Peran Pondok Pesantren dalam Pembentukan Karakter

Ada dua lembaga pendidikan yang selama ini hampir tidak pernah terlibat dalam kasus perkelahian antar pelajar di Indonesia. Yang pertama adalah dan yang kedua adalah sekolah-sekolah kristen. Mengapa kedua institusi itu bersih dari tawuran antar sesama teman pelajar maupun antar pelajar sekolah lain?

Hal ini menarik untuk kita cermati. Bagaimana kedua lembaga itu mengajarkan kepada kepada siswa/ tentang kemuliaan dan budi pekerti sehingga kelak akan mengahasilkan generasi yang berbudi luhur dan berakhlaq mulia.

Pondok pesantren adalah pendidikan paling tua warisan para ulama dan para wali zaman dulu di Indonesia, keberadaaannya pun masih tetap eksis hingga saat ini, bahkan semakin dikembangkan mengingat kemajuan peradaban manusia yang semakin maju.

Dari beberapa literatur yang penulis dapati, pondok pesantren pertama kali didirikan oleh Syaikh Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik). Ia adalah salah seorang Wali Songo dari tataran tanah Jawa. Tempat pertama yang dibangunnya adalah masjid dan pondok pesantren  di desa Sembalo. Namun sekarang, Sembalo berubah nama menjadi Leran, Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik.

Presiden Joko Widodo dalam beberapa kunjungan kerjanya sering menyempatkan diri berkunjung ke pondokan pesantren terdekat. Termasuk ketika berkunjung ke Jawa Timur pada 8-9 Maret lalu.

Jokowi mengatakan, hal-hal yang berkaitan dengan akhlak, sikap, perilaku, etika, nilai-nilai, norma-norma, itu ada dan dibangun sangat baik di pondok pesantren. Presiden juga menambahkan, pesantren memerlukan perhatian dari pemerintah, terutama dari sisi fasilitas. Ekonomi umat di dalam pondok dan sekitarnya yang sudah memiliki jaringan bisnis juga harus segera dilibatkan untuk kemajuan pesantren tersebut.

Berikut ini, penulis ingin ketengahkan peran pondok pesantren dalam membentuk para santrinya.

Filosofi Pendidikan Pondok Pesantren

Kata pondok berasal dari bahasa Arab yaitu funduq yang artinya hotel atau asrama. Mengomentari tentang filosofi kata pondok itu, Imaam Yakhsyallah Mansur, pembina Jaringan Pondok Pesantren Al-Fatah Indonesia mengatakan, seorang murid/santri tidak boleh berlama-lama tinggal di sana karena pondok sama artinya dengan hotel, yaitu sebagai tempat singgah sementara. Seorang santri harus mampu menerapkan dan mendakwahkan ilmu yang diperolehnya selama di pondok setelah dinyatakan lulus oleh sang Kyai.

Sedangkan kata Pesantren berasal dari kata santri yang mendapat awalan pe- dan akhiran –an. Artinya, itu menunjukkan makna tempat bagi para santri untuk menuntut ilmu. KH. Daud Hendi Ismail, dalam sebuah ceramahnya di Pondok Pesantren Modern Ummul Quro Al-Islami, Bogor, mengatakan, kata santri jika ditulis dalam bahasa arab terdiri dari lima huruf  (سنتري), yang setiap hurufnya memiliki pengertian yang luas yaitu;

  1. Sin (س) adalah kepanjangan dari سَافِقُ الخَيْرِ yang memiliki arti Pelopor Kebaikan.
  2. Nun (ن) adalah kepanjangan dari نَاسِبُ العُلَمَاءِ yang memiliki arti Penerus Ulama.
  3. Ta (ت) adalah kepanjangan dari تَارِكُ الْمَعَاصِى yang memiliki arti Orang yang meninggalkan Kemaksiatan.
  4. Ra (ر) adalah kepanjangan dari رِضَى اللهِ yang memiliki arti Ridho Allah.
  5. Ya (ي) adalah kepanjangan dari اَلْيَقِيْنُ yang memiliki arti Memiliki Keyainan.

Sebagai lembaga pendidikan agama dan ilmu pengetahuan, penanaman akhlak sangat diutamakan di pesantren. Akhlak kepada sesama santri, kepada masyarakat sekitar, terlebih pula kepada kyai.

Akhlak terhadap kyai sangat diutamakan, sebab dari kyailah santri memperolah ilmu pengetahuan. Durhaka kepada kyai dapat berakibat tidak berkahnya imu yang diperoleh. Jadi dalam kehidupan pesantren, penghormatan kepada kyai menempati posisi penting. Nasehat, petuah kyai selalu menjadi hal paling penting.

Saat seorang santri mendatangi kyai/ulama untuk belajar, maka hal pertama yang ia saksikan dan ia pelajari adalah akhlak ulama tersebut. Dari amal keseharian ulama itulah si anak didik belajar tentang akhlak ikhlas, sabar, tawadhu’, menjaga lisan, menjaga shalat lima waktu secara berjama’ah, dan seterusnya. Melihat, mengamati, merekam, dan mencontoh akhlak para ulama secara langsung jauh lebih membekas dalam jiwa anak didik, daripada taushiyah tentang akhlak mulia yang tidak ada contoh prakteknya dalam akhlak keseharian seorang guru.

Belajar kepada kehidupan para ulama/kyai generasi terdahulu, kita akan menemukan fakta bahwa mereka membangun pondasi akhlak mulia terlebih dulu sebelum melakukan proses transfer ilmu. Akhlak-akhlak mulia diperoleh oleh anak didik melalui pergaulan erat dengan para ulamanya.

Tradisi generasi ini mencontoh akhlak keseharian Rasulullah Muhammad SAW. Dalam surat Al-Qalam yang termasuk surat-surat yang pertama kali turun di Makkah, Allah SWT telah menegaskan keteladanan akhlak beliau. Hal itu mengisyaratkan bahwa pembinaan akhlak mulia berjalan seiring sejalan dengan pembangunan pondasi akidah yang lurus.

Para santri memiliki rasa kepatuhan (ta’dhim) dan kesopanan yang besar kepada kyai dan pengurus pondok pesantren yang tercermin hampir di setiap aktifitasnya. Para santri dengan perasaan ikhlas dan bahagia melakukan pekerjaan yang diperintahkan kyai. Para santri berdiam diri dan menundukkan kepala saat kiai lewat di hadapan mereka, para santri berebut untuk mengatur posisi sandal kyai. Budaya baik ini bertujuan agar mereka mendapatkan berkah dan ilmu yang bermanfaat, karena seperti itulah adab seorang murid kepada gurunya.

Hubungan antara santri dan kyai tidak hanya berlaku selama mereka berada dalam lingkungan pesantren, tetapi hubungan tersebut terus berlanjut meski santri tidak lagi belajar di pesantren tersebut. Pada waktu-waktu tertentu, para alumni santri sowan mendatangi kyai. Lebih jauh, hubungan santri dan kyai tidak hanya menyangkut dalam hal belajar mengajar, tetapi lebih daripada itu, dalam hal-hal pribadi, para santri juga menanyakannya kepada kyai, dan kyai pun selalu memberikan solusi tentang berbagai kesulitan yang dialami santri.

Selain itu, yang tidak kalah penting, doa para kyai kepada santri agar mereka mampu mendapatkan ilmu yang bermanfaat, menjadi insan yang berakhlakul karimah, sukses di dunia dan akhiratnya senantiasa dipanjatkan dalam setiap untaian doanya. Iringan doa tiada henti inilah yang menjadi jalinan hubungan tidak hanya secara fisik sosial, tapi juga  dalam spiritual sehingga tidak heran banyak santri yang memiliki akhlakul karimah dan meneruskan perjuangan kyai untuk  mengembangkan dakwah Islam.

Akhlaq Santri Kepada Sesama Teman dan Masyarakat

Akhlak santri terhadap sesama teman juga sangat dijaga untuk mempererat hubungan persahabatan dan pertemanan. Bahkan, tidak jarang, para alumni pondok menjodohkan putra-putri mereka untuk menjaga silaturahim dan hubungan baik di antara mereka.

Budaya makan bersama dalam pondok pesantren merupakan hal yang jarang ditemui di lembaga pendidikan lain. Hal itu akan menjadi kenangan indah para alumninya ketika mereka sudah terjun di dunia kerja dan masyarakat.

Menyebarkan salam kepada sesama teman juga merupakan budaya khas pesantren. Selain itu, adab menyangangi kepada yang lebih muda, hormat kepada senior menjadi kebiasaan para santri yang tetap dijaga hingga mereka sudah menjadi alumni.

Akhlaq kepada masyarakat sekitar juga sangat diperhatikan oleh para santri agar citra pesantren tidak luntur di mata masyarakat.

Ajaran dalam Islam untuk menghormati dan memuliakan tetangga, semangat untuk mendapat pertolongan Allah selama seseorang memberi pertolongan kepada saudara dan temannya, juga semangat untuk bergaul dengan orang-orang baik (sholih) jika ingin menjadi pribadi yang sukses.

Beberapa hal di atas hingga saat ini kita saksikan, keberadaan pesantren tetap eksis ditengah-tengah masyarakat dan hingga saat ini menjadi model terbaik bagi lembaga pendidikan dalam menanamkan karakter yang baik bagi generasi muda. (P2/RS3)

Mi’raj News Agency (MINA)

 

 

 

 

 

 

 

Wartawan: Widi Kusnadi

Editor: Bahron Ansori

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.