Lebih dari 300 orang tewas dan sekitar 300 terluka ketika sebuah ledakan bom truk yang kuat terjadi di Mogadishu, ibu kota Somalia, pada hari Sabtu, 14 Oktober 2017.
Serangan tersebut menjadi serangan paling mematikan yang pernah disaksikan negara Afrika Timur tersebut.
Pemerintah menetapkan tiga hari masa berkabung nasional untuk para korban.
Puluhan orang hilang, rumah sakit kehabisan darah dan kemarahan publik tumbuh.
Baca Juga: Jerman Batalkan Acara Peringatan 60 Tahun Hubungan Diplomatik dengan Israel
Tapi pengguna media sosial bertanya-tanya: Dimana kemarahan kolektif dunia?
Serangan di Somalia terjadi lebih dari satu pekan setelah penembakan mematikan di Las Vegas, Amerika Serikat, tapi banyak kalangan yang mencatat bahwa reaksi yang lebih tenang diberikan terhadap kejadian di Mogadishu.
“Dunia tidak adil, media sosial bisa membuktikan hal itu. 276 meninggal di Somalia dan kita tidak melakukan hal yang sama dengan yang kita lakukan saat Las Vegas,” tulis Eke van Victor di Twitter.
“Kami berkabung untuk Somalia, 276 tewas 300 terluka. Kami mengakui bahwa air mata kita sering terbatas pada Barat. Maafkan kami. Kami merindukan perdamaian dengan Anda,” kata Eugene Cho yang ditujukan kepada Barat.
Baca Juga: Macron akan Umumkan Perdana Menteri Baru Hari Ini
“Anda seharusnya merasa hancur karena kehilangan nyawa di Somalia, seperti pembunuhan Anda yang tidak masuk akal di Vegas,” tulis Twitter Stacey Dooley, seorang presenter televisi Inggris.
Sebagian juga menunjukkan keprihatinannya atas rendahnya tingkat liputan media dibandingkan dengan serangan mengerikan lainnya.
Komentator dan profesor hukum Khaled Beydoun mencatat bahwa serangan bom di Manchester, sebuah kota di utara Inggris, diliput lebih luas.
“Jumlah orang yang terbunuh di Somalia kemarin 10x lebih banyak dari # yang terbunuh di Manchester pada bulan Mei (230 banding 22). Tapi mendapat liputan kurang 100x,” tulis Twitter Prof. Beydoun.
Baca Juga: Suriah akan Buka Kembali Wilayah Udara untuk Lalu Lintas Penerbangan
Itayi Viriri, juru bicara Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), mempertanyakan mengapa serangan di Somalia tidak berdampak pada situs media sosial atau penghibur, yang sering menyatakan dukungan dan belasungkawa mereka terhadap korban serangan.
Clint Smith, kandidat PhD di Harvard, menulis di Twitter, “Bayangkan jika 250+ ppl di AS atau Inggris atau Perancis terbunuh dalam sebuah bom truk. Itulah yang baru saja terjadi di Somalia. Mereka pantas untuk dikenang.”
“Lebih dari 200 orang tewas dalam ledakan di Somalia, tidak ada tren twitter/berita utama, bukti bahwa dunia hanya diatur oleh politik kekuasaan, bukan oleh kemanusiaan,” kata aktor Pakistan Hamza Ali Abbasi.
Sebagian pengguna media sosial menyatakan bahwa dunia lebih peduli saat korban serangan berkulit putih.
Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari
“Kalian hanya peduli dengan hashtag kecil Anda saat orang kaya kulit putih,” tweet Lucas R.
“Contoh sempurna bagaimana solidaritas global muncul saat orang kulit putih meninggal,” kata akun bernama @lex_looper.
“500+ korban. Barat peduli dengan terorisme saat POC menyerang orang kulit putih, tapi diam saat korban yang terkena POC #Mogadishu #Somalia,” kata akun @InvictaVis.
@SimplyBerry mengatakan, “Semua brand mengintip saat orang kulit putih meninggal, tapi tidak hari ini ketika orang kulit coklat berada di Somalia.” (A/RI-1/RS3)
Baca Juga: Daftar Hitam Pelanggaran HAM Zionis Israel di Palestina
Sumber: Tulisan di Al Jazeera
Mi’raj News Agency (MINA)