Jakarta, MINA – Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Anwar Abbas mempertanyakan sumber data terkait kebutuhan beras dalam negeri. Pasalnya data yang kerap dirilis oleh instansi pemerintah sering berbeda.
“Pertanyaannya betulkah produksi dalam negeri tidak mencukupi sehingga harus mengimpor. Kalau memang tidak mencukupi, itu datanya dari mana, apakah dari Kemendag, Bulog, Kementan atau BPS,” kata Abbas seperti dikutip dari Muhammadiyah, Rabu (21/12).
Rujukan data yang jelas, imbuhnya, diharapkan akan menekan adanya tafsir liar dan menambah persoalan dalam negeri. Selain itu, saat ini juga sedang mendekati tahun politik, maka kebijakan yang diambil harus tepat.
Pemerintah kembali menerapkan kebijakan untuk impor beras dengan alasan untuk mencukupi cadangan beras pemerintah (CBS). Karena diperkirakan CBS tidak mencukupi sampai akhir tahun.
Baca Juga: Bulog: Stok Beras Nasional Aman pada Natal dan Tahun Baru
Kebijakan impor ini sudah berjalan, Jumat (16/12), pemerintah telah mengimpor sebanyak 200 ribu ton beras. Barang impor tersebut sudah sampai di Tanjung Priok.
Ketua PP Muhammadiyah yang membidangi UMKM, Pemberdayaan Masyarakat, dan Lingkungan Hidup berharap kebijakan yang diambil oleh pemerintah jangan sampai merugikan petani dalam negeri.
“Jika pemerintah tetap mengimpor maka hal demikian tentu jelas akan memukul kehidupan petani di negeri ini yang jumlahnya sangat banyak karena jatuhnya harga dan atau beras mereka tidak laku karena masyarakat lebih memilih membeli beras impor,” ucapnya.
Terkait dengan yang disampaikan oleh Anwar Abbas terkait dengan validasi sumber data, Konsultan Ahli Bidang Pertanian Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) PP Muhammadiyah, Syafii Latuconsina membenarkan pernyataan tersebut.
Baca Juga: Media Ibrani: Empat Roket Diluncurkan dari Gaza
“Benar apa yg disampaikan Buya Anwar Abbas, bahwa pemerintah tidak punya data. Gagal panen iya, tapi bukan berarti Indonesia kekurangan. Yang terjadi-kan Bulog nya yang gagal membeli akibat kenaikan bbm kemudian terjadi perubahan harga,” ucapnya.
Akibat dari itu, Pemerintah dalam kacamata Syafi’i kemudian mengeluarkan fleksibilitas harga. “Akan tetapi itu terlambat karena harga beras di pasar sudah naik,” pungkas pengamat pertanian itu. (R/R5/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: BRIN Kukuhkan Empat Profesor Riset Baru