Mengapa Mohammed bin Salman Ada di AS?

. (Foto: dok. Starsunolded.com)

Semua mata akan tertuju kepada Pangeran Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman pekan ini, saat dia melakukan kunjungan pertamanya ke Amerika Serikat (AS) setelah mengkonsolidasikan pengaruhnya di kerajaan Teluk.

Pemimpin Saudi yang biasa disebut MBS itu, akan bertemu dengan pemimpin politik dan pebisnis di Washington, New York, Silicon Valley dan tempat lain, dalam tur dua pekannya di seluruh AS.

Dia dijadwalkan bertemu Presiden AS Donald Trump hari Selasa, 20 Maret 2018, lalu mengadakan pertemuan lain dengan para pemimpin bisnis di industri teknologi. MBS sebagai Putra Mahkota berusaha berinvestasi di AS untuk mendukung rencana versifikasi ekonomi Saudi.

Namun menurut Nader Hashemi, Direktur Pusat Studi Timur Tengah di Sekolah Studi Internasional Josef Korbel Universitas Denver, tujuan utama dari kunjungan itu adalah memperbaiki citra Arab Saudi di benak publik AS.

“Arab Saudi tahu bahwa dia memiliki masalah citra,” kata Hashemi kepada Al Jazeera.

Dia mengatakan bahwa sebagian besar didasarkan pada pandangan “bahwa Arab Saudi adalah salah satu negara di Timur Tengah yang mempromosikan interpretasi Islam yang sangat konservatif dan otoriter.”

Untuk mengatasinya, MBS mencoba menampilkan dirinya sebagai “angin segar, seorang reformis, sebagai pembebas perempuan, sebagai seseorang yang proreformasi, dan sebagai seseorang yang membawa Arab Saudi ke arah yang berbeda.”

“Arab Saudi dan firma hubungan masyarakat dan sekutunya di Amerika Serikat, telah menghabiskan banyak uang untuk mencoba menghadirkan Pangeran Putra Mahkota Saudi yang baru sebagai bentuk pemimpin politik yang berbeda,” kata Hashemi.

Putra Mahkota menggunakan strategi hubungan masyarakat yang sama dalam kunjungan tiga harinya ke Inggris, saat ia bertemu dengan pejabat senior Inggris, termasuk Perdana Menteri Theresa May, serta berbagai pemimpin bisnis dan pertahanan Inggris.

Pemerintah Saudi juga meluncurkan kampanye hubungan masyarakat sebelum kunjungan tersebut, memasang iklan di surat kabar Inggris dan di papan reklame.

Dorongan media juga sedang berlangsung di AS. Program CBS News’ 60 Minutes menayangkan wawancara eksklusif dengan bin Salman pada 18 Maret, malam sebelum kunjungannya ke Washington secara resmi dimulai.

Tapi seperti di Inggris, kunjungan MBS tersebut juga dijadwalkan akan disambut oleh pemrotes. Demonstrasi direncanakan diadakan di kota-kota seperti Boston dan Washington, DC.

Krisis GCC

Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman bersama Menteri Pertahanan AS James Mattis di Pentagon, Washington, 16 Maret 2017. (DOD photo by Sgt. Amber I. Smith)

Bin Salman diangkat sebagai Putra Mahkota pada bulan Juni 2017. Sejak saat itu dia berusaha memasarkan dirinya sebagai seorang reformis yang akan memodernisasi masyarakat Arab Saudi.

Dia telah dituduh membungkam berbagai suara berbeda di negaranya dan membuat keputusan yang terburu-buru dengan implikasi geopolitik yang luas.

MBS adalah kekuatan pendorong di balik sebuah kampanye militer yang dipimpin oleh Arab Saudi di Yaman, dengan tujuan untuk membasmi pemberontak Houthi. Lebih dari 10.000 orang Yaman telah terbunuh sejak pertempuran dimulai tiga tahun lalu hingga pekan ini.

Dia juga baru-baru ini menahan para menteri senior dan pejabat Saudi lainnya di hotel Ritz Carlton di Riyadh selama beberapa bulan, dalam apa yang disebut “penyelidikan terhadap korupsi”.

Kelompok hak asasi manusia menuduh pihak berwenang Saudi memperlakukan para tahanan dengan buruk. Mereka mengatakan bahwa taktik Riyadh untuk mengatasi korupsi “lebih terlihat seperti pemerasan” dan “membuat ejekan terhadap aturan hukum”.

Di bawah kepemimpinan bin Salman, Arab Saudi bersama dengan Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain dan Mesir, juga memutuskan hubungan diplomatik dan perdagangan dengan Qatar pada Juni 2017, yang mengakibatkan krisis politik di Dewan Kerja Sama Teluk (GCC).

Negara-negara yang memblokade menuduh pemerintah Qatar mendukung “terorisme” dan mencampuri urusan dalam negeri mereka. Namun, Pemerintah Doha membantah tuduhan tersebut, dengan mengatakan bahwa “tidak ada pembenaran yang sah” atas blokade tersebut.

Politik dan bisnis

AS telah mempertahankan hubungan yang kuat dengan Arab Saudi selama beberapa dekade, bekerja sama dalam berbagai isu militer, politik dan ekonomi. Hubungan tersebut semakin dalam selama kepresidenan Trump.

Trump juga melakukan perjalanan luar negeri pertamanya sebagai presiden ke negara Teluk pada bulan Mei tahun lalu, di saat dia mengumumkan kedua negara telah menandatangani perjanjian perdagangan senilai sekitar $ 100 miliar.

“Saya pikir telah terjadi perubahan signifikan dan seismik dalam kebijakan AS terhadap Arab Saudi di bawah Donald Trump,” kata Hashemi.

Menurutnya, Presiden Trump dan Penasihat Kebijakan Luar Negeri AS melihat dunia dan Timur Tengah “melalui lensa Saudi”.

Menurut Imad Harb, direktur penelitian dan analisis di Pusat Arab Washington, bagi Trump MBS adalah perbankan. Karenanya, AS menunjukkan dukungan yang luar biasa untuk pemerintah Saudi dan kebijakannya.

Menanggapi merosotnya harga minyak dunia, MBS meluncurkan sebuah rencana tahun lalu untuk mencoba mengeluarkan Arab Saudi dari ketergantungannya pada komoditas tersebut.

Dikenal sebagai Visi 2030, cetak biru ini bertujuan untuk memodernisasi ekonomi Saudi dan membangun beragam industri, termasuk pariwisata.

Membangun hubungan dengan para pemimpin bisnis AS sangat penting, termasuk di bidang keuangan dan teknologi, juga merupakan tujuan utama kunjungan bin Salman.

Menurut Hashemi, MBS berharap AS akan berada di garis terdepan dari peluang investasi baru yang diciptakan oleh rencana Vision 2030-nya. (AT/RI-1/RS2)

Sumber: tulisan Jillian Kestler-D’Amours di Al Jazeera

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.