Komisi X DPR Minta Pemerintah Evaluasi Kurikulum Merdeka, UKT, Hingga Kesejahteraan Guru-Dosen

Mahasiswa demo kenaikan UKT mendesak masuk untuk menemui Rektor Unsoed, Jumat, 26 April 2024. (Foto: Radarmas)

Jakarta, MINA – Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih mengatakan, momentum peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) menjadi pekerjaan rumah (PR) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengevaluasi Kurikulum Merdeka, kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT), hingga kesejahteraan guru dan dosen.

Abdul Fikri menyoroti maraknya kegelisahan masyarakat terhadap perubahan sistem pendidikan terkini. Menurutnya, isu ini harus jadi fokus utama pemerintah karena sektor ini krusial bagi masa depan bangsa.

“Momentum peringatan Hari Pendidikan Nasional ke-65 saat ini harusnya menjadi bahan evaluasi Kemendikbud RI khususnya dalam menyikapi kontroversi yang muncul,” ujar Abdul Fikri dalam pernyataannya di Jakarta, Kamis (2/5).

Kurikulum Merdeka harus dievaluasi

Abdul Fikri menjelaskan, salah satu persoalan yang mesti segera diselesaikan adalah soal penerapan Kurikulum Merdeka sebagai kurikulum resmi nasional, yang tertuang dalam Permendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024.

Kurikulum Merdeka diklaim lebih unggul daripada pendahulunya, yakni Kurikulum 2013, dan Kurikulum 2013 yang disempurnakan (2015), kendati Kurikulum Merdeka merupakan modifikasi dari kurikulum darurat yang diluncurkan selama pandemi Covid-19 pada tahun ajaran 2020/2021.

“Beberapa pakar menilai, Kurikulum Merdeka belum layak dijadikan kurikulum nasional, karena belum dilengkapi dengan naskah akademik yang memuat filosofi Pendidikan dan kerangka konseptual yang menjadi dasar pemikiran kurikulum merdeka,” katanya.

Baca Juga:  Beasiswa Universitas Al Azhar Mesir Dibuka, Ini Syaratnya

Ia menjelaskan, Kurikulum Merdeka belum teruji secara akademis menjadi solusi atas hilangnya pembelajaran (learning loss) selama pandemi Covid-19.

“Lalu perlu dievaluasi apakah daerah secara merata mampu dan siap melaksanakan kurikulum baru ini?,” tanyanya.

Meski demikian, Hasil PISA (Programme for International Student Assessment) tahun 2022 diklaim sebagai kesuksesan Kemendikbudristek menerapkan kurikulum darurat selama pandemi Covid-19. Peringkat PISA Indonesia tahun 2022 naik 5 hingga 6 peringkat dibanding hasil PISA 2018 lalu.

“Namun, fakta lain menyebutkan skor PISA Indonesia tahun 2022 di bidang literasi membaca, matematika, dan sains juga menurun dibanding tahun 2018, jadi sudut pandang kesuksesan PISA relatif dilihat dari mana,” ucap Abdul Fikri.

Abdul Fikri menyayangkan nuansa penerapan kurikulum baru ikut diramaikan dengan narasi di media sosial soal kewajiban seragam baru bagi siswa sekolah dasar hingga menengah.

“Padahal, ini akibat kurang sosialisasi. Sebenarnya, aturan seragam masih seperti yang lama sesuai Permendikbudristek Nomor 50 Tahun 2022,” ungkap Politisi Fraksi PKS itu.

Masih terkait Kurikulum Merdeka, tambahnya, muncul narasi penghapusan pramuka sebagai ekstrakurikuler wajib di sekolah yang menimbulkan polemik.

Di sisi lain, Kemendikbudristek membantah hal itu, dan menegaskan ekskul pramuka tetap disediakan sekolah, hanya kepesertaannya menjadi sukarela bagi siswa.

Baca Juga:  Israel Berencana Kirim Pasukan Tambahan ke Rafah

Abdul Fikri tetap menyayangkan hal itu, karena pramuka berkontribusi positif untuk mengembangkan pendidikan karakter bangsa.

“Secara historis, pramuka berperan besar dalam perjalanan bangsa sejak era kemerdekaan,” tegasnya.

Kesejahteraan guru-dosen belum merata

Selain soal kurikulum, Abdul Fikri juga menyoroti isu kesejahteraan profesi pendidik, seperti guru, dosen, dan tenaga kependidikan yang belum merata, serta status Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang belum jelas, sehingga tak luput menjadi komplain di masyarakat.

“Dua isu, yakni kejelasan status sebagai ASN-PPPK dan juga kesejahteraan pendidik dan tenaga kependidikan senantiasa menemani hari-hari kami sebagai legislator,” ungkapnya.

Kenaikan UKT

Di sisi lain, Abdul Fikri mengaitkan kesejahteraan guru dan dosen dengan kemampuan menyekolahkan anak-anaknya di jenjang perguruan tinggi.

“Sebagai pahlawan pendidikan, mereka dihadapkan pada inflasi pendidikan tinggi yang sangat besar, biaya UKT berlipat ganda seiring waktu,” jelas Abdul Fikri yang pernah menjadi kepala sekolah di salah satu SMK ini.

Dia mencontohkan soal kenaikan UKT di Universitas Jenderal Soedirman (UnSoed) yang isunya melonjak hingga 100 persen, imbas penerapan Permendikbudristek Nomor 25 Tahun 2020 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT) pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kemendikbud.

Baca Juga:  Israel Tembaki Warga Sipil Gaza yang Sedang Cari Sinyal Internet

“Pada akhirnya Unsoed meralat keputusannya, setelah didemo masyarakat,” ujar Abdul Fikri.

Masih terkait biaya Pendidikan tinggi yang kian tak terjangkau, Abdul Fikri menyinggung soal kerja sama penyedia pinjaman online (pinjol) dengan Institut Teknologi Bandung (ITB).

“Meski terlihat sebagai solusi pintas, namun pembayaran UKT melalui pinjol ini cenderung merugikan karena bunganya terlampau besar,” tuturnya.

Menurut Abdul Fikri, solusi yang paling tepat adalah mengatasi kesenjangan antara kebutuhan operasional perguruan tinggi negeri dengan pendapatan PTN, khususnya di luar APBN.

“Sumber-sumber pendanaan PTN ini sebisa mungkin via kerja sama sponsor ketimbang membebani biaya pada mahasiswa, dan itu tanggung jawab pemerintah sebagai pengampu PTN di Indonesia sesuai amanat undang-undang,” jelasnya.

Abdul Fikri menyinggung fenomena pinjol ilegal yang banyak menjerat para guru.

“Menurut data OJK, 43 persen korban pinjol ilegal adalah guru. Sungguh memprihatinkan,” katanya.

Oleh karena itu, Abdul Fikri mendesak pemerintah memberi solusi untuk kesejahteraan guru, termasuk memberi keleluasaan kepada kalangan guru dapat mengakses pembiayaan jangka pendek yang legal, ringan, dan mudah.[]

Mi’raj News Agency (MINA)