Pelajaran dari Sayidina Ali, Ramadhan Tumbuhkan Nilai-Nilai Peduli Sesama

Oleh : , Wartawan Kantor Berita MINA

atau Ali bin Abu Thalib adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam yang sangat dekat dengan Nabi. Ali adalah khalifah keempat dan salah satu golongan pertama yang memeluk agama Islam.

Sahabat Ali adalah manusia yang istimewa. Dinyatakan, ia adalah orang kedua yang menerima dakwah Islam, setelah Khadijah binti Khuwailid, istri Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam.

Menurut sejumlah riwayat, di usianya yang ke delapan, Ali bin Abi Thalib sudah bersedia masuk Islam setelah mendengar. Nabi Muhammad juga sangat menyayangi Ali bahkan setuju dengan pernikahan Ali dengan sang putri  tercinta Sayyidah Fatimah Az-Zahra, sehingga ia menjadi menantu Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam.

Malam itu takbir menggema, pertanda hari esok hari raya idul fitri. Melihat Sayyidina Ali bin Abi Thalib sangat sibuk membagikan gandum dan kurma, ditemani sang istri tercintanya Sayyidah Fatimah Az-Zahra putri kesayangan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.

Sayyidina Ali juga menyiapkan tiga karung gandum dan dua karung kurma untuk dibagikan kepada orang yang tidak mampu. Lalu Sayyidina Ali memanggul karung gandum itu serta  mengikuti di belakangnya istrinya Sayyidah Fatimah sembari menuntun Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husein.

Mereka sekeluarga mendatangi kaum fakir miskin untuk disantuni dari rumah satu ke rumah lainnya. Gandum dan kurma telah habis dan mereka pun kembali ke rumahnya.

Keesokan harinya tibalah hari bagi setiap Muslim menyambutnya setelah sebulan lamanya berpuasa, keluarga Sayyidina Ali shalat Idul Fitri berjamaah dengan khusu’nya dan mendengarkan khutbah. Selesai khutbah ied selesai, Sayyidina Ali pulang ke rumah dengan wajah berseri-seri terutama Hasan dan Husein kecil putranya, mereka riang gembira.

Sahabat Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasalam yang bernama Ibnu Rafi’i bermaksud untuk bersilaturrahmi dan mengucapkan Idul Fitri kepada putri Rasulullah Sayyidah Fatimah dan suaminya Sayyidina Ali. Ketika Ibnu Rafi’i sampai di depan rumah putri kesayangan Rasulullah,  Ibnu Raffi mencium bau yang tidak sedap dan tanpa sengaja ia melihat apa yang dimakan Sayyidina Ali, dia tertekun, kaku, lemas dan kaget.

Keluarga kecil Sayyidina Ali Hasan dan Husein yang masih balita ternyata memakan gandum basi berbau tengik tanpa mentega yang baunya tercium oleh Ibnu Rafi’i. Tak terasa air mata menetas di pipi Ibnu Rafi’i,  tubuhnya lemas melihat anak kesayangan nabi besar Muhammad  Shallallahu Alaihi Wasalam memakan gandum yang sudah basi.

Lalu Ibnu Rafi’i berbalik arah ingin segera menemui Rasulullah, iapun bergegas berlari ringan sambil terisak menangis menghadap Rasulullah. Sesampainya di hadapan Rasulullah Ibnu Rafi’i berkata:

Ya Rasulullah, ya Rasulullah, ya Rasulullah, putri baginda dan cucu baginda, ujar Ibnu Rafi’i sambil terbata-bata, tanya Rasulullah dengan lembut, tengolah putri tercinta, tengoklah cucu baginda Hasan dan Husein ya Rasulullah, kenapa keluargaku tanya Rasulullah sambil gelisah. Tengoklah sendiri wahai baginda saya tak kuasa mengatakan semuanya.”

Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam pun bergegas menuju ke rumah Fatimah putri tercintanya, tiba di teras rumah, Rasulullah melihat tawa bahagia antara Sayyidina Ali bersenda gurau dengan kedua putranya Hasan dan Husein, sembari makan gandum basi tersebut.

Mata Rasulullahpun berlinang menangis yang melihat keluarga putri tercinta dan dua cucunya yang hanya memakan gandum basi di hari raya idul fitri. Di saat semua orang berbahagia, semua orang makan-makanan yang paling lezat. Di saat itu pula keluarga Sayyidina Ali memakan gandum yang sudah bau tengik, padahal sebelumnya persediaan gandum baru dan bersih melimpah di rumahnya Sayyidina Ali.

Tapi Sayyidina Ali lebih memilih memberikan pada fakir miskin, namun keluarga Sayyidina Ali masih penuh tawa dan bahagia, meskipun hanya makan dengan gandum yang baunya kecium tidak sedap.

Rasulullah menangis sambil berucap “Ya Allah saksikanlah, saksikanlah di hari Idul Fitri keluargaku rela makan gandum yang basi. Mereka mengutamakan kaum fakir dan miskin Ya Allah, mereka mencintai kaum Fukara dan Masani. Mereka merelakan lidah dan perutnya mengecap makanan basi asalkan kaum fakir miskin bisa memakan makanan yang lezat. Allahumma Ishaq saksikanlah Ya Allah Bibir Rasulullah sangat lembut.”

Fatimah tersadar kalau di luar pintu rumahnya ada sang ayah sedang berdiri tegak. “Wahai Ayahanda ada apa gerangan ayah menangis. Rasulullah tak tahan mendengar pertanyaan putrinya, Rasullullah telah berlari sambil memeluk putri kesayangan, sambil berucap surga untukmu, Nak.”

Ibnu Rafi’i berkata, aku diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Salam agar tidak menceritakan tradisi keluarga setiap Idul Fitri dan akupun simpan kisah itu dalam hatiku. Namun ketika Rasulullah wafat, aku takut dituduh menyembunyikan hadis, maka aku ceritakan hal ini agar menjadi bagi umat Muslim.”

Kaitan Ramadhan dan Kepedulian Sesama

Sikap kepedulian dengan sesama dan kesederhanaan Ali bin Abi Thalib, jika dikaitkan dengan bulan Ramadhan, adalah sikap yang menunjukkan keutamaan yang agung dan keistimewaan yang banyak dari bulan Ramadhan, bulan Al-Quran.

Allah berfirman dalam Surat Al-Baqarah ayat  185 :

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu yang hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. Dan barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS Al-Baqarah [2]: 185).

Ibadah puasa itu sesungguhnya untuk Allah, tetapi ibadah ini memiliki dimensi sosial yang sangat nyata. Puasa dengan mengendalikan seluruh nafsu dan segala macam bentuk egosentrisme, adalah refleksi dari keseriusan menuju keridhaan Allah. Namun ketika manusia mengendurkan egonya dan mengendalikan nafsunya itulah, dia menjadi solider menjadi peduli terhadap sesamanya.

Apalagi bagi kaum yang serba berkecukupan, rasa lapar dan dahaga akan mengingatkan pada penderitaan dan kepedihan yang dialami oleh fakir miskin sepanjang hidupnya.

Maka, dengan amaliah yang sama, pedoman dan tujuan yang sama, diharapkan mampu menumbuhkan semangat peduli atas sesama umat Islam, termasuk terhadap non-Muslim yang sangat membutuhkan bantuan kita.

Puasa juga melatih umat Islam untuk menjadi insan yang berempati, merasakan beban derita yang dirasakan saudaranya. Contohnya saudara kita di Palestina mengalami penderitaan di bulan Ramadhan 1444 ini.

Kita saksikan di banyak media, tv, sosmet dan lain sebagainya pasukan Zionis Israel menyerang para Jama’ah Muslim yang sedang melaksanakan ibadah Tarawih di Masjid Al-Aqsa. Mereka juga mengacak-acak ruangan Masjid Al-Aqsa, menembaki para jamaah, melontarkan gas air mata, menendang, serta menagkap mereka yang melawan.

Kebiadaban mereka orang Israel di luar batas nalar kemanusiaan, mereka tidak pandang usia, mau itu dia anak-anak, orang tua bahkan ibu hamil mereka aniaya dan tidak sedikit rumah mereka yang dirusak oleh Zionis Israel. Ada suami kehilangan istri, istri kehilangan suami, ayah kehilangan anak dan anak kehilangan ayah dan seterusnya.

Kalau puasa dengan segala pengorbanan dengan merasa lapar dan dahaga sepanjang hari tidak menghasilkan kekhusukan, ketawadhu’an di hadapan Allah. Tidak pula menghasilkan solidaritas sesama manusia, akan sulit mencari sarana lain untuk menumbuhkan solidaritas itu. Apalagi dalam kehidupan sehari-hari tantangan lebih berat.

Ramadhan merupakan bulan istimewa. Karena, pada bulan inilah setiap Muslim berusaha menempa diri untuk menjadi insan yang terbaik melalui puasa dan amalan Ramadhan lainnya. Sifat insan terbaik tidak lain ialah takwa sebagaimana tujuan utama berpuasa

Sebagaimana Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS Al-Baqarah [2] : 183).

Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menjelaskan, puasa adalah menahan diri dari makan dan minum serta berhubungan intim dengan suami atau istri dengan niat yang ikhlas karena Allah Subhanhu wa Ta’ala.

Salah satu amalan Ramadhan yang sungguh baik adalah bersikap pemurah atau dermawan bagi sesama, terutama bagi saudara kita yang sangat memerlukan. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Rasulullah adalah seorang yang paling pemurah, lebih-lebih pada Ramadhan

Sebagaimana Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda :

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ بِالْخَيْرِ، وَكَانَ أَجْوَدَ مَا يَكُونُ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ. إِنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلَامُ كَانَ يَلْقَاهُ، فِي كُلِّ سَنَةٍ، فِي رَمَضَانَ حَتَّى يَنْسَلِخَ

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah seorang yang paling murah hatinya dengan (berbagi) kebaikan, dan beliau lebih bermurah hati (dermawan) ketika di dalam bulan Ramadhan.” (HR Bukhari dan Muslim).

Sikap pemurah atau dermawan itu menumbuhkan empati dan rasa mau berbagi dengan orang lain.

Setiap Muslim dilatih melalui puasa agar menjadi insan yang mampu merasakan derita sesamanya dan melahirkan sikap ta’awun, yakni semangat saling menolong dan bekerja sama dengan orang lain secara tulus dan baik. Jika dia kaya, harus berbagi dengan saudaranya yang miskin. Kalau dia berilmu, harus mau mencerdaskan orang lain dengan ilmunya.

Manakala dia memiliki kekuasaan, dapat dimanfaatkannya untuk menyejahterakan orang banyak. Apabila dia berkecukupan dalam apa saja terpanggil untuk menolong siapa saja yang kekurangan.

Semangat ta’awun atau tolong-menolong dan saling bekerja sama sendiri merupakan perintah dalam Islam. Allah berfirman yang artinya, “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan  permusuhan”. (QS Al-Maidah: 2).

Ajaran ini sangat mulia karena setiap Muslim diajarkan untuk mau ber-ta’awun dengan siapa pun dalam hal-hal yang baik, sebaliknya jangan bekerja sama dalam segala keburukan.

Dalam kehidupan sehari-hari, tidak jarang ada yang bekerja sama untuk sesuatu yang buruk dan merugikan orang lain. Karena kepentingan-kepentingan duniawi yang sifatnya sesaat, sebagian orang saling berdusta dan mengembangkan hal-hal yang negatif yang menjatuhkan orang lain.

Sementara, orang juga sering tidak bersikap adil dan baik, tidak toleran, dan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agama karena yang bersangkutan mengejar nafsu dunia. Selain itu, tampak terjadi erosi dalam kehidupan bersama, seperti egoisme, membantu karena pamrih, hedonis atau memuja kenikmatan dunia, sikap acuh tak acuh, kepura-puraan, dan lain-lain.

Karena itu, setiap Muslim yang berpuasa akan mampu menjaga dirinya untuk menyemaikan benih-benih ta awun membangun solidaritas sosial yang bersih dan baik dalam kehidupan diri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan dunia kemanusiaan universal.

Sikap ta awun yang serbautama tersebut harus ditanamkan dan disebarluaskan di seluruh lapisan masyarakat, termasuk di kalangan anak-anak sebagai generasi umat dan bangsa. Sikap bersih dan baik yang diwujudkan dalam kehidupan bersama harus menjadi budaya sehari-hari.

Dengan puasa Ramadhan, sikap ta’awun atau soldaritas sosial yang luhur itu merupakan hasil dari proses transedensi (hablum minallah) yang membuahkan sifat kemanusiaan yang luhur (hablum minannaas) yang bersifat serba utama.

Melalui puasa yang menumbuhkan semangat solidaritas sosial, akan tercipta kehidupan sosial yang religius, bermoral, demokratis, harmoni, kebersamaan, toleransi, dan saling menjunjung tinggi martabat kemanusiaan tanpa diskriminasi.

Nilai-nilai kebaikan tersebut bagi setiap Muslim yang berpuasa akan tercermin dalam perilaku yang tulus, jernih, kata sejalan dengan tindakan, serta tidak mengada-ada sebagai sebuah sikap yang semu dan sesaat. Dengan demikian, akan tercipta kehidupan manusia yang bermakna di dunia dan akhirat.

Semoga dengan kisah Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan sang istri tercintanya Sayyidah Fatimah Az-Zahra putri kesayangan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, menjadi pelajaran yang sangat berharga. Sehingga dapat menumbuhkan nila-nilai kepedulian terhadap sesama di bulan Ramadhan terlebih di sepuluh terakhir Ramadhan. Amiin Ya Rabbal Alamin. (A/R8/RS2)

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.