MAULID DAN NATAL : WAKTU TEPAT MEMPERKUAT KESAMAAN

Masjid dan Gereja berdampingan di Solo, Jawa Tengah.

Oleh : Rifa Arifin, Wartawan Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Dalam dua hari berturut-turut pada pekan ini, dua agama terbesar dunia memperingati hari raya  kelahiran masing-masing “pendiri” mereka, Islam Nabi Muhammad Shalahu alaihi wassalam () dan Kekristenan Yesus Kristus (). Kesamaan ini tentunya adalah peristiwa yang langka, mungkin tidak akan terjadi selama puluhan tahun yang akan datang.

Di , pemerintah secara resmi menyatakan libur nasional di kedua perayaan ini. Indonesia merupakan satu-satunya negara dari kebanyakan negara mayoritas Muslim di mana perayaan Maulid  merupakan libur nasional. Dibandingkan Arab Saudi dan Qatar, dari semua negara-negara mayoritas Muslim lainnya menyatakan Maulid tidak libur, mungkin karena pandangan ulama ada yang menganggap Maulid perayaan sebagai ajaran islam yang tidak sah atau bid’ah (sesat). Selain itu, Indonesia adalah negara mayoritas Muslim yang mengakui Natal sebagai hari libur nasional.

Ini adalah waktu yang penting bagi Muslim dan Kristen untuk memperkuat dialog antar agama – mungkin bisa dimasukkan dalam agenda peringatan. Perdebatan yang pada umumnya selalu bermuara pada diperbolehkan atau tidak mengucapkan “ Merry Chistmas ” sudah mulai menurun, juga pertanyaan tentang “ bolehkah merayakan Maulid ” di antara kaum Islam sendiri kian menurun.

Adapun dialog antar agama, saat yang tepat untuk mengingatkan kaum Muslim dan Kristen pada dokumen A common word between us yang diterbitkan tahun 2007. Awalnya ini adalah surat terbuka untuk Paus katolik, kini telah ditandatangani ulama muslim terkemuka dan intelektual, dapat diakses di (acommonword.com). Dokumen pada dasarnya menyampaikan bahwa ada alasan yang lebih umum untuk perdamaian antara Muslim dan Kristen dari ajaran yang bertentangan.

Di sisi lain, umat Islam yang saat ini menderita radikalisasi, yang mengakibatkan munculnya ISIS semakin mengikis nilai toleransi dan perdamaian antar umat beragama. Indonesia adalah negara multikultural, Bersikap toleran merupakan solusi agar tidak terjadi perpecahan dalam mengamalkan agama. Sikap bertoleransi harus menjadi suatu kesadaran pribadi yang selalu dibiasakan dalam wujud interaksi sosial. Toleransi dalam kehidupan beragama menjadi sangat mutlak adanya dengan eksisnya berbagai agama samawi maupun agama ardli dalam kehidupan umat manusia ini.

Maulid dan Natal

Terlepas dari perdebatan seputar ucapan natal, tulisan ini ingin mengajukan sedikit saran agar perayaan natal tidak dipandang dengan cara yang hitam-putih, benar-salah. Bukankah QS 49:13 menyatakan Tuhan menciptakan manusia dengan berbeda-beda bangsa (syu’uban wa qaba’ila) agar saling mengenal (lita’arafu)? Frase lita’arafu secara gramatikal mengandung makan resiprokal (musyarakah): bukan sekedar ko-eksistensi, melainkan juga pro-eksistensi dan saling memahami. Ada beberapa makna yang justru bisa digali dari perayaan natal ini, yang bisa menjadi salah satu paradigma dalam dialog Islam-Kristen.

Pertama, perayaan pada 25 Desember adalah konsesi ritual-budaya dengan konteks tempat di mana suatu agama hidup. Makna dari konsesi ini adalah, jika agama ingin tersebar luas dan mudah diterima masyarakat, maka pendekatan budaya adalah yang paling efektif dan relatif tak memunculkan kekerasan. Ingat pula, Islam di Indonesia tidak menyebar dengan perang, tetapi dengan adopsi kebudayaan lokal yang diisi dengan spirit Islam. Walisongo adalah “agen budaya” yang sukses melakukan cara ini.

Kedua, dalam ritual, kadang waktu bukan hal yang utama. Yang lebih esensial adalah penghayatan makna dalam ritual itu. Bagi umat Islam, peringatan kelahiran  Nabi Muhammad, misanya, tidak terlalu mementingkan harus pada tanggal 12 Rabiul Awwal. Setiap malam Jumat atau malam lainnya, banyak muslim tradisional yang merayakannya dengan pembacaan kitab-kitab siroh tentang kecintaan pada Nabi Muhammad Shallahu alaihi wassalam. Selain itu, hari lahir Nabi Muhammad tidak didapat kepastiannya dalam kitab-kitab tarikh klasik.

Dengan mementingkan makna ritualnya, justru bisa lebih ditinjau ulang, sejauh mana penghayatan ritual itu kini: adakah terjadi erosi? Di era kapitalisme ini, hampir segala ritual agama menjadi budaya populer yang hampa makna. Natal yang dirayakan dengan hura-hura, misalnya, bukankah itu bertentangan dengan teologi “penderitaan” Yesus? Bagaimana dengan pemaknaan kehadiran ikon atau figur Sinterklas (Santo Nicolaus) yang identik dengan Natal? Bukankah diantara makna kelahiran Yesus sebagaimana ditulis dalam Matius 1:23 adalah “Imanuel” (“Allah” menyertai kita)?

Ketiga, Yesus disebut  lahir dari ruh. Dalam Perjanjian Lama, Dia disebut sebagai ruh bekerja. Dia mencipta sesuatu dari tiada menjadi ada, persis ketika mencipta alam semesta. Ruh itu bekerja dan hasilnya adalah kandungan Maria (Maryam) berupa Yesus.

Konsepsi yang mirip dengan ini dalam Islam adalah Dia pertama kali menciptakan nur muhammad. Konsep ini amat melekat dalam tradisi sufisme. Dari nur muhammad itu, terpancarlah alam semesta ini. Dalam shalawat-shalawat, konsepsi semacam ini kerap disebutkan dalam syair-syair. Bagi Anda yang akrab dengan, misalnya, shalawat sholatun bis-salamil-mubin, ada konsep bahwa Nabi Muhammad adalah nuqthah at-ta’yini: titik penentu yang menjadi muasal alam semesta.

Makna dari dua konsepsi di atas, hemat saya, adalah bahwa Dia memberi rahmat kepada manusia dengan “perantara” yang memanifestasikan ke dunia. Pesan yang dibawa pun tak jauh beda, yakni pembebasan manusia dari belenggu tirani: Romawi dalam kisah Yesus, dan peradaban Jahiliyah dalam kisah Nabi Muhammad. Dalam tataran ini, saya kira Islam dan Kristen membawa pesan yang berada dalam titik temu. Wallahu a’lam. (P013/P4)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.