Oleh Lili Ahmad, Manajer MINA Publishing House
Persatuan umat Islam, sebuah cita-cita luhur yang terhampar dalam khazanah teologis dan sosial, sering kali terjalin dalam tataran wacana tanpa menjelma dalam realitas. Dalam pandangan yang lebih dalam, psikoanalisis menawarkan perspektif menarik untuk merenungi relasi psikologis yang tersirat di balik konflik dan perpecahan yang menggerogoti kesatuan umat. Melalui lensa ini, kita dapat memahami simpul-simpul psikis yang menghambat, sekaligus mengurai jalur menuju kesatuan yang lebih hakiki.
Manusia, dalam segala dinamika batinnya, dikendalikan oleh tiga entitas yang membentuk kepribadian: id, ego, dan superego (Sigmund Freud). Konsep ini, jika diangkat ke ranah kolektif, dapat menjadi kunci untuk memahami gejolak yang melanda umat Islam.
- Id, bagian terdalam dari jiwa, mewakili hasrat purba yang liar dan tak terkendali. Dalam wacana umat, id muncul sebagai egoisme sektarian, kehausan akan dominasi, dan ketamakan akan kekuasaan. Sejarah mencatat konflik yang mencabik tubuh umat, dari sekat-sekat mazhab hingga rivalitas politik, sebagai manifestasi dari id yang tak terkendali, saat dorongan naluriah untuk menang menutupi seruan untuk bersatu.
- Ego, sang mediator, berusaha menyeimbangkan tarikan id dengan kenyataan eksternal. Di sinilah terletak potensi bagi umat untuk menemukan keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan panggilan kolektif. Namun, ketika ego kelompok tergelincir dalam ilusi kekuasaan, perselisihan, dan friksi terus membayang, menjadikan persatuan sebagai cita-cita yang menjauh.
- Superego, ruh moralitas yang menjulang tinggi, adalah penerang jalan bagi umat. Ajaran-ajaran Islam yang sarat dengan nilai-nilai kasih sayang, keadilan, dan persaudaraan adalah manifestasi dari superego kolektif. Akan tetapi, sering kali dorongan-dorongan luhur ini terselubung oleh kabut kepentingan id dan ego sehingga nilai-nilai persatuan sekadar menjadi kata-kata yang kehilangan daya pikatnya.
Psikoanalisis memperkenalkan kita pada konsep mekanisme pertahanan, alat-alat yang digunakan oleh ego untuk melindungi diri dari kecemasan batin. Salah satu mekanisme yang lazim terjadi dalam perpecahan umat adalah penyangkalan (denial). Banyak kelompok yang memilih mengabaikan perpecahan, menutup mata terhadap kenyataan bahwa umat tengah terpecah belah. Mereka menggenggam retorika romantis tentang kesatuan, sementara di kedalaman batin, kebencian dan permusuhan terus berdenyut.
Baca Juga: Ini Doa Terbaik Dari Keluarga untuk Jamaah Yang Pulang Umrah
Mekanisme lain yang tak kalah penting adalah proyeksi. Dalam dinamika ini, kelompok atau individu menolak untuk mengakui kesalahan atau ketakutan mereka sendiri, dan sebaliknya, melemparkannya kepada pihak lain. Dalam perpecahan umat, proyeksi ini sering kali mengemuka dalam bentuk tuduhan terhadap kelompok lain, menuding mereka sebagai penyebab segala ketidakstabilan. Ini menimbulkan ilusi bahwa perpecahan datang dari luar, alih-alih dari dalam.
Namun, psikoanalisis tidak berhenti pada kegelapan. Ia menawarkan konsep sublimasi, yaitu kemampuan untuk mengubah dorongan-dorongan destruktif menjadi energi yang lebih mulia. Dalam konteks persatuan umat, sublimasi bisa diartikan sebagai transformasi egoisme sektarian, perebutan kekuasaan, dan konflik menjadi hasrat kolektif untuk kebaikan, keadilan, dan kesejahteraan.
Di sinilah letak harapan: bahwa umat Islam, melalui sublimasi psikis, dapat mengarahkan potensi-potensi negatif yang berakar dalam id mereka ke dalam tindakan-tindakan yang mendukung harmoni dan persaudaraan. Ini bukan sekadar perubahan sikap, melainkan metamorfosis batin yang memungkinkan persatuan tumbuh dari dalam, berakar pada kesadaran kolektif yang sehat.
Persatuan umat Islam bukanlah sekadar persoalan sosial atau politis; ia adalah proses psikis yang mendalam. Dalam kacamata psikoanalisis, persatuan hanya mungkin tercapai jika umat mampu merenungkan dinamika id, ego, dan superego dalam tubuh kolektifnya. Penyangkalan dan proyeksi, yang selama ini menyelubungi pandangan umat, harus dilepaskan, dan sublimasi harus menjadi jalan yang ditempuh untuk mencapai kesatuan yang sejati.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-21] Tentang Istiqamah
Dengan kata lain, persatuan umat Islam menuntut perjalanan batin yang panjang dan berliku, ketika egoisme kelompok harus dihadapkan pada cermin diri, dan dorongan-dorongan destruktif harus diubah menjadi hasrat untuk kebajikan bersama. Persatuan sejati bukanlah ilusi retorik, melainkan buah dari transformasi psikologis dan spiritual yang mendalam.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Hijrah Hati dan Diri: Panduan Syariah untuk Transformasi Spiritual dan Pribadi