PM Palestina Serukan Uni Afrika Tarik Status Anggota Pengamat Israel

Perdana Menteri Mohammad Shtayyeh (barisan depan, keempat dari kiri) pada KTT Uni Afrika di Addis Ababa, Sabtu (5/2/2022). (Foto: WAFA)

, MINA – Perdana Menteri Muhammad Shtayyeh meminta untuk mencabut status pengamat kepada Israel, Kantor Berita WAFA melaporkannya, Sabtu (5/2).

Dia menekankan, menerima Israel sebagai pengamat di Uni Afrika akan menjadi hadiah yang tidak pantas bagi berbagai pelanggaran yang dilakukannya dan untuk rezim apartheid yang diterapkannya pada rakyat Palestina.

“Berdasarkan posisi historis yang Anda nyatakan dan dukungan Anda untuk hak Palestina, dan berdasarkan keputusan yang relevan dari PBB dan Majelis Uni Afrika sebelumnya. Kami menyerukan penarikan dan keberatan atas status pengamat Israel di Uni Afrika. Kami percaya bahwa pemberian status pengamat Israel di Uni Afrika adalah hadiah yang tidak layak,” tegas Shtayyeh pada pertemuan puncak Uni Afrika di ibu kota Ethiopia, Addis Ababa, Sabtu (5/2).

Mewakili Presiden Mahmoud Abbas, dia menyatakan, keputusan tersebut sebenarnya adalah hadiah yang mendorong Israel untuk terus melanggar perjanjian internasional dan melanggar semua perjanjian dengan Palestina.

“Dengan imbalan ini, Israel memperoleh kekebalan hukum dan tidak bertanggung jawab. Saya yakin dengan kebijaksanaan dan penilaian batin Anda,” ujarnya.

Menurut Shtayyeh, Israel seharusnya tidak pernah diberi penghargaan atas pelanggarannya dan atas rezim apartheid yang diterapkannya pada rakyat Palestina.

“Keyakinan kami terletak pada keselarasan Anda dengan prinsip-prinsip kebenaran, kebebasan, perdamaian, dan keadilan. Kami yakin dengan kesediaan Anda untuk mendukung rakyat Palestina di bawah pendudukan Israel yang berkepanjangan,” katanya.

PM Palestina meminta Uni Afrika, sebaliknya, untuk mengutuk Israel atas berbagai kejahatan penganiayaan dan sistem apartheid yang diberlakukan terhadap rakyat Palestina.

“Uni Afrika terus-menerus menentang kolonialisme dan apartheid. Uni Afrika juga harus terus-menerus menolak dan mengutuk kebijakan dan praktik diskriminatif Israel. Ini waktu tepat untuk mengutuk Israel atas kejahatan penganiayaan dan apartheidnya,” pungkasnya.

Sthayyeh menambahkan, dalam upaya mengakhiri pendudukan kolonial Israel dan memungkinkan rakyat Palestina memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri untuk mewujudkan kemerdekaan Negara Palestina di perbatasan 4 Juni 1967, dengan Yerusalem Timur sebagai ibukotanya. Serta untuk mengizinkan kembalinya para pengungsi Palestina.

Status Pengamat

Pada 22 Juni 2021 lalu Israel memperoleh status pengamat di Uni Afrika yang telah diperjuangkannya selama bertahun-tahun.

Sebagian besar negara Afrika sekarang memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, tetapi tidak selalu demikian. Setelah Perang Yom Kippur pada 1973, negara-negara Afrika, kecuali empat negara, memutuskan hubungan diplomatik mereka, yang secara bertahap memulihkan lagi setelah dua dekade.

Israel yang memelihara hubungan dengan 46 negara di Afrika kini memiliki status pengamat dalam Organisasi Persatuan Afrika (OAU) hingga transformasinya menjadi Uni Afrika pada 2002. Sedangkan ”wilayah Palestina” sendiri sudah menikmati status pengamat ini di Uni Afrika, di mana ia memiliki dukungan yang signifikan, terutama dalam hal-hal yang berkaitan dengan konflik Israel-Palestina.

Sementara Aljazair sejak menjadi negara yang merdeka telah memperjuangkan ’hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri’ khususnya bagi rakyat Palestina. Dan Aljazair tidak pernah menjalin hubungan diplomatik dengan Israel, yang disebutnya sebagai ’entitas Zionis.’

Sementara normalisasi hubungan diplomatik baru-baru ini antara Maroko dan Israel, adalah ”imbalan” atas pengakuan Amerika Serikat atas kedaulatan Maroko di Sahara Barat, namun mendapat kecaman Aljazair, yang menyebutnya sebagai ’manuver asing.’ (T/R1/RS2)

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.