah, maka bukankah lebih baik jika hal itu diamalkan oleh seorang Muslim?
Baca Juga: Literasi tentang Palestina Muncul dari UIN Jakarta
Memang, hidup terpimpin dibawah kepemimpinan seorang Imaam bagi kebanyakan Muslimin hari ini adalah hal baru, asing dan terkesan aneh bin nyeleneh. Mengapa demikian? Itu akibat kurangnya membaca tarikh (sejarah) bagaimana pola kehidupan di masa Rasulullah saw dan para sahabatnya. Selain itu, adanya hantaman ghazwul fikr (perang pemikiran) yang selalu digencarkan oleh musuh-musuh yang tidak senang jika Islam ini berjaya.
Maka wajar jika sebagian besar Muslimin hari ini ketika diajak, diseru untuk hidup berjama’ah dibawah kepemimpinan seorang Imaam akan menjawab, “Ah, nanti sajalah… Ah, belum saatnya itu…” Ah, ah, ah lainnya. Sebuah penolakan tak berdasar sama sekali. Padahal sekali lagi dalil perintah hidup berjama’ah itu jelas sekali. Belum lagi jika mau merujuk beberapa hadis tentang kewajiban bagi seorang Muslim hidup berjama’ah.
Hidup berjama’ah itu miniaturnya bisa terlihat dari shalat berjama’ah. Perhatikanlah shalat berjama’ah itu; jika imamnya takbiratul ihram, maka makmumnya pun melakukan takbiratul ihram. Jika imamnya rukuk, semua makmum shalat itu rukuk, jika imam sujud, semua makmum shalat berjama’ah itu melakukan sujud pula. Semua itu dilakukan secara tertib dan rapi dari awal shalat hingga akhir. Adakah di antara makmum yang berani menyalahi apa yang dilakukan imam dalam shalat berjama’ah?
Jika ada makmum yang takbir sebelum imam takbir, jika ada makmum yang rukuk sebelum imam rukuk, dan jika ada makmum yang sujud sebelum imam sujud, apakah ia disebut sudah melakukan shalat berjama’ah dengan sempurna? Tentu saja tidak. Dia telah melanggar tata cara shalat berjama’ah dan itu artinya ia telah merusak shalatnya sendiri.
Baca Juga: Perang Mu’tah dan Awal Masuknya Islam ke Suriah
Begitu juga dalam kehidupan seorang Muslim. Semestinya ia hidup terpimpin dan dipimpin oleh seorang Imaam yang siap dengan segala konsekuensinya mempertanggungjawabkan kehidupannya dihadapan Allah swt kelak.
Berjama’ah itu fitrah
Hidup berjama’ah dibawah kepemimpinan seorang Imaam adalah fitrah dalam diri setiap Muslim. Adakah seseorang yang menginginkan hidup menyendiri hanya dengan keluarganya saja tanpa ada bermasyarakat? Hanya kaum individualistis saja yang merasa ‘senang’ dan sombong seolah bisa hidup sendiri tanpa masyarakat. Akibatnya, lihatlah ketika penganut paham individualis itu mati, kadang tetangga sebelahnya pun tak mengetahuinya kecuali setelah berbilang minggu, miris dan menyedihkan bukan?
Itulah mengapa Islam telah mengatur kehidupan seorang Muslim sejak ia akan tidur sampai bagaimana semestinya ia menjalankan kehidupan bersama umat manusia lainnya. Berjama’ah atau bersatu padu dalam ikatan akidah Al Jama’ah adalah fitrah bagi setiap Muslim. Al Jama’ah adalah wadah kesatuan kaum Muslimin. Terlepas apakah ia beda organisasi, itu tak penting. Yang terpenting ialah ia siap hidup terpimpin dibawah kepemimpinan seorang Imaam.
Baca Juga: Selamatkan Palestina, Sebuah Panggilan Kemanusiaan
Al Jama’ah adalah wadah kesatuan umat Muslim. Wadah arti sederhananya adalah tempat. Ya, tempat untuk bersatunya kaum Muslimin. Bersatu dibawah kepemimpinan seorang Imaam dengan tujuan mencari ridha Allah. Mengapa seorang Muslim harus hidup berjama’ah? Karena berjama’ah adalah perintah dari Allah dan Rasul-Nya. Karena hidup berjama’ah adalah perintah Allah, maka tak ada jawaban lain dari seorang Muslim selain ucapan sami’na wa atha’naf “kami dengar dan kami taat”.
Logika hidup berjama’ah, diibaratkan seorang siswa yang dengan semangat setiap hari masuk sekolah dan belajar di dalam kelas. Setiap hari ia belajar, namun selama itu pula ia tidak pernah terdaftar di daftar kehadiran siswa alias absensi. Saat teman-temannya yang lain ikut ujian nasional, ia pun ikut. Tapi, ia tidak pernah mau mengisi daftar hadir. Ia hanya ujian saja. Singkat cerita, saat tiba waktu bagi raport, semua teman-temannya mendapatkan raport. Semua siswa sudah dipanggil dan hanya ia yang belum dipanggil untuk menerima raport.
Mengapa si siswa yang satu itu tidak menerima raport seperti teman-temannya yang lain? Bisa ditebak karena ia tak pernah terdaftar sebagai siswa di kelas itu, meskipun setiap hari ia masuk kelas bahkan mengikuti ujian. Bila itu yang terjadi, tentu hal itu sangat membuat hati si siswa tadi terpukul. Tapi mau bagaimana lagi, para gurunya tak mampu berbuat banyak sebab mereka tidak mengenal siapa siswa tersebut. Karena tak pernah mengisi daftar hadir.
Begitu pula hidup seorang Muslim. Saat nanti Allah swt memanggilnya di padang masyar, maka ia akan melihat semua orang ada bersama para pemimpinnya. Dan Allah akan memanggil umat manusia pada hari itu bersama para pemimpinnya. Lalu, bagaimana dengan orang-orang yang tak mempunyai pemimpin semasa hidupnya? Semua itu kembali kepada Allah. Yang pasti, seorang Muslim jika tidak mempunyai pemimpin dalam hidupnya, maka hal itu persis seperti ilustrasi siswa di atas.
Baca Juga: Malu Kepada Allah
Apakah Anda mau diperlakuka seperti layaknya siswa dalam contoh di atas? Sudah berlelah-lelah masuk sekolah hingga mengikuti ujian, namun sangat disayangkan saat pembagian raport ia tak pernah mendapatkannya. Padahal ia sudah bekerja keras selama ini untuk meraih nilai-nilai terbaik menyaingin teman-teman sekelasnya. Wallahua’lam. (R02/P4)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Palestina Memanggilmu, Mari Bersatu Hapuskan Penjajahan