Wartawan Bilal Abdul Kareem yang berada di Aleppo Timur menggambarkan suatu “situasi sangat menyedihkan” di sana dan meminta dibukanya koridor kemanusiaan. Inilah keadaan mengenaskan yang dia kisahkan hari Rabu (14/13) kepada Al Jazeera.
Kami semua senantiasa berdoa memohon hujan, karena jika hujan turun, pesawat-pesawat tempur tidak bisa mengudara dan pemboman terhenti untuk sementara waktu.
Kami sedang berharap hujan turun cukup lama agar kekuatan-kekuatan di dunia bisa berbuat sesuatu untuk menolong 150.000 warga sipil yang terjebak di daerah sempit di Aleppo, menghindarkan diri dari pembunuhan.
Situasi di Aleppo timur sangat memilukan. Orang-orang yang mencari perlindungan membanjir ke wilayah ini, berdesakkan di areal yang hanya sekitar 10 kilometer persegi. Juga ada banyak bayi dan anak-anak di sini.
Baca Juga: Tak Ada Tempat Aman, Pengungsi Sudan di Lebanon Mohon Dievakuasi
Warga datang dengan tiga atau empat anak, melarikan diri dari pasukan pemerintah. Mereka memakai kereta dorong untuk membawa anak-anaknya, dan barang-barang yang bisa mereka bawa – beberapa helai pakaian, sedikit peralatan masak dalam kantong-kantong plastik dan barang-barang keperluan lainnya.
Saya memutuskan untuk pergi ke Aleppo beberapa pekan lalu. Saya berencana berada di sini bersama dua awak saya untuk beberapa hari. Saya tidak berkeinginan berada di daerah ini terlalu lama. Tetapi saya juga sadar bahwa datang ke sini sangat berisiko.
Membuat laporan dari daerah-daerah konflik adalah berbahaya, tetapi menyampaikan kebenaran kepada dunia merupakan hal penting. Namun, sebagian besar warga di sini tidak memiliki pilihan lain. Mereka terperangkap dalam mimpi buruk yang berlawanan dengan keinginan mereka.
Di sini sangat dingin. Tempat saya tinggal tak memiliki dinding yang memadai – saya menggantung lembaran-lembaran plastik untuk menutup lubang-lubang besar akibat serangan udara baru-baru ini.
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Warga Suriah yang berbesar hati memperlakukann saya – seorang wartawan dan satu-satunya orang Amerika hitam di kota ini – dengan sangat baik. Mereka tahu saya bisa menyiarkan kisah-kisan mereka kepada dunia hanya jika mereka mengijinkan saya mengisi baterai telepon dan laptop saya di tempat sempit yang ada generator dan bahan bakar.
Harga makanan kecil yang masih ada tidaklah terlalu mahal, karena orang-orang ini tak ingin mengambil keuntungan dari satu sama lainnya, tetapi tak terlalu banyak yang dijual dan setiap orang kelaparan.
Untuk keperluan memasak, warga menggunakan perabot rumahtangga yang rusak sebagai kayu bakar, menyusun tungku dari bata dan beberapa batu, untuk menaruh panci di atasnya dan kemudian menyalakan api.
Menu makanan sangat terbatas: roti, kurma dan tepung bulgur, karena tak ada beras. Sejumlah sumbangan adalah bulgur, tetapi nyaris tak mencukupi. Sebagian besar warga tak memiki akses ke air bersih.
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Bahkan memasak harus dilakukan dengan bersembunyi, untuk menghidari pesawat-pesawat tempur pemerintah, atau mereka yang lapar dan tak memiliki makanan sendiri.
Serangan-serangan udara tak pernah berhenti. Mereka beroperasi dengan menggunakan metode “ “double tap” yang dirancang untuk membunuh orang Samaritan yang datang guna membantu orang yang terluka. Mereka datang menyerang kemudian menunggu sejenak, ketika warga berkumpul kembali untuk mengambil sisa-sisa barang dari reruntuhan, mereka melancarkan lagi serangan.
Di malam hari, jalan-jalan kosong. Pesawat terbang rendah dan melayang-layang di seputar kota, menyasar apa saja yang bergerak. Jika anda harus keluar tempat persembunyian, dengarkan dengan hati-hati dan tunggu sampai pesawat-pesawat itu lewat sebelum berlari dari satu blok ke blok lainnya, merunduk di bawah bayang-bayang.
Rumahsakit hancur
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
Keadaan sulit bagi orang-orang yang cedera. Semua rumahsakit di Aleppo timur telah dibombardir dan sejak dua minggu lalu, tak ada lagi yang berfungsi. Yang masih ada saat ini adalah klinik-klinik yang muncul di lokasi-lokasi bawah tanah.
Tidak mudah untuk mencapai klinik. Kelompok “Helm Putih” yang berani tak lagi bisa bertugas: ambulans-ambulans mereka tak dapat dijalankan tanpa bahan bakar atau takut menjadi sasaran.
Beberapa petugas dari kelompok itu nekat membawa warga yang cedera ke klinik dengan mobil atau truk-truk terbuka, jika mereka memiliki sisa cadangan minyak. Saya bahkan melihat orang-orang memakai troli untuk mengangkut pasien yang luka berat.
Jika anda berhasil mencapai “klinik-klinik” itu, mimpi buruk baru menanti anda di sana – klinik penuh orang, berbaring di lantai dalam genangan darah. Terlalu banyak darah sehingga para dokter dan perawat mengenakan sepatu boot agar mereka bisa bergerak dari satu pasien ke pasien lainnya.
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
Klinik-klinik itu tak bisa menawarkan apapun di luar perawatan medis darurat, menjahit luka dan berusaha melakukan operasi-operasi yang amat mendesak. Tujuan mereka hanyalah menghentikan perdarahan, mereka tak dapat berbuat lebih dari itu.
Ketika dokter sudah mampu menghentikan perdarahan, pasien harus pergi. Klinik-klinik itu adalah tempat berbahaya. Lebih banyak manusia diobati di suatu tempat, lebih mungkin lagi klinik itu dijadikan sasaran bom.
Pemerintah Suriah membuka sebuah koridor bagi warga untuk melarikan diri. Mungkin 50 ribu sampai 60 ribu orang mengambil peluang itu. Tetapi penduduk masih membanjir ke daerah kami karena pemerintah terus mendesak mereka. Warga sipil setempat lebih suka menghadapi bom dan keadaan berbahaya daripada dilenyapkan.
Fakta bahwa tentara Suriah telah membunuh setengah juta rakyat negeri itu menjadi hambatan yang sangat besar. Laporan-laporan yang kini kami dengar adalah ratusan warga hilang di suatu tempat, dan sejumlah orang dibariskan untuk dieksekusi. Itu hanya menambah ketakutan warga untuk melarikan diri.
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
Keadaan saat ini sangat memilukan. Hujan akan segera berhenti dan serangan akan dimulai lagi. Kini harus ada sebuah koridor kemanusiaan. Hari ini. Besok akan sangat terlambat bagi kami. (R01/ P2)
Sumber: Al Jazeera News
Miraj Islamic News Agency/MINA
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel