Nasehat bagi Para Pemimpin (Tadabbur Qs. Shad ayat 26)

Oleh Bahron Ansori, wartawan MINA

Salah satu hal terberat dalam kehidupan ini adalah menjadi seorang pemimpin umat. Orang yang berani mengemban amanah kepemimpinan atas suatu umat harus siap menanggung kesulitan di dunia dan hisab yang berat di akhirat kelak. Jika dia menjalankan amanah kepemimpinannya tidak serius dan jauh dari pedoman hukum Allah dan Rasul-Nya.

Seorang pemimpin harus siap dicaci, dihina dan di buly bahkan kadang dijadikan kambing hitam oleh umatnya. Seorang pemimpin harus siap berbuat adil, mengambil keputusan dengan adil dan bijaksana. Seorang pemimpin harus siap ‘mengabdikan’ 24 jam hidupnya untuk melayani umat kapan dan di manapun selama itu tidak melanggar syariat Allah dan Rasul-Nya.

Tentang perintah agar menjadi seorang pemimpin yang adil ini, maka mari perhatikan firman Allah Ta’ala dalam Qur’an surat Sad ayat 26,

{يَا دَاوُدُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الأرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ (26) }

Artinya, “Hai Daudsesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (Qs. Sad: 26)

Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir terkait ayat di atas mengatakan bahwa ini merupakan perintah dari Allah SWT kepada para penguasa agar mereka memutuskan perkara di antara manusia dengan kebenaran yang diturunkan dari sisi-Nya, dan janganlah mereka menyimpang darinya, yang berakibat mereka akan sesat dari jalan Allah. Allah SWT telah mengancam orang-orang yang sesat dari jalan-Nya dan yang melupakan hari perhitungan yaitu dengan ancaman yang tegas dan azab yang keras.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Khalid, telah menceritakan kepada kami Al-Walid, telah menceritakan kepada kami Marwan ibnu Janah, telah menceritakan kepadaku Ibrahim alias Abu Zar’ah yang pandai membaca kitab-kitab terdahulu, bahwa Al-Walid ibnu Abdul Malik pernah bertanya kepadanya, “Apakah khalifah juga mendapat hisab? Kuajukan pertanyaan ini kepadamu karena kamu telah membaca kitab-kitab terdahulu, juga telah membaca Al-Qur’an serta memahaminya.”

Aku (Abu Zar’ah) menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, saya hanya berpesan kepadamu, hendaknyalah engkau berdoa semoga berada di dalam keamanan dari Allah.”

Kukatakan lagi, “Hai Amirul Mukminin, apakah engkau lebih mulia bagi Allah ataukah Daud As? Sesungguhnya Allah telah menghimpunkan baginya antara kenabian dan kekhalifahan (kekuasaan), tetapi sekalipun demikian Allah mengancamnya melalui firman-Nya, “Sebagaimana yang disebutkan di dalam Al Qur’an; ‘Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka Bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah.’ (Qs. Shad: 26) hingga akhir hayat.

Ikrimah telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, “Mereka akan mendapat azab yang berat, karena melupakan hari perhitungan.” (Qs. Shad: 26) Ini merupakan ungkapan yang mengandung taqdim dan takhir, menurut urutannya adalah berbunyi seperti berikut: لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ يَوْمَ الْحِسَابِ بِمَا نَسُوا.yang artinya Bagi mereka azab yang berat pada hari perhitungan nanti disebabkan mereka lupa daratan.

As-Saddi mengatakan bahwa makna ayat ialah bagi mereka azab yang berat disebabkan mereka meninggalkan amal perbuatan untuk bekal mereka di hari perhitungan. Pendapat yang kedua ini lebih serasi dengan makna lahiriah ayat di atas.

Bisa disimpulkan bahwa biasa seorang yang berkuasa atau mempunyai kekuasaan jika tidak benar-benar berpegang kepada Al Qur’an dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, dia akan menjadi orang yang lupa daratan. Ia menjadi orang yang lupa pada tanggungjawabnya untuk mengurus umat. Dia lebih mementingkan urusan kehidupan pribadi dan keluarganya sendiri dibanding mengurusi urusan umat.

Dalam kitab Al tibr Al masbuk fi al Nashihah al Muluk, Mutiara dalam Nasihat-nasihat untuk Para Penguasa, karya Imam al-Ghazali, setidaknya ada 10 nasehat untuk para penguasa (pemimpin) antara lain sebagai berikut.

Pertama, pemimpin harus mengetahui kedudukan dan pentingnya kekuasaan. Sesungguhnya kekuasaan adalah sebagian nikmat dari Allah. Siapa saja yang menjalankan kekuasaan dengan benar, ia akan memperoleh kebahagiaan yang tidak ada bandingannya. Sebaliknya, siapa yang lalai dan tidak menegakkan kekuasaan dengan benar, ia akan mendapat siksa karena kufur kepada Allah.

Kata Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Sehari seorang pemimpin yang adil lebih utama daripada beribadah 60 tahun, dan satu hukum ditegakkan di bumi akan dijumpainya lebih bersih daripada hujan 40 hari.” (HR. Thabrani, Bukhari, Muslim, dan Imam Ishaq). Inilah pentingnya menjadi pemimpin yang adil. Lalu bagaimana para pemimpin kaum Muslimin hari ini?

Kedua, seorang pemimpin seharusnya berusaha untuk selalu senantiasa merindukan petuah ulama dan gemar mendengarkan nasehat mereka.

Dalam hadis riwayat Dailami, dari Umar bin Khaththab, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sungguh Allah mencintai penguasa yang mendatangi ulama. Dia membenci jika ulama yang mendekati penguasa. Sebab, ketika ulama mendekati penguasa, maka yang diinginkannya urusan dunia. Bila penguasa yang mendekati ulama, maka yang diinginkannya urusan akhirat.”

Ulama dan umara adalah dua peran yang sentral dalam menjadikan suatu negeri “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur” (QS. Saba: 15).

Karena itu, hendaknya seorang pemimpin menyadari posisinya di bawah ulama, sehingga mendatangi majelis-majelis ilmu dengan hati yang tunduk mengharap ampunan-Nya. Jangan ulama seperti diseret-seret ke dalam urusan duniawi, semisal kekuasaan.

Ketiga, janganlah merasa puas dengan keadaanmu yang tidak pernah melakukan kezaliman. Seorang penguasa jangan pernah merasa puas seandainya dia tidak melakukan kezaliman kepada umat yang dipimpinnya. Seharusnya dia takut kepada Allah Ta’ala, sebab bisa jadi pembantu, sahabat dan wakilnya justeru yang berbuat zalim kepada umat.

Bila hal ini terjadi (kezaliman yang dilakukan bawahannya), maka kelak di akhirat pemimpinlah yang akan mempertanggungjawabkan kezaliman yang telah dilakukan oleh orang-orang dekatnya (bawahan, wakil, pembantu dan lainnya).

Karena itu, pemimpin yang faqih menyadari betapa besar tanggung jawabnya menjadi pemimpin. Dia akan selalu berusaha mendidik pembantu, pegawai dan para wakilnya agar tidak berbuat zalim kepada umat. Tidak dibenarkan seorang pemimpin mendiamkan kezaliman yang dibuat oleh orang-orang terdekatnya seperti sahabat, pembantu atau wakilnya.

Suatu hari Umar bin Kaththab pernah menulis surat kepada bawahannya, yaitu Abu Musa al-Asy’ary, ”Sesungguhnya wakil yang paling berbahagia adalah wakil yang rakyatnya merasa bahagia. Sesungguhnya wakil yang paling celaka adalah wakil yang rakyatnya dalam keadaan paling sengsara. Oleh karena itu, mudahkanlah karena sesungguhnya bawahanmu akan mengikuti perilakumu. Perumpamaanmu adalah seperti binatang melihat rumput hijau, kemudian memakannya dalam jumlah banyak hingga gemuk. Ternyata kegemukannya membawa kemalangan karena hal itu membuat dia disembelih dan dimakan manusia.”

Keempat, kebanyakan pembantu atau wakil yang sombong. Tak heran kadang wakil bisa lebih sombong dari penguasa yang lebih tinggi darinya. Seringkali kesombongan yang dilakukan seorang wakil pemimpin atau pembantu akan terlihat saat dia sedang marah, langsung memberikan hukuman.

Padahal orang yang marah itu membinasakan akal pikiran, musuh dan penyakit akal sehat. Kemarahan merupakan seperempat kebinasaan. Jika amarah mendominasi, maka seseorang seharusnya berusaha untuk condong pada sifat pemaaf dan kembali kepada sifat mulia. Seperti diketahui sifat senang memaafkan itu adalah contoh terbaik dari para nabi dan aulia. Jika sifat marah menjadi sebuah adat, maka orang itu sama seperti binatang buas.

Dari Abu Darda’ ra berkata, ”Ya Rasulullah, tunjukkan kepadaku suatu amalan yang akan memasukkan aku ke dalam surga.” Rasullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ”Jangan marah, kamu akan masuk surga.”

Kelima, sebenarnya pada setiap kejadian yang menimpa dirimu, engkau mesti membayangkan bahwa engkau adalah salah seorang rakyat, sementara selain dirimu adalah pemimpin.

Dengan itu, apa yang tidak engkau ridha bagi dirimu sendiri, tidak pula akan diridhai oleh salah seorang Muslim. Jika engkau meridhai mereka dalam apa yang tidak engkau ridhai untuk dirimu sendiri, berarti engkau mengkhianati dan menipu bawahanmu.

”Siapa yang ingin selamat dari panas api neraka dan masuk surga, ia mesti –ketika datang kepadanya kematian– menemukan kesaksian dengan lisannya. Setiap yang dia tidak ridhai bagi dirinya sendiri, maka tidak seorangpun dari kaum Muslim meridhainya.”

Keenam, janganlah engkau memandang rendah orang-orang yang memiliki kebutuhan yang menunggu di depan pintumu. Suatu hari, Umar bin Abdul Aziz memenuhi berbagai kebutuhan rakyatnya. Ia kemudian duduk menyandar karena kelelahan. Setelah itu ia masuk ke rumahnya untuk beristirahat menghilangkan kepenatan.

Anaknya kemudian berkata kepadanya, “Apa yang telah membuat ayah merasa aman sementara kematian bisa saja datang saat ini, sedangkan pada saat yang sama di depan pintu ayah ada orang membutuhkan yang sedang menunggu sementara Ayah malah mengabaikan haknya?”

Umar bin Abdul Aziz berkata, “Engkau benar!” Maka, saat itu juga Umar bangkit dan pergi ke majelisnya. Bagaimana dengan para pemimpin kaum Muslimin hari ini?

Artinya, ketika salah seorang Muslim memiliki kebutuhan terhadap seorang pemimpin, maka jangan sampai ia tidak memerdulikan mereka karena sibuk dengan ibadah-ibadah sunnah. Sebab, memenuhi berbagai kebutuhan kaum Muslim adalah lebih utama daripada menunaikan ibadah-ibadah sunnah.

Ketujuh, seorang pemimpin jangan disibukkan dengan hal yang remeh-temeh seperti membiasakan diri dengan sibuk mengurusi berbagai keinginan semisal  ingin pakaian kebesaran atau memakan makanan yang lezat. Namun, hendaknya seorang pemimpin bersikap qana’ah (keseimbangan dalam harta, tidak boros dan tidak kikir) terhadap seluruh perkara. Sebab, tidak akan ada keadilan tanpa sifat qana’ah.

Umar bin Kaththab bertanya kepada seorang shalih, “Apakah engkau melihat sesuatu pada diriku yang engkau benci?” Orang itu berkata, “Aku mendengar bahwa engkau pernah meletakkan roti di atas meja makanmu, dan engkau punya dua baju, satu dipakai untuk malam hari dan satu lagi untuk siang hari. Apakah selain itu ada sesuatu?” Umar menjawab, “Tidak.” Orang itu berkata: “Demi Allah, kedua perkara ini tidak akan selamanya.”

Bagaimana dengan kondisi sebagian pemimpin hari ini yang masih gemar hidup mewah, memperkaya diri dan keluarga?

Kedelapan, sesungguhnya engkau, jika memang mampu melakukan setiap urusan dengan penuh kasih sayang dan kelemah lembutan, maka janganlah melakukan dengan kekerasan dan sikap kasar.

Setidaknya, ahli surga itu ada tiga tipe. Pertama, orang yang mempunyai kekuasaan hukum yang adil dan bersedekah untuk kaum fakir, mereka juga selalu taat kepada Allah. Kedua, orang yang hatinya lemah lembut dan penuh kasih sayang terhadap sanak saudara. Ketiga, orang shaleh yang menahan dirinya dari hal-hal yang haram, mempunyai keluarga, tapi cintanya terhadap keluarga tidak mendorong untuk berbuat yang haram.

Kesembilan, hendaklah engkau berupaya dengan sungguh-sungguh untuk meraih keridhaan rakyatmu melalui cara-cara yang sesuai dengan tuntunan syariah.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sebaik-baik pemimpin kalian adalah Pemimpin yang kalian mencintai mereka dan mereka pun mencintai kalian. Mereka mendo’akan kalian dan kalian pun mendo’akan mereka.” (HR. Shahih Muslim).

Kesepuluh, janganlah engkau mencari keridhaan seorang manusia melalui cara-cara yang bertentangan dengan syariah. Siapa saja yang marah karena adanya pelanggaran syariah, maka marahnya tidak membawa bahaya.

Mu’awiyah menulis surat kepada Aisyah ra agar memberikan nasihat dengan nasihat yang singkat. Maka, Aisyah menulisnya, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa saja yang mencari keridhaan Allah walaupun manusia marah kepadanya, maka Allah akan ridha kepadanya, demikian pula manusia akan ridha kepadanya. Siapa saja mencari keridhaan manusia dengan cara dimurkai Allah, maka Allah akan murka kepadanya, demikian pula seluruh makhluk akan marah kepadanya.”

Maka, perkara kepemimpinan ini adalah perkara besar dan maha berat. Siapa pemimpin yang bisa menjalankan amanah kepemimpinannya sesuai aturan dari Allah dan Rasul-Nya, maka selamatlah ia di dunia dan akhirat kelak.

Sebaliknya, siapapun pemimpin yang tidak menjalankan amanahnya, tidak fokus dalam menyantuni dan membina umat yang ia gembala, walaupun ia seorang yang cerdas dan berpendidikan tinggi, maka waspadalah kelak Allah Ta’ala akan meminta pertanggungjawaban yang berat kepadanya, wallahua’lam.(A/RS3/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.