Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

ZAID BIN HARITSAH (BAG.1)

Admin - Sabtu, 30 November 2013 - 16:49 WIB

Sabtu, 30 November 2013 - 16:49 WIB

869 Views ㅤ

Zaid Bin HaritsahAnak Yang Menjadi “Zaid Bin Muhammad”

Sudah lama sekali Su’da, isteri Haritsah, berniat hendak berziarah ke kaum keluarganya di kampung Bani Maan. Ia sudah gelisah dan seakan-akan tak sabar lagi menunggu waktu keberangkatannya.

Pada suatu pagi yang cerah, suaminya mempersiapkan kendaraan dan perbekalan untuk keperluan itu. Tampak Su’da sedang menggendong anaknya yang masih kecil, Zaid.

Di waktu Haritsah akan menitipkan isteri dan anaknya kepada rombongan kafilah yang akan berangkat, menyelinaplah rasa sedih di hatinya disertai perasaan aneh, perasaan yang menyuruh agar ia turut serta mendampingi anak dan isterinya.

Baca Juga: Transformasi Mardi Tato, Perjalanan dari Dunia Kelam Menuju Ridha Ilahi

Namun, karena ia harus menyelesaikan tugas dan pekerjaannya, perasaan gundah itu hilang juga. Kafilah pun berangkat meninggalkan kampung itu dan Harisah pun mengucapkan selamat jalan kepada isteri dan anaknya.

Haritsah melepas kepergian isteri dan anaknya dengan air mata berlinang. Isteri dan anaknya pun sangat sedih dalam peristiwa perpisahan itu.

Setelah Su’da dan anaknya sampai di tempat kerabatnya, kampung Bani Maan, beberapa waktu kemudian terjadilah musibah yang menimpa penduduk kampung itu. Segerombolan perampok Badui menyerang kampung dan memporak-porandakannya. Semua barang berharga milik penduduk kampung itu dikuras habis, penduduknya ditawan dan digiring oleh para perampok sebagai tawanan, termasuk si kecil Zaid.

Dengan perasaan duka yang mendalam disebabkan kehilangan si buah hati, pulanglah Su’da menyusul suaminya seorang diri.

Baca Juga: Dato’ Rusly Abdullah, Perjalanan Seorang Chef Menjadi Inspirator Jutawan

Mendengar kisah dari isterinya, Haritsah pun jatuh tak sadarkan diri. Dengan tongkat di pundaknya, ia segera berjalan mencari anak kesayangannya. Padang pasir dijelajahinya, kampung demi kampung diselidikinya. Sesekali ia bertanya kepada kabilah yang lewat, mungkin ada yang tahu keberadaan anaknya tersayang, Zaid.

Namun, usahanya itu pun belum menunjukkan hasil. Sambil menghibur diri, ia bersyair:

Kutangisi Zaid, ku tak tahu apa yang telah terjadi

Dapatkah ia diharapkan hidup, atau telah mati?

Baca Juga: Hambali bin Husin, Kisah Keteguhan Iman dan Kesabaran dalam Taat

Demi Allah ku tak tahu, sungguh aku hanya bertanya

Apakah di lembah ia celaka, atau dibukit ia binasa?

Di kala matahari terbit ku terkenang padanya

Bila surya terbenam, ingatan kembali menjelma

Baca Juga: Dari Cleaning Service Menjadi Sensei, Kisah Suroso yang Menginspirasi

Tiupan angin membangkitkan kerinduan pula

Wahai, alangkah lamanya duka nestapa, diriku jadi merana.

Di sisi lain, setelah gerombolan perampok Badui yang menyerang desa Bani Maan berhasil dengan rampokannya, mereka pergi ke pasar Ukaz untuk menjual barang-barang dan tawanan hasil rampokan.

Si kecil Zaid dibeli oleh Hakim bin Hizam. Pada kemudian harinya, ia memberikannya kepada Siti Khadijah. Pada waktu itu, Khadijah radhiyallahu ‘anha telah menjadi isteri Muhammad bin Abdullah (sebelum diangkat menjadi rasul oleh Allah Subhana Wa Ta’ala).

Baca Juga: Profil Hassan Nasrallah, Pemimpin Hezbollah yang Gugur Dibunuh Israel

Selanjutnya, Khadijah memberikan khadamnya Zaid sebagai pelayan bagi Muhammad. Beliau pun menerimanya dengan senang hati, lalu segera memerdekakannya. Dengan pribadinya yang besar dan jiwanya yang mulia, Zaid diasuh dan dididiknya dengan segala kelembutan dan kasih sayang seperti halnya terhadap anaknya sendiri.

Pada salah satu musim haji, sekelompok orang dari desa tempat Haritsah tinggal, berjumpa dengan Zaid di Makkah. Mereka menyampaikan kerinduan ayah bunda Zaid. Zaid pun balas menyampaikan pesan salam rindu dan hormatnya kepada kedua orang tuanya.

“Tolong beritakan kepada kedua orang tuaku bahwa aku di sini tinggal bersama seorang ayah yang paling mulia,” kata Zaid kepada para jamaah haji dari kampung ayahnya, Haritsah.

Setibanya di kampung, jamaah haji menyampaikan pesan Zaid kepada Haritsah. Begitu ayah Zaid mengetahui di mana anaknya berada, segera ia mengatur perjalanan ke Makkah bersama seorang saudaranya.

Baca Juga: Jenderal Ahmad Yani, Ikon Perlawanan Terhadap Komunisme

Setibanya di Makkah, Haritsah menanyakan di mana rumah Muhammad.

Sebertemunya dengan Muhammad, Harisah berkata, “Wahai Ibnu Abdul Muththalib, wahai putera dari pemimpin kaumnya! Anda termasuk penduduk Tanah Suci yang biasa membebaskan orang tertindas, yang suka memberi makanan para tawanan. Kami datang kepada Anda hendak meminta anak kami. Sudilah kiranya menyerahkan anak itu kepada kami dan bermurah hatilah menerima uang tebusannya seberapa adanya?”

Muhammad merasakan benar bahwa hati Zaid telah lekat dan terpaut kepadanya. Namun seiring hal itu, ia merasakan pula perasaan seorang ayah terhadap anaknya.

”Panggilah Zaid ke sini, suruh ia memilih sendiri. Seandainya dia memilih Anda, maka akan aku kembalikan kepada Anda tanpa tebusan. Sebaliknya, jika ia memilihku, maka demi Allah aku tak hendak menerima tebusan dan tak akan menyerahkan orang yang telah memilihku!” kata Muhammad akhirnya memutuskan.

Baca Juga: Hidup Tenang Ala Darusman, Berserah Diri dan Yakin pada Takdir Allah

Mendengar ucapan Muhammad yang demikian, wajah Haritsah berseri-seri kegirangan karena tak disangkanya sama sekali keluar darinya kemurahan seperti itu.

“Benar-benar Anda telah menyadarkan kami dan Anda beri pula keinsafan di balik kesadaran itu!”

Kemudian Muhammad menyuruh seseorang memanggil Zaid. Setibanya si anak dihadapannya, beliau langsung bertanya, “Tahukah Engkau siapa orang-orang ini?”

“Ya, tahu,” jawab Zaid. ”Yang ini ayahku, sedangkan yang seorang lagi adalah pamanku.”

Baca Juga: Hiruk Pikuk Istana di Mata Butje, Kisah dari 1 Oktober 1965

Kemudian Muhammad mengulangi lagi apa yang telah dikatakannya kepada Haritsah tadi kepada Zaid, yaitu tentang kebebasan memilih orang yang disenanginya.

Tanpa berpikir panjang, Zaid menjawab, “Tak ada orang pilihanku, kecuali Anda (Muhammad)! Andalah ayah dan Andalah pamanku!”

Mendengar itu, kedua mata Muhammad basah dengan air mata karena rasa syukur dan haru. Lalu dipegangnya tangan Zaid, dibawanya ke pekarangan Ka’bah, tempat orang-orang Quraisy sedang banyak berkumpul.

Muhammad berseru kepada orang-orang Quraisy, “Saksikan oleh kalian semua bahwa mulai saat ini Zaid adalah anakku, yang akan menjadi ahli warisku dan aku jadi ahli warisnya.”

Baca Juga: Inspirasi Sukses, Kisah Dul dari Rimbo Bujang Merintis Bisnis Cincau

Mendengar ucapan itu hati Haritsah seakan-akan berada diawang-awang karena suka citanya, sebab ia bukan saja telah menemukan kembali anaknya bebas merdeka tanpa tebusan, melainkan sekarang diangkat anak pula oleh seseorang yang termulia dari suku Quraisy yang terkenal dengan sebutan “Ash-Shadiqul Amin”(orang lurus terpercaya), keturunan Bani Hasyim, tumpuan penduduk kota Makkah seluruhnya.

Meskipun telah sekian lama merindukan anaknya kembali, Haritsah dan paman Zaid pulang dengan hati yang tenteram karena anaknya berada dalam naungan keluarga yang termulia, keluarga Muhammad.

Muhammad telah mengangkat Zaid sebagai anak angkat, maka menjadi terkenallah Zaid diseluruh Makkah dengan nama “Zaid bin Muhammad”. (Bersambung…) (P09/R2).

Mi’raj News Agency (MINA).

Baca Juga: Radin Inten II Sang Elang dari Lampung, Pejuang Tak Kenal Takut

 

 

 

Rekomendasi untuk Anda