Transformasi dan Tantangan Standar Nasional Pendidikan Tinggi

Foto: Kemendibud

Oleh: Sajadi, Wartawan MINA

Tinggi dianggap bersifat kaku dan rinci sehingga kampus-kampus kurang leluasa merancang proses dan bentuk pembelajaran sesuai kebutuhan keilmuan serta perkembangan teknologi.

Contohnya, syarat kelulusan yang tidak relevan dengan zaman dan alokasi waktu yang diatur sampai per menit perpekan dalam satu satuan kredit semester (sks).

Padahal pendidikan tinggi dianggap memiliki potensi dampak tercepat dalam membangun sumber daya manusia yang unggul dan sebagai tulang punggung inovasi.

Selain itu, pendidikan tinggi adalah jenjang yang paling dekat dengan dunia kerja dan sehingga lulusannya dituntut untuk dapat berkontribusi dengan baik.

Lalu bagaimana pemerintah Indonesia, khusunya Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) membuat terobosan melalui kebijakan-kebijakan nya untuk memecahkan persolan tersebut?

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim mengatakan, dalam kebijakannya ia meletakkan titik berat pada transformasi di jenjang pendidikan tinggi, khusunya melalui Kebijakan .

Hadirnya kebijakan Merdeka Belajar pada 2019, 10 dari 26 episodenya berfokus pada transformasi pendidikan tinggi, termasuk kebijakan Merdeka Belajar Episode Ke-26 yang telah diluncurkan pada 29 Agustus 2023.

Episode tersebut mengandung dua hal fundamental dari kebijakan yang memungkinkan transformasi pendidikan tinggi melaju lebih cepat lagi, yakni Transformasi Standar Nasional dan Akreditasi Pendidikan Tinggi.

Transformasi dalam dua aspek tata kelola pendidikan tinggi tersebut dituangkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.

Baca Juga:  Sejarah Hardiknas, Mengenang Bapak Pendidikan Indonesia 

Transformasi Standar Nasional Pendidikan Tinggi yang baru disebut akan lebih memerdekakan dan berfungsi sebagai pengaturan framework serta tidak lagi bersifat preskriptif dan detail.

Dijelaskan bahwa transformasi terjadi pada pengaturan lingkup standar, standar kompetensi lulusan, serta standar proses pembelajaran dan
penilaian.

Dalam lingkup standar, transformasi yang dilakukan, antara lain memangkas standar penelitian dan standar pengabdian kepada masyarakat dari delapan standar menjadi tiga standar.

Hal tersebut dinilai akan memberikan ruang lebih luas kepada perguruan tinggi untuk mendefinisikan kegiatan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat sesuai misinya serta situasi dan kondisi setempat dan mengurangi beban pelaporan dalam proses akreditasi.

Untuk standar kompetensi lulusan, transformasinya, antara lain adalah kompetensi tidak lagi dijabarkan secara rinci, perguruan tinggi dapat merumuskan kompetensi sikap, pengetahuan dan keterampilan secara terintegrasi, tugas akhir dapat berbentuk prototipe, proyek, atau bentuk lainnya, tidak hanya skripsi/tesis/disertasi dan jika program studi sarjana/sarjana terapan sudah menerapkan kurikulum berbasis proyek atau bentuk lain yang sejenis, maka tugas akhir dapat dihapus/tidak lagi bersifat wajib dan untuk mahasiswa program magister/magister terapan serta doktor/doktor terapan wajib diberikan tugas akhir, namun tidak wajib diterbitkan di jurnal.

Dampak positif dari perubahan tersebut adalah program studi dapat menentukan bentuk tugas akhir, menghilangkan kewajiban tugas akhir pada banyak program studi sarjana/sarjana terapan dan mendorong perguruan tinggi menjalankan Kampus Merdeka dan berbagai inovasi pelaksanaan Tridharma.

Baca Juga:  Kisah 70 Tahun Lalu, Timnas Indonesia di Olimpiade Melbourne

Sedangkan dalam penyederhanaan standar proses pembelajaran dan penilaian, perubahannya adalah
1 sks didefinisikan sebagai 45 jam per semester, dengan pembagian waktu ditentukan oleh masing-masing perguruan tinggi dan penilaian mata kuliah tidak hanya berbentuk indeks prestasi tapi juga dapat berbentuk lulus atau tidak lulus.

Hal tersebut dimaksudkan agar perguruan tinggi dapat menentukan distribusi sks yang terbaik sesuai karakteristik mata kuliah, tidak terbatas pada kegiatan belajar dalam kelas dan tidak memaksakan penilaian indeks prestasi yang kaku pada kegiatan di luar kelas atau uji kompetensi.

Sementara itu, transformasi pada sistem akreditasi pendidikan tinggi berpokok pada status akreditasi yang disederhanakan, biaya akreditasi wajib sekarang ditanggung pemerintah dan proses akreditasi dapat dilakukan pada tingkat unit pengelola program studi.

Namun, Mendikbudristek menegaskan, perubahan tidak dapat dilakukan tanpa kolaborasi seluruh pihak untuk mewujudkan transformasi pendidikan tinggi yang menyeluruh dan berdampak positif.

Selain itu, Prof. Jamal Wiwoho,
Rektor Universitas Sebelas Maret dalam tulisan opininya mengatakan, ada beberapa tantangan ke depan bagi perguruan tinggi dalam mengimplementasikan transformasi tersebut agar tujuan dari transformasi ini dapat dicapai dan dampak positifnya bisa diperoleh secara signifikan utamanya oleh mahasiswa dan lulusan.

Pertama, program studi akan lebih berperan penting dalam implementasi kebijakan ini utamanya dalam mendefinisikan dan merumuskan kompetensi lulusan yang obyektif, relevan dan adaptif. Masing-masing program studi perlu memiliki dan merumuskan penciri/ pembeda program studinya dibandingkan dengan program studi yang sama di perguruan tinggi yang lain. Kolaborasi dengan dunia industri dan dunia usaha yang relevan sejak penyusunan rumusan kompetensi lulusan program merupakan salah satu strategi yang perlu dilakukan.

Baca Juga:  Refleksi Hardiknas dan Penguatan Kembali Ekosistem Pendidikan Kita

Kedua, masing-masing program baik studi vokasi, sarjana, magister dan doktor perlu menyusun kembali standar (bentuk) tugas akhir bagi mahasiswa yang relevan, memberi ruang gerak bagi mahasiswa untuk berinovasi. Namun demikian, mutu dari jenis tugas akhir tersebut harus dapat dijaga kualitasnya sesuai dengan rumusan kompetensi program studi.

Ketiga, beban administrasi dan manajerial dosen yang berkurang seiring dengan transformasi ini, harus dioptimalkan untuk revitalisasi tugas dosen dalam pelaksanaan tridharma perguruan tinggi. Oleh karena itu, perguruan tinggi harus lebih mendorong, menyemangati dan memfasilitasi dosen untuk lebih fokus melakukan berbagai inovasi dalam bidang pembelajaran yang adaptif dan mendorong semangat belajar mahasiswa, mengembangan riset-riset yang berkualitas, dan melakukan program-program pengabdian masyarakat yang berdampak nyata.

Terakhir, secara makro, perguruan tinggi harus juga bertransformasi menjadi organisasi yang agile; memiliki orientasi kewirausahaan yang kuat baik secara organisasional maupun dalam pendidikan kepada mahasiswa; melakukan delivery pendidikan dan inovasi yang sangat relevan dengan konteks; memiliki digital mindset dan infrastruktur; dan melakukan kolaborasi aktif baik dalam bentuk triple helix, quadruple helix maupun penta helix.

Namun demikian, Prof Jamal optimistis bahwa berbagai tantangan ini dapat dilalui pendidikan tinggi, jika civitas akademika mempelajari kebijakan secara utuh dan mengimplementasikan dengan penuh kesadaran, demi majunya pendidikan tinggi Indonesia. (A/RE1/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: sajadi

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.