‘MOCKINGJAY’ PALESTINA

Rumah-Sakit-Hancur-di-Gaza
Rumah Sakit Al Wafa, di timur Shejaiya, hancur akibat serangan selama Juli-Agustus 2014. Foto : mirjanews.com

Oleh: Rina Asrina

Wartawati Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

“Pesawat tempur mulai menjatuhkan bom di rumah sakit buatan yang menampung warga terluka di distrik 8,  tempat Everdeen menyuarakan ajakan pemberontakan pertamanya kepada seluruh distrik untuk melawan tirani di Capitol…”

Momen berdarah di film “Hunger Game: ” yang sekarang tayang di bioskop tanah air mengingatkan saya akan serangan terbaru Israel ke  daerah blokade . Dalam kurun waktu kurang dari dua bulan,  pasukan udara Israel melepaskan bom-bom melalui pesawat tempur F-16 buatan AS ke rumah-rumah warga dan beberapa rumah sakit yang di dalamnya menampung ratusan warga terluka.

Suasana tangisan para warga sipil tak bersalah dalam film itu persis menggambarkan situasi terakhir di Gaza yang menewaskan lebih dari 2.200 jiwa, mayoritasnya adalah perempuan dan anak-anak. Dan ini benar terjadi di Gaza , bukan di balik layar dengan arahan sutradara serta produser fotografi  guna menambah efek mencekam.

Terlepas dari kontroversi mengenai film ini, ada banyak kesamaannya dengan isu Palestina sebagai satu-satunya daerah yang masih berada di bawah pendudukan sebuah rezim, secara eksplisit. Akan saya paparkan beberapa kesamaan dan pesan moral yang bisa diambil dari  film ber-genre pemberontakan, cinta, dan persatuan ini.

Dalam film yang diambil dari novel fiksi ilmiah tahun 2010  karangan penulis asal Amerika Serikat, Suzanne , pemeran utama dalam film itu Katnis Everdeen menjadi ikon pemberontak setelah dirinya mengumumkan  sebagai ‘Mockingjay’, simbol pemberontakan yang kemudian dilabeli terlarang oleh pemerintahan di Capitol, ibu kota metropolis yang memegang kendali politik atas keseluruhan negara, dan dalam cerita ini negara-negara itu dinamai panem (distrik,red).

Setiap panem miskin disatukan di bawah kontrol Capitol. Distrik 12, tempat cerita novel dimulai, berlokasi di kawasan kaya batu bara yang sebelumnya dikenal dengan Appala, dan di sini tempat Katnis memulai jalan  cerita dalam seluruh kisah.  Setiap distrik pada intinya memiliki pekerjaan yang spesifik yang  hasilnya sebagian besar diserahkan ke Capitol.  Distrik 13, contohnya, adalah distrik yang menjadi tombak untuk pemerintahan karena distrik ini adalah pusat militer dan persenjataan untuk Capitol.

Sebagai hukuman atas pemberontakan distrik terhadap Capitol yang terjadi di masa lalu,  seorang anak lelaki dan perempuan yang berusia antara 12 dan 18 tahun dari masing-masing distrik dipilih melalui pengundian setiap tahunnya untuk ikut serta dalam Hunger Games, pertandingan yang mengharuskan peserta (atau tribut) untuk bertarung sampai mati di arena luar ruangan yang diawasi oleh Capitol, hingga akhirnya hanya menyisakan satu peserta sebagai pemenang. Kisah novel ini dinarasikan  oleh  Katniss  yang berasal dari Distrik 12 dan menjadi sukarelawan menggantikan adiknya, Primrose, dalam Hunger Games ke-74. Sedangkan peserta laki-laki dari Distrik 12 adalah Peeta Mellark, mantan teman sekolah Katniss yang pernah memberinya roti saat keluarganya kelaparan dan berakhir pada kisah cinta mereka pada akhirnya.

Dan di distrik 13 inilah, seri Mockingjay menjadi pusat pemberontakan yang  menyatukan semua distrik untuk melawan Capitol, dengan Katnis sebagai ikon pemberontak setelah kemenangannya pada permainan maut itu. Karena menurutnya, Capitol telah memainkan warga di panem, selayaknya manusia menyinarkan cahaya senter ke lantai agar si kucing mengejar-mengejar cahaya itu.

Distrik di Mockingjay dan Faksi Perlawanan Palestina

mockingjay
Cover buku trilogi Hunger Games seri Mockingjay karangan Suzanne Collins

Dalam edisi ketiga seri Hunger Games ini, penampilan Katnis dalam video yang kemudian berhasil di sebarkan ke distrik-distrik telah menjadi titik awal yang menguatkan persatuan semua panem untuk melakukan pemberontakan. Dalam video itu, ucapan Katnis untuk Capitol yang berbunyi, “Jika kami terbakar, kau terbakar bersama kami” menjadi slogan yang dipakai warga di tiap panem saat melakukan perlawanan. Momen terharu ini mengingatkan  saya kembali akan faksi-faksi  perlawanan di Palestina yang sejak dulu siap mati demi membela tanah dan melawan tirani.  Bukan hanya faksi di Gaza, namun juga warga di yang diduduki.

Dalam film ini, petugas keamanan yang ditunjuk Capitol untuk mengawal pekerjaan warga di panem dinamai ‘peacekeeper’, namun pada kenyataannya mereka melakukan penindasan dan pemukulan secara tidak manusiawi terhadap para pekerja di panem. Scene menyedihkan ini mengingatkan saya akan  pengalaman saudara-saudara Muslim di Palestina yang ketika hendak melakukan shalat saja di Masjid Al-Aqsha harus mengalami kekerasan, pelarangan, pembatasan, bahkan penembakkan, meskipun para tentara pendudukan Israel berdalih mereka menembak warga dalam rangka membela diri.  Label ironis ini tidak jauh berbeda dengan kondisi di Palestina, dan ini sedang nyata terjadi.

Semua distrik pada akhirnya mulai melakukan penyerangan terhadap  peacekeeper secara bersama-sama dalam kesatuan aksi yang dimotivasi oleh semangat untuk memperoleh hak hidup secara merdeka di tanah airnya sendiri. Hal yang sama sedang diperjuangkan para faksi perlawanan di Palestina, seperti brigade Al-Qassam yang terkenal dengan serangan roketnya, dan jihad Islami yang kuat di pertahanan daratnya, serta faksi-faksi lain yang ahli dalam membuat terowongan.

Di dalam scene itu juga diperlihatkan kondisi distrik 12 yang dibombardir sebelumnya karena melakukan pemberontakan, warga yang hendak mencari perlindungan bahkan yang sedang berlari pun menjadi target pemboman pesawat tempur Capitol. Scene juga memperlihatkan tubuh-tubuh yang terbakar dan sebagian tak utuh tergeletak diantara reruntuhan bangunan disepanjang mata memandang.   Scene serupa kembali mengingatkan saya akan kondisi terakhir di Jalur Gaza yang dibombardir Israel, di mana wajah-wajah lucu anak kecil tak berdosa dan wanita-wanita paruh baya tergeletak di jalan-jalan dan disamping rumah mereka akibat serangan rudal yang ditembakkan dari pesawat-pesawat tempur mereka.  Ini adalah kisah terperih yang pernah saya saksikan, mengetahui pemandangan ini bukanlah sebuah film yang bisa dilihat sambil duduk santai, bukan! Ini adalah kenyataan yang sedang dialami di belahan bumi yang lumayan jauh dari kita di Indonesia. Ingat juga cerita rekan koresponden MINA di Jalur Gaza sepulang dari melakukan tugas peliputan di mana mereka melihat seorang laki-laki yang sedang berjualan sebagai pedagang kaki lima di utara Gaza pada Agustus lalu tiba-tiba dirudal di dekat mereka sampai semua bagian tubuhnya berantakan di barang dagangannya.

Terlepas dari idealismenya, Mockingjay, simbol pemberontakan yang diambil dari nama burung sejenis Mocking Bird, hasil perkawinan dengan Jaberjay (burung buatan dalam novel), mirip dengan simbol pemberontakan tirani yang dibuat warga Palestina dengan “Muqawwamah” (perlawanan) yang terdiri dari semua faksi yang ada di dalamnya.

Sejak serangan terbaru 51 hari Israel ke Gaza dan penindasan yang tak berkesudahan di Tepi Barat, saya melihat dan merasakan film ini mengedepankan emosional penonton untuk melihat arti sebuah tirani yang sampai kapanpun tidak akan dibenarkan dan tidak pernah terasa benar di dalam benak siapapun, meskipun hingga hari ini, Israel masih melakukannya dengan dalih yang sama seperti Capitol, “menyatukan semua kalangan dalam hidup berkelanjutan di bawah mereka”.

Pesan moral

Saya sering bertukar cerita dengan teman-teman di Palestina yang merasakan langsung  bagaimana rasanya hidup di bawah tirani dan pendudukan.  Dari cerita saja, rasa pedih dan lelah yang bertahun-tahun harus hidup di bawah hal-hal mengerikan itu menyakiti perasaan semua orang, tidak hanya untuk Muslim di negara-negara lain, namun kini aktivis non Muslim  mulai menyuarakan “Mockingjay” untuk Palestina, melawan lupa akan perihnya perjuangan melawan Apartheid dulu di AS. Karena isu pendudukan di Palestina bukan hanya menyangkut konflik agama saja, melainkan sudah masuk ranah kemanusiaan, termasuk ras.  Terlebih setelah Israel pada November ini mengeluarkan RUU negara Yahudi di Israel yang tentunya mengancam populasi 20% warga Arab yang hidup di tanah pendudukan, karena RUU itu nantinya akan mendiskriminasi mereka dalam banyak hal, termasuk hal kecil seperti Bahasa.

Dalam Mockingjay, ujung tombak perlawanan dipimpin oleh distrik 13 yang notabene nya adalah militer.  Dengan peralatan yang canggih, distrik ini  mampu bertahan di tengah bombardir pesawat tempur Capitol secara membabi buta. Distrik ini berhasil bahkan masuk ke dalam Capitol dengan bantuan hacker untuk meretas pertahanannya.  Tidak terbayangkan bagaimana faksi perlawanan Palestina yang tidak memiliki pasokan persenjataan dan bahkan membuat senjata seadanya sendiri bisa menghancurkan markas militer dan area dekat perusahaan nuklir Israel di gurun dekat Dimona beberapa waktlu lalu.  Faksi perlawanan bukanlah militer, namun mereka memiliterkan diri dalam upaya perjuangan kemerdekaan ini.  Sementara Israel, satu-satunya negara yang mendapat pasokan militer terbesar AS dipersenjatai dengan semua senjata canggih senilai triliunan dolar, belum lagi bantuan dari negara-negara sekutu lain seperti Inggris, Australia, dan lainnya.  Untuk memimpin pemberontakan, tentunya  persenjataan diri faksi perlawanan Palestina harus diperkuat, dan sisi ini mulai mendapat lampu hijau di internal Palestina terutama setelah kemunculan roket-roket baru buatan mereka sendiri.

Dalam film ini, Beete, salah satu peretas paling handal yang dimiliki distrik 13 juga memainkan peran penting.  Dalam film ini, Beete mampu meretas system pertahanan Capitol beberapa kali.  Saya ingat warga Gaza dan faksi perlawanan mereka yang belum bisa melakukan hal sejauh ini, meskipun kemudian hari  muncul komunitas anonymous hacker yang mengklaim telah meretas beberapa situs Israel dan merebut sebagian data di dalamnya. Betapa penting teknologi di masa serba digital ini untuk kelangsungan perlawanan, dalam hal ini perlawanan penjajahan, yang sedang dilakukan warga di Palestina.

Pada akhirnya, media juga memainkan peran penting dalam menyambungkan persatuan di semua pihak dan persatuan yang dibentuk atas dasar persamaan seperti yang dimunculkan dalam film itu. Persatuan Palestina adalah syarat mutlak untuk mencapai tujuan mereka melawan tirani. Kita saja sudah lelah menyaksikan kekejaman ini, apalagi mereka yang mengalaminya secara langsung.(L/R04/R03)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

 

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.

Comments: 0