Ulama Salaf Pun Membaca dan Menulis

Oleh Bahron Ansori, wartawan MINA

salaf dalam memanfaatkan waktunya dengan dan , juga amalan ibadah lainnya. Imam al-Badr bin Jama’ah bertanya tentang cara tidurnya Imam Nawawi. Imam Nawawi menjawab, “Apabila rasa kantuk datang, saya jatuhkan kepala sebentar di meja tempat kitab yang sedang saya pelajari, kemudian saya bangun lagi.”

Ibnu Jauzi pernah berkata, “Seumpama saya berkata bahwa saya telah membaca 20.000 jilid kitab, hal ini benar adanya. Bahkan, jumlah kitab yang saya baca lebih banyak dari itu karena sekarang ini saya masih dalam proses menuntut ilmu.”

Jika kita tetapkan bahwa rata-rata kitab yang dibaca oleh Ibnu Jauzi berisi tiga ratus halaman, berarti ia telah membaca enam juga halaman (20.000 X 300=6.000.000). jumlah buku yang dibacanya saja mencapai enam juta halaman.

Cucu Imam Ibnu Jauzi pernah bercerita, “Menjelang akhir hayatnya, saya pernah mendengar kakek berkata di atas mimbar, “Jari-jari tanganku ini telah menghasilkan dua ribu jilid kitab. Selama hidupku ada seratus ribu orang yang menyatakan diri tobat di hadapanku dan dua puluh ribu Yahudi dan Nasrani yang menyatakan diri masuk Islam di hadapanku.”

Imam Ibnu Aqil pernah berkata, “Saya selalu berusaha untuk menyingkat waktu untuk makan. Sehingga saya lebih senang makan roti keras dicampur dengan air daripada harus makan roti. Karena roti keras dicampur dengan air lebih cepat bila mengunyah roti.” Dengan cara ini, waktu ia untuk membaca kitab dan menulis akan lebih banyak.

Beliau juga pernah berkata, “Saya mempunyai komitmen untuk tidak menyia-nyiakan umur. Jika mulutku tidak melakukan diskusi dan mataku tidak melakukan aktivitas membaca, maka pikiranku tetap bekerja, meskipun sedang berbaring istirahat. Saya tidak akan bangun, kecuali muncul ide yang akan saya tulis. Sungguh, ketika saya sudah mencapai umur delapan puluh tahun, semangat kuat untuk meningkatkan ilmu jauh lebih besar bila dibandingkan saat saya, saya masih berumur dua puluh tahun.”

Imam as-Sakhawai berkata, “Ketika Imam Ibnu Hajar al-Asqalani melakukan perjalaan menuju Syam, ia membaca kitab Mu’jam atj-Thabrani ash-Shagir selepas shalat zhuhur hingga shalat ashar. Ia menamatkannya dalam satu majelis itu. Padahal, kitab tersebut memuat sekitar lima ratus halaman.

Al-Fatih bin Khaqan adalah salah satu tokoh yang sangat menghargai waktu. Ia selalu menyimpan kitabnya di dalam tas setiap mengikuti majelis ilmiah yang diadakan oleh khalifah al-Mutawkkil. Ketika ia hendak kencing atau shalat, ia harus meninggalkan majelis tersebut. Dalam perjalanan menuju kamar kecul atau tempat shalat, ia menyempatkan diri untuk membaca buku yang ada di dalam tasnya itu. Ketika kembali ke majelis ilmiah, ia juga melakukan hal yang sama.

Sebelum Ibnu Nafis mulai mengarang, is selalu menyiapkan pena siap pakai sebanyak mungkin. Ketika mulai menulis, ia menghadapkan mukanya ke tembok lalu ia tumpahkan semua pikirannya ke atas kertas. Bila pena-nya masih lancip, tulisannya sangat cepat.

Tempat Khusus

Ibnu Qayyim, salah seorang murid Ibnu Taimiyyah, pernah berkata, “Aku sangat kagum sekali akan kehebatan Ibnu Taimiyyah dalam hal akhlaknya, ucapannya, keberaniannya, dan tulisannya. Setiap hari beliau selalu mengarang, sebagaimana halnya orang yang menyusun sesuatu secara kolektif dan memperbanyaknya.”

Abdurahman Ibnu Taimiyah saudara gurunya Ahad Ibnu Taaimiyyah meriwayatkan dari bapaknya, Abdul Halim, dia berkata, “Dahulu kakekmu, Abdul Barakat, apabila mau masuk ke toilet untuk buang hajat, maka beliau menyuruhku untuk membacakan suatu buku dengan bacaan yang keras agar dia bisa mendengar.”

Ibnu Qayyim menuturkan seperti apa yang saya ketahui Ibnu Taimiyah sering menderita sakit kepala dan demam. Saat sakit beliau menaruh buku di samping kepalanya. Jika tersadar, ia membaca buku itu. Namun jika merasa tidak mampu menguasai dirinya, dia letakkan buku itu. Pada suatu hari, dokter menemuinya dalam keadaan demikian. Dokter lalu berkata, “Anda tidak boleh melakukan perbuatan ini. Anda harus membantu diri anda sendiri, sedangkan perbuatan ini akan menyebabkan anda lama sembuh.”

Ibnu Jauzi menasehati orang alim dan pencari ilmu, “Sebaiknya kamu mempunyai tempat khusus di rumahmu untuk menyendiri. Di sana kamu bisa membaca lembaran-lembaran bukumu dan menikmati indahnya petualangan pikiranmu. Membaca dan menelaah kehidupan orang shalih juga mampu membangkitkan semangat baru dalam diri kita. Bisa dikatakan, membaca dan menelaah kehidupan mereka, hampir sama dengan kita menziarahi dan berhadapan dengan mereka sehingga kita pun menerima barakah dari Allah.

Imam Ibnu Jauzi berkata, “Aku berlindung kepada Allah dari kehidupan orang yang tidak punya cita-cita tinggi hingga bisa diteladani orang lain, yang tidak punya sikap wara yang bisa ditiru oleh orang yang ingin berzuhud. Demi Allah hendaklah kalian mencermati perilaku suatu kaum, mendalami sifat dan berita tentang mereka. Karena memperbanyak meneliti kitab-kitab mereka adalah sama dengan melihat mereka. Bila engkau mengatakan telah mendalami dua puluh ribu jilid buku, berarti engkau telah melihat mereka melalui kajian engkau terhadap tingkat semangat mereka, kepandaian mereka, ibadah mereka, keistimewaan ilmu mereka juga tidak pernah diketahui orang yang tidak pernah membacannya.

Abu Bakar Al-Ambari berkata, “Abu Ubaid telah membagi malam menjadi tiga bagian. Dia shalat disepertiga malam, tidur di sepertiga malam, dan menulis buku di sepertiga malam.

Imam Adz Dzahabi berkat, Ibnu Mubarak lebih banyak berdiam diri di dalam rumahnya. Beliau didalam rumah membaca buku. Oleh karena itu seseorang bertanya kepadanya, “Apakah engkau tidak merasa kesepian? Bagaimana merasakan kesepian sedang Rasulullah dan para sahabatnya selalu bersamaku, tegas Ibnu Mubarok. Ibnu Mubarak pernah mengatakan, “Barangsiapa ingin mengambil faedah ilmu, maka bacalah buku-bukunya.

500 Jilid Karangan

Ibnu Taimiyah, wafat tahun 727 H dalam usia 67 tahun. Dalam biografi hidupnya yang ditulis Ibnu Syakir Kutubi terdapat keterangan bahwa karya yang diashilkan Ibnu Taimiyyah hampir mencapi 300 jilid. Imam Dzahabi berkata, “Sesungguhnya, karangan Ibnu Taimiyyah mencapai 500 jilid.” Akan tetapi, pendapat yang benar adalah pendapatnya Hafizh Ibnu Rajab yang terdapat dalam karyanya Dzail Thabaqat al-Hanabalah, “Karya Ibnu Taimiyah terlampau banyak dan tidak mungkin bagi seorang pun yang dapat menghitungnya.”

Beliau juga pernah berkata, ” Hendaknya seseorang berusaha memiliki anak yang akan berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sepeninggalannya, sehingga pahalanya juga dapat ia rasakan. Atau, hendaklah ia menulis kitab tentang ilmu. Sebab menulis ilmu ibarat anaknya yang akan tetap kekal. Dari kitabnya akan dinukil sesuatu yang dapat diikuti orang lain, inilah yang tak pernah mati. Suatu kaum telah meninggal sedangkan ditengah-tengah manusia ia masih hidup.

Menulis akan menembus ruang dan waktu, Ibnu Jauzi berkata aku menyimpulkan manfaat menulis banyak daripada manfaat mengajar dengan lisan. Dengan lisan aku bisa menyampaikan ilmu hanya pada sejumlah orang, sedangkan dengan tulisan aku dapat menyampaikan kepada orang yang tidak terbatas yang hidup seseudahku

Imam Adz-Dzahabi mengatakan, “Imam Al-Khtaib Al-Bagdad berjalan sedang tangannya memegang satu juz buku yang ia baca.”

Syekh Muhmud Khthab as-Subki. Apabila ada tamu yang berkunjung ke rumahnya baik pada siang hari maupun malam hari, pasti orang itu akan mendapati dirinya sedang terbangun tidak sedang membaca, ia sedang menulis buku.(A/RS3/P1)

(dari berbagai sumber)

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Bahron Ansori

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.