Memperkokoh Karakter Santri

Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita MINA (Mi’raj News Agency)

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengingatkan para agar tetap menjaga karakteristiknya sebagai santri. utama itu, menurutnya adalah kemandirian, keikhlasan dan .

Ini sejalan dengan makna lata “santri” itu sendiri, yang dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), memiliki dua pengertian, yaitu orang yang beribadah dengan sungguh-sungguh dan orang shaleh.

Zamakhsyari Dhofier berpendapat bahwa kata “santri” dalam bahasa India secara umum dapat diartikan buku-buku suci, buku-buku agama, atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.

Ada juga yang mengatakan “santri” berasal dari bahasa Jawa, yaitu “cantrik”, berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru itu pergi menetap.

Berdasaran itu, perlu terus diperkokoh karakter santri yang sangat diperlukan bagi pembentukan generasi pembangun bangsa dan umat.

Pertama, Karakter Kemandirian.

Kemandirian perilaku adalah kemampuan santri untuk mengambil dan melaksanakan keputusan secara bebas. Proses pengambilan dan pelaksanaan keputusan santri yang biasa berlangsung di dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu keputusan yang bersifat penting-insidental dan keputusan yang bersifat harian atau rutinitas.

Terutama dalam pembiasaan harian santri, santri dilatih untuk mengambil dan melaksanakan keputusan secara mandiri. Mulai dari bagaimana mengelola keuangan, perencanaan belanja, perencanaan aktivitas rutin, dan sebagainya.

Baca Juga:  Protes Mahasiswa Pro-Palestina Menyebar di Eropa

Mencuci baju sendiri, menjemur sepatu sendiri, hingga berjalan menuju klinik jika sakit, adalah kebiasaan-kebiasaan mandiri yang perlu terus dipelihara. Jangan dimanja dengan laundry, atau dicucikan orang laind engan berbayar. Ini sama saja dengan di rumah sendiri yang tinggal suruh pembantu atau malah orang tua.

Jika jiwa mandiri ini telah terpatri kuat di dalam diri santri, maka saat pulang pun ia tetap mencuci baju sendiri. Karakter mandiri sudah menjadi kebiasaannya.

Kedua, Karakter Keikhlasan.

Ini karakter utama santri yang tiada tara nilainya dibandingkan di sekolah-sekolah umum. Saat ia punya jajan lebih, rela berbagi. Ketika ada temannya belum dapat kiriman dan hendak pinjam, diberikannya.

Apalagi bila kyainya atau ustadznya memintanya beramal shaleh, membersihkan pekarangan pesantren atau di ladang milik pesantren. Para santri mengerjakannya dengan ikhlas, bahkan senang dan gembira. Ia malah menganggapnya sebagai refreshing dari keseharian baca kitab dan ngaji.

Maka, jangan heran kalau sang kyai tidak hadir tanpa memberitahu sekalipun. Maka, para santri tetap saja mengaji, seraya mendoakan semoga tidak ada apa-apa dengan kyainya, dan semoga selalu dalam penjagaan-Nya. Kegiatan belajar mengajar tetap berjalan dengan keikhlasan masing-masing, juga karena asas kemandirian tadi.

Baca Juga:  Miris, Pintar dalam Urusan Dunia Tapi Bodoh Urusan Akhirat

Jadi, kalau kita melihat para santri, hatta sudah lulus puluhan tahun sekalipun, ia selalu mencium tangan kyainya atau asatidznya, manakala bertemu. Bahkan ada yang cium tangan bolak-balik. Bukan kultus individu, tapi lebih ke bentuk takdzim, hormat dan tawadhu, serta meraih berkah ilmu dan doa dari sang guru.

Bahkan, tatkala sebagai santri diberi hukuman atau tugas yang sekiranya cukup berat. Santri pun dengan ikhlas menerimanya. Karena itu bagian dari pendidikan. Sebab ia sangat yakin apa yang dilakukan gurunya adalah untuk kebaikan dirinya.

Jika keikhlasan ini sudah menjadi habit-nya, maka ia akan menjadi manusia-manusia pembangunan yang bekerja mengemban amanat karena Allah, ikhlas bekerja dan ikhlas berbagi menyejahterakan rakyat.

Ketiga, Karakter Kesederhanaan.

Kesederhanaan dalam berkata, bertingkah laku, berpakaian dan dalam sendi-sendi kehidupan merupakan kebiasaan di lignkungan pesantren. Maka, pada umumnya walau ada santri dan kini malah banyak, dari kalangan berada, di pesantren tetap mendapat perlakuan yang sama.

Ia akan tetap menempati dipan yang sama, almari yang sama, hingga kamar mandi yang sama.

Baca Juga:  [POPULAR MINA] Serangan ke Rafah dan Aksi Muhammadiyah

Uang pun tidak boleh berlebihan dipegangnya. Ia mesti menitipkannya pada asatidz pembimbingnya. Pakaian jenis levis, model rambut punkrock, pakai tindik, apalagi tatto, atau lainnya pun ‘haram’ dipakai selama di pesantren.

Katakter hidup sederhana jika terus dikembangkan hingga ke kerja, akan menjadikannya manusia-manusia pembangunan berakhlak karimah, tidak boros, pandai berhemat, tidak akan berbuat korup.

Karakter itu semua, didapatkan santri selama mesantren melalui keteladanan kyai dan asatidznya, latihan dan pembiasaan tiap hari, tausiyah-tausiyah berkala, kedisplinan tepat waktu shalat berjamaah dan belajar, serta adanya pemberian penghargaan dan ‘hukuman’ yang mendidik.

Perilaku-perilaku seperti itu akan terus menguat seiring semakin lama di pesantren itu.

Berkaitan dengan ini, Imam Al-Ghazali menyatakan, “Sesungguhnya perilaku manusia menjadi kuat dengan seringnnya melakukan perbuatan yang sesuai dengannya, disertai ketaatan dan keyakinan bahwa apa yang dilakukannya adalah baik dan diridhai”.

Pendidikan karakter santri tersebut akan menjadi kebiasaan otomatis (habituation).

Inilah antara lain karakter yang diperlukan oleh para calon-calon pemimpin bangsa dan umat serta manusia-manusia pembangunan, yang akan membangun negerinya tercinta, dengan akhlakul karimah. Terlebih lagi di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini. Insya-Allah. (A/RS2/RI-1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.