Tulungagung, MINA – Staf Khusus Menteri Agama RI Bidang Media dan Komunikasi Publik Wibowo Prasetyo mendorong media bisa bersinergi dengan berbagai kalangan dalam membangun narasi Islam yang memberi kerahmatan bagi semesta alam (rahmatan lilalamin).
Menurutnya, media massa maupun media sosial kian memiliki peran strategis dalam memperkuat kampanye Islam yang ramah di era digital. Hak tersebut terbukti efektif dalam membendung isu-isu ekstremisme berbalut ajaran Islam yang masih marak saat ini.
“Islam yang dipersepsikan kaku dan tidak ramah ini masih saja terus bermunculan dan tertanam di benak sebagian publik. Ini yang menjadi tantangan kita untuk merespons dan menunjukkan bahwa ajaran Islam itu sangatlah ramah dan menjunjung tinggi perdamaian, keadilan dan kemanusiaan,” ujar Wibowo pada Workshop Penguatan Sindikasi Media untuk Membangun Islam Ramah di UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung, Sabtu (16/9).
Fenomena ini, ujar Wibowo, menjadi tantangan besar bagi pengelola media maupun masyarakat di Indonesia.
Baca Juga: Jawa Tengah Raih Penghargaan Kinerja Pemerintah Daerah 2024 untuk Pelayanan Publik
Di sisi lain, publik sebagai pengguna media sosial terbanyak juga memiliki peran efektif dalam mengampanyekan Islam yang ramah dengan mengedepankan sikap moderat.
Pada dua target sasaran kampanye tersebut, posisi para akademisi muslim sangatlah strategis dalam memberikan pencerahan. Lahirnya jaringan media di bawah naungan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) di Indonesia juga semakin memperkuat kampanye besar itu.
“Sindikasi media yang dimiliki PTKIN ini sangatlah tepat menjadi medium untuk terus menggelorakan Islam yang ramah, toleransi dan moderasi beragama,” katanya.
Wibowo juga menilai, wajah Islam Indonesia saat ini masih dipenuhi konten-konten yang mengedepankan aspek verbal. Ini antara lain dikuatkan dari riset Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta pada 2021 yang menunjukkan bahwa sebanyak 45 persen tayangan keislaman di televisi masih berisi program ceramah. Program talkshow juga tinggi yakni 36 persen, feature (15%) serta pengobatan dan semi dokumenter (2%).
Baca Juga: Cuaca Jabodetabek Berawan Jumat Ini, Hujan Sebagian Wilayah
“Wajah keislaman kontemporer masih dipenuhi ‘pengajian’ bukan ‘pengkajian’. Saatnya ceramah dan khotbah perlu diperkuat dengan dukungan riset, studi dan refleksi keagamaan yang mendalam,” paparnya.
Wibowo berharap, situasi saat ini menjadi refleksi sekaligus evaluasi khususnya bagi cendekiawan Islam. Dia mendorong di era digital ini, Indonesia mampu melahirkan para sarjana Islam yang brilian dan mumpuni layaknya yang pernah terukir era 1970-1990.
“Saya yakin jika itu terwujud maka dunia pemikiran Islam akan tumbuh dan berkembang dengan sehat sehingga wajah Islam Indonesia yang kian ramah juga tercipta,” pungkasnya. (R/R5/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Bedah Berita MINA, Peralihan Kekuasaan di Suriah, Apa pengaruhnya bagi Palestina?