PELAJARAN DARI HARI RAYA KURBAN IDUL ADHA

Ilustrasi (Gambar: Aeny)
Ilustrasi (Gambar: Aeny)

Oleh: M.Rendi Setiawan,

Wartawan Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Bulan Dzulhijjah merupakan bulan bersejarah bagi dunia Islam. Pada bulan ini kaum muslimin dari berbagai belahan dunia melaksanakan rukun Islam yang kelima, yakni Ibadah haji.

Dengan ibadah ini, Islam tampak sebagai agama yang tidak mengenal status sosial, baik yang kaya, miskin, pejabat, rakyat, kulit hitam ataupun kulit putih semua memakai pakaian yang sama.

Mereka bersama-sama melakukan aktivitas yang sama pula yakni manasik haji.

Selain ibadah haji, pada bulan yang agung ini, umat Islam juga merayakan Hari Raya .

Pada bulan tersebut, kaum muslimin selain dianjurkan melakukan shalat sunnah dua roka’at, juga dianjurkan untuk menyembelih binatang kurban bagi yang mampu, anjuran berkurban ini bermula dari kisah penyembelihan kepada putra terkasihnya yakni .

Pengorbanan Nabi Ibrahim

Kisah tersebut merupakan suatu mukjizat dari Allah yang menegaskan bahwa perintah pergorbanan Ismail itu hanya suatu ujian bagi Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail sampai sejauh mana cinta dan taat mereka kepada Allah. Ternyata keduanya telah lulus dalam ujian yang sangat berat itu.

Nabi Ibrahim telah menunjukkan kesetiaan yang tulus dengan pergorbanan puteranya untuk berbakti melaksanakan perintah Allah, sedangkan Nabi Ismail tidak sedikit pun ragu atau bimbang dalam memperagakan kebaktiannya kepada Allah dan kepada orang tuanya dengan menyerahkan jiwa raganya untuk dikorbankan, sampai-sampai terjadi seketika merasa bahwa parang itu tidak mampu memotong leher Nabi Ismail.

Berkatalah ia kepada ayahnya: “Wahai ayahku! Rupa-rupanya engkau tidak sampai hati memotong leherku karena melihat wajahku, cobalah telangkupkan aku dan laksanakanlah tugasmu tanpa melihat wajahku”.

Akan tetapi parang itu tetap tidak berdaya mengeluarkan setitik darah pun dari daging Ismail walau ia telah ditelangkupkan dan dicoba memotong lehernya dari belakang.

Dalam keadaan bingung dan sedih hati, karena gagal dalam usahanya menyembelih puteranya, datanglah kepada Nabi Ibrahim wahyu Allah dengan firman-Nya:”Wahai Ibrahim! Engkau telah berhasil melaksanakan mimpimu, demikianlah Kami akan membalas orang-orang yang berbuat kebajikkan.”

Kemudian sebagai tebusan ganti nyawa Ismail yang telah diselamatkan itu, Allah memerintahkan Nabi Ibrahim menyembelih seekor kambing yang telah tersedia di sampingnya dan segera dipotong leher kambing itu oleh beliau dengan parang yang tumpul ketika hendak memotong leher nabi Ismail itu.

Kisah tersebut diabadikan oleh Allah didalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala berfirman,

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ ٱلسَّعۡىَ قَالَ يَـٰبُنَىَّ إِنِّىٓ أَرَىٰ فِى ٱلۡمَنَامِ أَنِّىٓ أَذۡبَحُكَ فَٱنظُرۡ مَاذَا تَرَىٰ‌ۚ قَالَ يَـٰٓأَبَتِ ٱفۡعَلۡ مَا تُؤۡمَرُ‌ۖ سَتَجِدُنِىٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّـٰبِرِينَ (١٠٢) فَلَمَّآ أَسۡلَمَا وَتَلَّهُ ۥ لِلۡجَبِينِ (١٠٣) وَنَـٰدَيۡنَـٰهُ أَن يَـٰٓإِبۡرَٲهِيمُ (١٠٤) قَدۡ صَدَّقۡتَ ٱلرُّءۡيَآ‌ۚ إِنَّا كَذَٲلِكَ نَجۡزِى ٱلۡمُحۡسِنِينَ (١٠٥) إِنَّ هَـٰذَا لَهُوَ ٱلۡبَلَـٰٓؤُاْ ٱلۡمُبِينُ (١٠٦) وَفَدَيۡنَـٰهُ بِذِبۡحٍ عَظِيمٍ۬ (١٠٧) وَتَرَكۡنَا عَلَيۡهِ فِى ٱلۡأَخِرِينَ (١٠٨) سَلَـٰمٌ عَلَىٰٓ إِبۡرَٲهِيمَ (١٠٩)

Artinya: “Maka tatkala anak itu sampai [pada umur sanggup] berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. (102) Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis [nya], [nyatalah kesabaran keduanya]. (103) Dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim, (104) sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu [1] , sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. (105) Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. (106) Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar [2]. (107) Kami abadikan untuk Ibrahim itu [pujian yang baik] di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (108) [yaitu] “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim”. (109) (Q.S. Ash-Shaffat [37] : 102-109).

Kesalihan Sosial

Sebagai seorang laki-laki, ditambah lagi ia telah menjadi seorang suami yang akan menjadi payung bagi keluarganya tentu akan sangat bahagia ketika memiliki buah hati, tak terkecuali bagi Nabi Ibrahim. Beliau yang telah menunggu kehadiran buah hatinya selama bertahun-tahun ternyata ketika memiliki buah hati, beliau diuji oleh Allah untuk menyembelih buah hatinya sendiri.

Nabi Ibrahim dituntut untuk memilih antara melaksanakan perintah Allah atau mempertahankan buah hatinya, dengan konsekuensi akan melanggar perintah-Nya. Tentu ini sebuah ujian yang sangat berat, namun karena didasari ketakwaan dan keimanan yang kuat, perintah Allah dilaksanakan. Pada akhirnya, Nabi Ismail tidak jadi disembelih dengan digantikan seekor domba.

Kisah tersebut merupakan gambaran puncak kepatuhan serta ketha’atan seorang hamba kepada Tuhannya. Nabi Ibrahim mencintai Allah melebihi segalanya, termasuk buah hatinya sendiri. Kecintaan Nabi Ibrahim terhadap putra kesayangannya tidak menghalangi ketha’atan kepada Allah, model ketakwaan Nabi Ibrahim ini patut untuk kita teladani.

Dan dari kisah inilah asal permulaan sunnah berqurban yang dilakukan oleh umat Islam pada tiap Hari Raya Idul Adha di seluruh pelosok dunia.

Selain itu, ada pelajaran berharga lain yang bisa dipetik dari kisah tersebut, sebagaimana kita ketahui bahwa perintah menyembelih Nabi Ismail ini pada akhirnya digantikan seekor domba. Pesan tersirat dari kejaidan ini adalah bahwa ajaran Islam yang begitu indah sangat menghargai betapa pentingnya nyawa manusia.

Hal ini senada dengan apa yang diucapkan Imam Syathibi (w.790 H/ 1388 M) seorang ulama Ahlu Sunnah dari Andalusia (sekarang Spanyol) bermadzhab Maliki. Didalam kitabnya Al-Muwafaqat, Imam Syatibi mengatakan bahwa satu diantara nilai universal Islam (maqashid as syari’ah) adalah agama menjaga hak hidup (hifdzun nafs). Begitu pula dalam area fikih, agama mensyari’atkan qishash, larangan pembunuhan dll. Hal ini mempertegas bahwa Islam benar-benar melindungi hak hidup manusia.

Nabi Ismail rela mengorbankan dirinya tak lain hanyalah demi mentaati perintah Allah. Berbeda dengan para teroris dan pelaku bom bunuh diri. Apakah pengorbanan yang mereka lakukan benar-benar memenuhi perintah Allah demi kejayaan Islam atau justru sebaliknya?

Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya ’Ulumuddin menjelaskan tentang tata cara melakukan amar ma’ruf nahi munkar.  Menurutnya, tindakan dalam bentuk aksi pengrusakan, penghancuran tempat kemaksiatan adalah wewenang negara atau badan yang mendapatkan legalitas negara.

Sudah semestinya, ketika ingin melakukan amar makruf nahi munkar jangan sampai menimbulkan kemunkaran yang lebih besar.

Pada Hari Raya Idul Adha, bagi umat Islam yang mampu dianjurkan untuk menyembelih binatang kurban. Pada dasarnya, penyembelihan binatang kurban ini mengandung dua nilai yakni keshalehan ibadah dan keshalehan muamalah. Keshalehan ibadah berarti dengan berkurban, kita telah melaksanakan perintah Allah yang bersifat transedental.

Kurban dikatakan sebagai keshalehan muamalah karena selain sebagai ibadah keagamaan, kurban juga mempunyai dimensi kemanusiaan.

Bentuk solidaritas kemanusiaan ini tergambar secara jelas dalam pembagian daging kurban, perintah berkurban bagi yang mampu ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang respek terhadap fakir-miskin dan kaum dhu’afa lainnya.

Dengan disyari’atkannya kurban, kaum muslimin dilatih untuk mempertebal rasa kemanusiaan, mengasah kepekaan  terhadap masalah-masalah sosial, mengajarkan sikap saling menyayangi terhadap sesama.

Meski waktu pelaksanaan penyembelihan kurban dibatasi (10-13 Dzulhijjah), namun jangan dipahami bahwa Islam membatasi solidaritas kemanusiaan. Kita harus mampu menangkap makna yang terkandung dari pesan yang disampaikan teks Alqur’an, bukan memahami teks secara literal. Oleh karenanya, semangat untuk terus ’berkurban’ senantiasa kita langgengkan pasca Idul Adha.

Dewasa ini, kerap kita jumpai tidak sedikit kaum muslimin yang hanya berlomba meningkatkan kualitas keshalehan ibadah tanpa diimbangi dengan kesalehan muamalah, banyak umat Islam yang rajin shalat, puasa bahkan mampu ibadah haji berkali-kali, namun tidak peduli dengan masyarakat sekitarnya. Sungguh sebuah fenomena yang menyedihkan.

Mari kita jadikan Idul Adha sebagai momentum untuk meningkatkan dua kesalehan sekaligus yakni kesalehan ibadah dan keshalehan muamalah. (Po11/P4).

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Comments: 0