Sepak Bola, Dakwah dan Persatuan

Oleh: Widi Kusnadi, wartawan MINA

merupakan olah raga yang paling digemari rakyat Indonesia. Topik-topik tentang dunia si kulit bundar juga menjadi yang paling banyak dibicarakan masyarakat Indonesia setelah politik. Mulai dari restoran mewah, program-program stasiun televisi, media sosial, hingga warung kopi, nasi goreng dan mie rebus di perkampungan dan gang-gang sempit, membicarakan sepak bola, apalagi jika berlangsung perhelatan piala dunia.

Klub-klub sepak bola tanah air memiliki jutaan pecinta. Mereka membuat dan menamai komunitas masing-masing untuk memberi semangat tim kesayangannya ketika berlaga. Para pecinta olah raga itu tidak sekadar disebut penggemar, bahkan hingga disebut sebagai pecandu bola, karena saking cintanya kepada olah raga tersebut.

Meski menjadi yang paling populer di antara olah raga lainnya, prestasi timnas sepak bola Indonesia belum sesuai harapan para pecandunya. Bahkan ada celoteh di media sosial dari seorang pecandu bola yang menyatakan,”Sudah minim prestasi, besar anggaran, ditambah lagi begitu murah nyawa melayang karenanya.”

Tentu pernyataan itu bukan bentuk ejekan atau kebencian. Tetapi sebaliknya, itu merupakan bentuk kerinduan dari seorang pecandu bola Indonesia yang rasanya sudah tidak sabar lagi melihat timnas kesayangannya berlaga di perhelatan terbesar dunia, FIFA World Cup, bertanding melawan tim-tim Eropa dan Amerika.

Kerinduan dari para pecinta bola terkadang harus dibayar mahal dengan kerelaan membayar tiket hingga jutaan rupiah demi menonton secara langung tim kesayangannya ketika sedang berlaga.  Meski harus “merogoh kantong dalam-dalam” untuk dapat menyaksikan langsung di stadion, terkadang nyawa menjadi taruhannya jika ada kerusuhan terjadi.

Tragedi Kanjuruan, Malang yang menyebabkan meninggalnya ratusan supporter Aremania menjadi bukti pilu, betapa orang rela melakukan hal-hal di luar batas nalar. Meski Sebagian orang menilai, hal itu akibat kelalaian petugas dan panitia penyelenggara dalam mengantisipasi segala kemungkinan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.

Penulis sendiri merupakan penggemar sepak bola, meski tidak sampai menjadi pecandu. Penulis melihat, sepak bola bukan sekadar bisa dinikmati keindahan permainannya, tetapi juga bisa sebagai sarana . Bahkan olah raga itu bisa sebagai referensi dalam menambah semangat dalam bekerja, memetik pelajaran dari nilai-nilai yang ada di dalamnya, seperti kerja sama tim, fair play hingga dan kesatuan, atau dalam istilah islaminya, berjamaah.

Bola yang Bulat, Simbol Persatuan

Dalam ilmu fisika, sesuatu yang berbentuk bulat akan lebih mudah bergerak menggelinding dibandingkan bentuk lainnya. Selain bulat, bola harus bersifat padat, namun tidak boleh keras agar tidak ambyar ketika ditendang, dan kaki pemain tidak kesakitan ketika menendang bola.

Bentuk bola yang mudah move on dan sifatnya yang padat, tapi tidak keras merupakan ibrah bagi perjalanan karir dan hidup seseorang. Seseorang yang bisa beradaptasi dengan lingkungan, bersikap lentur, namun tetap tidak berubah prinsip, kemungkinan besar ia akan berhasil dalam karir dan hidupnya.

Dalam istilah Bahasa Jawa, bulat disebut golong, yang melambangkan persatuan dan kebulatan tekad. Biasanya, kata golong digunakan untuk menyebut nasi yang dihimpun (sego golong) seperti dalam lagu Pitik Walik Jambul.  Golong juga sering digunakan untuk menggambarkan sebuah kelompok yang berkumpul dan bersatu.

Seseorang yang ingin mendapat hasil maksimal dalam pekerjaannya, maka ia harus bulat tekadnya, tanpa ada keraguan dalam hatinya. Keragu-raguan hanya akan menyebabkan hati menjadi bimbang, goyah pendirian dan akhirnya, pekerjaan berhenti di tengah jalan.

Dalam skala besar, sebuah keberhasilan dalam pekerjaan juga ditentukan oleh faktor persatuan dan kerja sama dengan pihak-pihak terkait. Persatuan juga menjadi inti dari falsafah bangsa kita, tercantum dalam sila ketiga dari Pancasila, Persatuan Indonesia.

Sepak bola dimainkan secara berjamaah, yakni dalam sebuah tim yang terdiri atas sebelas orang. Masing-masing memiliki tugas dan fungsi sendiri sesuai posisinya masing-masing. Untuk dapat memenangkan pertandingan, tim harus bersatu, bekerja sama, berbagi peran, mengatur strategi dan ritme permainan agar mampu mengalahkan lawan mainnya.

Dalam permainan sepak bola, persiapan matang, ketahanan fisik, strategi jitu dari Sang pelatih, kejelian melihat peluang dan kesabaran dalam mengatur ritme permainan sangat menentukan kemenangan. Hal itu sebenarnya merupakan nilai-nilai yang bisa diterapkan dalam dunia nyata.

Siapa saja yang ingin sukses, harus juga mempersiapkan diri sebagaimana tim sepak bola. Seorang penggemar atau pecandu sepak bola seharusnya bisa menerapkan nilai-nilai permainan sepak bola dalam pekerjaannya. Belum dikatakan pecandu bola, jika ia masih mengandalkan otot dan emosi dalam hidupnya. Karena sepak bola bukan sekadar adu kekuatan fisik, tapi adu strategi, kesabaran, dan kematangan mengelola emosi.

Beberapa pakar psikologi menyimpulkan, orang-orang yang memiliki hobi atau pecinta sepak bola, mereka lebih mudah bekerja sama secara tim dalam pekerjaannya. Hal ini berbeda dengan penggemar renang, catur, atau olah laga lainnya yang mengandalkan kemampuan individu. Mereka cenderung bekerja sendiri sesuai bakat dan kemampuan  masing-masing.

Supporter yang berbuat anarkis ketika timnya kalah, sesungguhnya ia hanya akan merugikan diri sendiri dan merusak reputasi tim kesayangannya. Maka, orang-orang yang berbuat anarkis, patut diragukan kecintaan dan kesetiannya kepada tim, karena hakikatnya ia adalah perusak, bukan pecinta.

Dakwah dalam Sepak Bola

Sepak bola yang menjadi buah bibir banyak orang, dengan jutaan pecintanya sesungguhnya merupakan ladang dakwah yang potensial. Penggunaan ajang sepak bola sebagai sarana dakwah menjadi pilihan bagi siapa saja yang mampu memanfaatkannya secara maksimal.

Di tanah air, organisasi keagamaan terkaya, Muhammadiyah melirik sepak bola sebagai sarana dakwahnya. Di Jawa Timur, Muhammadiyah memiliki Hizbul Wathan Football Club (FC) dan Semeru FC. Bagi mereka, lapangan hijau bukan sekadar sarana berprestasi, juga bisa menjadi sarana sehat jiwa raga dan dakwah kepada masyarakat, wabil khusus bagi kawula muda.

Beberapa pelatih timnas Indonesia juga mendakwahkan nilai-nilai Islami kepada para pemain timnas. Sebutlah Coach Bima Sakti yang menggemleng timnas U-16 tidak hanya skill dan fisiknya, tetapi juga mentalnya melalui shalat berjamaah dan baca Al-Quran bagi para pemain Muslim. Sebelumnya, Coach Indra Sjafri juga melakukan hal serupa. Demikian pula di era 1998 an, kita mengenal Almarhum Coach Rusdi Bahalwan yang lekat dengan semangat dakwahnya kepada para pemain timnas.

Dalam skala internasional, pemain-pemain Muslim seperti Muhammad Salah, Sadio Mane, Paul Pogba, dan lainnya menjelma menjadi ikon pendakwah bagi kalangan pemain dan superter timnya. Selebrasi dengan cara bersujud setelah mencetak gol menjadi ciri khas mereka, menunjukkan kerendahan hati, sekaligus menyampaikan pesan bahwa ada faktor Allah Yang Mahakuasa dibalik prestasi mereka.

Islamophobia yang sebelumnya menjangkiti banyak manusia di negara-negara Eropa kini perlahan namun pasti mulai luntur seiring banyaknya para pemain Muslim yang merumput di klub-klub top Benua Biru itu.

Tidak hanya di kalangan pemain, beberapa klub sepak bolanya juga sudah dimiliki oleh pengusaha Muslim. Lihatlah Manchaster City yang sekarang sahamnya dimiliki Sulaiman Al-Mansur (Uni Emirat Arab). Di dalam stadion itu, kini tersedia masjid yang bisa digunakan pemain dan supporter untuk beribadah.

Dahsyatnya dakwah sepak bola juga berimbas pada sejumlah kebijakan Federasi Sepak Bola Eropa. Asosiasi Sepak Bola Inggris (FA) bahkan membuat kebijakan yang melarang perayaan gelar juara menggunakan minuman sampanye beralkohol. Peraturan tersebut dikeluarkan untuk menghormati para pemain Muslim yang berkarier di Negeri Ratu Elizabeth II itu.

Sepak bola juga dapat digunakan sebagai ajang mempromosikan nilai-nilai kemanusiaan. Spirit sepak bola yang menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran dan sportifitas sangat relevan dengan nilai-nilai kemanusiaan.  Prestasi memang yang utama, tetapi nilai-nilai kemanusiaan berada di atas segalanya, termasuk olah raga sepak bola.

Maka, penolakan timnas Israel dalam ajang Piala Dunia U-20 yang akan berlangsung di Indonesia pada 2023 mendatang layak tersu dikumandangkan. Negara penjajah, apharteid yang melanggar HAM tidak pantas bersanding, berdampingan dengan negara-negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Bendera negara penjajah Zionis Israel tidak layak berkibar di negeri Indonesia yang memiliki slogan anti penjajahan. Sejak kepemimpinan Presiden Soekarno hingga Pesiden Joko Widodo saat ini, Indonesia tetap tegas menolak penjajahan. Itu artinya, negeri ini tidak sudi menyambut datangnya Zionis Israel. (A/P2/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Widi Kusnadi

Editor: Rana Setiawan

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.