Soal Sertifikat Halal Produk Nabidz, MUI: Menyalahi Standar Halal, Kami Tak Bertanggung Jawab

(Foto: Istimewa)

Jakarta, MINA – Ketua Majelis Ulama Indonesia () Bidang Fatwa, KH. Asrorun Niam Sholeh, menegaskan, MUI tidak pernah menetapkan kehalalan atas produk NABIDZ.

Oleh karenanya, MUI tidak bertanggung jawab atas terbitnya produk NABIDZ.

“Sesuai pedoman dan yang dimiliki MUI, MUI tidak menetapkan kehalalan produk yang menggunakan nama yang terasosiasi dengan yang haram. Hal ini termasuk dalam hal rasa, aroma, dan kemasan seperti wine. Apalagi jika prosesnya melibatkan fermentasi anggur dengan ragi, persis seperti pembuatan wine,” tegas Kiai Niam dalam keterangan tertulis yang diterima MINA, Rabu (26/7).

Pernyataan MUI tersebut dalam merespon hal yang ramai di jagat maya baru-baru ini terkait dengan produk Jus Buah Anggur NABIDZ yang telah mendapatkan sertifikat , meski dari segi kemasan, warna, dan rasa dianggap menyerupai wine.

Dilansir dari akun Instagram @adityadwiputras menyebut minuman tersebut sebagai wine halal. “Wine halal? Kok bisa? Yes! Dengan biotechnology dan di istihalahkan dengan ilmu fiqih, Alhamdulillah sudah dibuat sedemikian rupa hingga teruji dan tersertifikasi halal oleh MUI.”

Kiai Naim menyampaikan, Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2003 tentang Standardisasi Fatwa Halal menyebutkan empat kriteria penggunaan nama dan bahan, diantaranya:

Pertama, tidak boleh mengkonsumsi dan menggunakan nama dan/atau simbol-simbol makanan/minuman yang mengarah kepada kekufuran dan kebatilan.

Kedua, tidak boleh mengkonsumsi dan menggunakan nama dan/atau simbol-simbol makanan/minuman yang mengarah kepada nama-nama benda/binatang yang diharamkan terutama babi dan khamr, kecuali yang telah mentradisi (‘urf) dan dipastikan tidak mengandung unsur-unsur yang diharamkan seperti nama bakso, bakmi, bakwan, bakpia dan bakpao.

Ketiga, tidak boleh mengkonsumsi dan menggunakan bahan campuran bagi komponen makanan/minuman yang menimbukan rasa/aroma (flavour) benda-benda atau binatang yang diharamkan, seperti mie instan rasa babi, bacon flavour, dan lain-lain.

Keempat, tidak boleh mengkonsumsi makanan/minuman yang menggunakan nama-nama makanan/minuman yang diharamkan seperti whisky, brandy, beer, dan lain-lain.

“Selain itu, yang juga perlu menjadi perhatian khusus untuk produk minuman adalah kadar alkohol/etanol dalam minuman,” tutur Kiai Naim.

Fatwa MUI Nomor 10 Tahun 2018 tentang Produk Makanan dan Minuman yang Mengandung Alkohol/Etanol menyebutkan bahwa minuman beralkohol yang masuk kategori khamr adalah minuman yang mengandung alkohol/etanol (C2H5OH) minimal 0.5 %. Minuman beralkohol yang masuk kategori khamr adalah najis dan hukumnya haram, sedikit ataupun banyak.

“Melihat dari dua fatwa tersebut, berarti ada persyaratan yang tidak terpenuhi pada produk NABIDZ. Pertama, terkait dengan bentuk kemasan dan sensori produk. Kedua, produk minuman telah melalui serangkaian proses sehingga diperlukan uji etanol. Oleh karenanya, produk seperti ini seharusnya tidak bisa disertifikasi melalui jalur self declare,” ungkap Kiai Niam.

Pihaknya mengimbau agar seluruh masyarakat muslim tetap kritis terhadap produk yang akan dikonsumsinya.(R/R1/P2)

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Rana Setiawan

Editor: Widi Kusnadi

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.